Data terbaru menunjukkan bahwa Consumer Price Index atau indeks harga konsumen (CPI) Tiongkok pada Desember 2024 semakin melemah mendekati nol, sementara Producer Price Index atau indeks harga produsen (PPI) terus menyusut. Para pengamat menilai masa-masa sulit bagi rakyat Tiongkok mungkin baru saja dimulai.
ETIndonesia. Pada 9 Januari, Biro Statistik Nasional Tiongkok merilis data CPI dan PPI untuk Desember 2024. Data menunjukkan bahwa CPI pada Desember naik hanya 0,1% dibandingkan tahun sebelumnya, lebih rendah dari kenaikan 0,2% pada November. Ini merupakan pertumbuhan terendah sejak April tahun lalu.
“Jika CPI naik, berarti harga-harga meningkat dan daya beli masyarakat menurun. Akibatnya, masyarakat semakin enggan membelanjakan uangnya. Penurunan konsumsi ini berdampak buruk bagi produsen karena akan mempengaruhi penjualan produk mereka di masa depan,” ujar Profesor Universitas Carolina Selatan, Xie Tian.
Ahli keuangan Taiwan, Huang Shih-tsung, menilai masalah utama Tiongkok bukanlah CPI yang tinggi, tetapi justru terlalu rendahnya CPI.
“Hal ini membuat banyak pelaku usaha kehilangan kepercayaan terhadap masa depan. Konsumen juga ragu untuk berbelanja karena berpikir harga produk di masa depan mungkin akan lebih rendah. Produsen juga enggan memproduksi jika mereka memperkirakan harga akan terus turun. Jadi, rendahnya CPI justru akan memberikan tekanan besar pada ekonomi Tiongkok,” Huang Shih-tsung berkomentar.
Pada Desember, PPI nasional turun 2,3% dibandingkan tahun sebelumnya, menandai bulan ke-27 berturut-turut penurunan, dengan PPI sepanjang tahun 2024 turun 2,2% dibandingkan 2023.
Huang Shih-tsung melanjutkan :”Ini menunjukkan bahwa biaya produksi terus menurun, tetapi niat konsumen untuk berbelanja tetap rendah. Dua angka ini menunjukkan bahwa ekonomi Tiongkok masih berada dalam tren penurunan.”
Biro Statistik Nasional menyebut penurunan ini disebabkan oleh faktor musiman dalam industri tertentu serta fluktuasi harga komoditas global. Namun, para ahli memiliki pandangan berbeda.
Xie Tian menyebut: “Hal ini mencerminkan pesimisme produsen terhadap masa depan ekonomi. Mereka tidak melihat tanda-tanda pemulihan ekonomi dan merasa kondisi ekonomi akan semakin buruk.”
Huang Shih-tsung menambahkan:”Meskipun produsen terus menurunkan biaya, konsumen tetap tidak berminat untuk membeli. Ini menunjukkan bahwa masalah kelebihan produksi di Tiongkok masih sangat serius.”
Menurut Bloomberg, inflasi konsumen yang semakin melemah mendekati nol selama empat bulan berturut-turut. Hal ini menjadi hambatan bagi upaya pemerintah dalam mendorong permintaan dan mengatasi deflasi melalui kebijakan stimulus ekonomi.
Xie Tian menyatakan:”Kita harus mempertanyakan keakuratan data CPI yang dirilis pemerintah Tiongkok karena mereka cenderung memilih data yang menunjukkan inflasi rendah atau bahkan menciptakan ilusi deflasi.”
Sejak pandemi COVID-19 merebak pada awal 2020, tingkat pertumbuhan tahunan CPI Tiongkok telah lima tahun berturut-turut tidak mencapai target resmi, menunjukkan tekanan deflasi yang sulit diatasi.
Xie Tian menambahkan: “Produksi mobil listrik sudah berlebihan. Menghadapi hambatan perdagangan dari Barat serta sanksi ekonomi yang diprediksi akan lebih keras di bawah pemerintahan Trump, ekonomi Tiongkok kemungkinan akan terus tertekan hingga 2025-2026. Masa-masa sulit bagi rakyat Tiongkok mungkin baru saja dimulai.”
Huang Shih-tsung memprediksi:”Tahun ini akan menjadi tahun dengan tekanan terbesar bagi Tiongkok. Saya memperkirakan pertumbuhan ekonomi Tiongkok tahun ini mungkin kurang dari 2,5%, atau bahkan lebih rendah.”
Sejak September lalu, pemerintah PKT telah meluncurkan serangkaian kebijakan stimulus ekonomi seperti penurunan suku bunga, dukungan terhadap pasar saham dan properti, serta peningkatan pinjaman bank. Namun, konsumsi tetap tidak menunjukkan pemulihan yang signifikan dan kebijakan ini hampir tidak efektif.
Xie Tian menyimpulkan :”Konsumsi seharusnya menjadi salah satu pendorong utama ekonomi. Jika terus melemah, pertumbuhan ekonomi Tiongkok tidak akan tercapai.” (Hui)
Sumber : NTDTV.com