EtIndonesia. Aktivis gerakan demokrasi Ukraina, Vadym Labas, pernah mengungkapkan bahwa sebuah perusahaan Taiwan yang dikenal dengan inisial “TRC” diduga secara diam-diam menjual komponen ke Rusia dan membantu pengembangan serta peningkatan sistem senjata presisi udara milik militer Rusia. Namun, pada 6 November, Labas meminta maaf, mengakui adanya kesalahan dalam penyelidikan, dan menjelaskan bahwa produsen komponen tersebut sebenarnya adalah perusahaan Tiongkok, “Meizhou KST Digital Technology Ltd”.
Pada 7 November, media militer independen Defence Blog melaporkan hasil investigasi yang dipimpin oleh Labas. Investigasi tersebut mengungkap jalur kompleks yang digunakan Rusia untuk menghindari sanksi internasional melalui jaringan perusahaan palsu dan strategi rebranding merek. Fokus utama dari jalur ini adalah komponen motor servo yang digunakan dalam sistem bom berpemandu dan drone Shahed. Investigasi ini menunjukkan keterlibatan produsen Tiongkok asli serta perantara palsu yang secara keliru mengaitkan keterlibatan dengan perusahaan Taiwan.
Sebelumnya, Defence Blog mengutip laporan di media sosial yang dibuat oleh Labas. Dia menuduh bahwa perusahaan Taiwan “TRC” menjual komponen kepada Rusia dan membantu pengembangan senjata presisi militer Rusia. Namun, Labas kemudian menarik pernyataannya, mengakui bahwa penyelidikan awalnya “disesatkan”. Dia menjelaskan bahwa melalui kolaborasi dengan banyak jurnalis internasional dan sukarelawan, fakta sebenarnya terungkap: Rusia bekerja sama dengan perusahaan Tiongkok untuk menghindari sanksi internasional dengan menciptakan jaringan perusahaan palsu. Perusahaan Taiwan yang disebutkan sama sekali tidak terkait. Dalam pernyataannya, Labas meminta maaf kepada perusahaan Taiwan yang terkena dampak, yaitu “Rongcheng Industrial Co.”, atas tuduhan tersebut.
Laporan terbaru Defence Blog menguraikan bagaimana Rusia menciptakan rangkaian perusahaan palsu, situs web fiktif, dan merek palsu untuk menghindari sanksi internasional. Menurut Labas, komponen utama seperti motor servo yang digunakan dalam senjata presisi, termasuk rudal berpemandu dan drone Shahed, tidak dapat diproduksi sendiri oleh Rusia karena keterbatasan kemampuan manufaktur. Oleh karena itu, Rusia harus membeli komponen tersebut dari produsen luar negeri.
Motor servo tersebut ternyata diproduksi oleh perusahaan Tiongkok, “Meizhou KST Digital Technology Ltd.” (KST). Untuk menghindari pengawasan internasional, perusahaan Tiongkok ini mengirimkan barangnya ke perusahaan fiktif bernama “Kaifeng Zhendaqian Technology Ltd.” (KZT). Barang tersebut kemudian diteruskan ke perusahaan logistik yang terdaftar di Hong Kong, “UNIHUI INTERNATIONAL Ltd.” Pada tahap ini, label barang diubah sehingga terlihat seolah-olah diproduksi oleh perusahaan Taiwan “TRC”. Selanjutnya, barang dikirim ke “Shenzhen Biosen Bio-Tech Co.,” sebuah perusahaan di Tiongkok, sebelum akhirnya sampai ke tangan sejumlah perusahaan proxy di Rusia. Barang-barang tersebut akhirnya mencapai pabrik militer Rusia.
Labas menyebut skema ini sebagai “rekayasa ulang merek” yang sangat kompleks, dirancang khusus untuk menghindari sanksi internasional. Meski strategi ini meningkatkan biaya komponen secara signifikan, Rusia tetap bersedia membayar harga tersebut.
Dalam laporannya, Labas memuji banyak warga Taiwan dan komunitas diaspora yang berkontribusi memberikan informasi untuk mengungkap kebenaran. Dia juga menekankan dukungan berkelanjutan Taiwan untuk Ukraina, termasuk sukarelawan Taiwan yang berperang di medan perang dan bahkan mengorbankan nyawa mereka. Labas menyerukan agar hubungan resmi antara Ukraina dan Taiwan segera dibangun, mengingat kontribusi besar Taiwan terhadap Ukraina.
Investigasi ini mengungkap kelemahan dalam implementasi sanksi internasional, khususnya terhadap perusahaan Tiongkok yang terlibat dalam teknologi dual-use (militer dan sipil). Meski sudah ada bukti yang menunjukkan hubungan perusahaan seperti KST Digital Technology dengan industri militer Rusia, perusahaan tersebut sejauh ini masih lolos dari sanksi. Labas mendesak adanya peninjauan yang lebih ketat terhadap ekspor teknologi dual-use dan peningkatan koordinasi di antara negara-negara Barat untuk menutup celah semacam ini.
Kasus ini menjadi pengingat bahwa kolaborasi internasional diperlukan untuk memastikan sanksi dapat diterapkan secara efektif, terutama dalam mencegah teknologi strategis jatuh ke tangan pihak yang bertentangan dengan nilai-nilai demokrasi dan perdamaian global.(jhn/yn)