EtIndonesia. Pada 13 Mei, sebuah dokumenter berjudul France-China: The Secret War tayang perdana di televisi Prancis. Dokumenter ini mengungkap operasi rahasia Tiongkok di Prancis, mencakup bidang politik, budaya, teknologi, hingga militer. Menanggapi hal ini, badan keamanan nasional Prancis untuk pertama kalinya memberikan tanggapan resmi, mengonfirmasi keseriusan ancaman dari Beijing dan menyatakan bahwa langkah-langkah kontra-spionase telah diambil.
Program berita investigasi M6 News menayangkan dokumenter France-China: The Secret War, hasil investigasi selama hampir satu tahun oleh sutradara Vincent Prado. Dalam 73 menit durasi film, dokumenter ini mengungkap bukti mencengangkan tentang bagaimana Tiongkok melancarkan perang rahasia di Prancis melalui spionase industri, pencurian teknologi, infiltrasi politik, dan pengaruh budaya.
Dokumenter ini dimulai dengan kasus pencurian data penelitian universitas oleh mahasiswa Tiongkok di Prancis, kemudian menjelajahi berbagai aspek infiltrasi Beijing di sektor-sektor strategis, seperti militer, teknologi, dan ruang angkasa.
Salah satu fokus utama adalah strategi Tiongkok dalam merekrut pensiunan pilot angkatan udara Prancis dengan bayaran tinggi untuk melatih Angkatan Udara Tiongkok. Dalam dokumenter ini, seorang mantan pilot yang didekati melalui Test Flying Academy of South Africa (TFASA) mengungkap bahwa dia diminta mengajarkan teknik dan prosedur eksklusif NATO kepada tentara Tiongkok.
Program investigasi berita ini menampilkan Bernard de la Villardière sebagai pembawa acara. Dia mengatakan bahwa Tiongkok memiliki minat terhadap segala hal, termasuk teknologi tinggi, informasi, benda bersejarah, antariksa, penerbangan, militer, dan budaya. Dia juga berharap melalui dokumenter ini, masyarakat Prancis dapat menyadari risiko serta meningkatkan kewaspadaan.
Khususnya di bidang antariksa, Tiongkok selama 20 tahun terakhir sangat berambisi untuk mengejar ketertinggalan. Demi melampaui negara lain dengan cara lebih cepat, Tiongkok telah beberapa kali mencoba mencuri dan meniru keunggulan yang dimiliki Prancis.
Fokus kedua dalam dokumenter ini adalah bagaimana Tiongkok memanfaatkan berbagai cara untuk memperoleh teknologi antariksa milik Prancis. Dalam film ini diungkapkan bahwa pada tahun 2003, Tiongkok turut serta dalam proyek sistem navigasi satelit Eropa bernama “Galileo”. Saat itu, ilmuwan yang memimpin proyek tersebut adalah René Oosterlinck, yang kini sudah berusia lebih dari 80 tahun. Ketika diwawancarai untuk dokumenter ini, dia secara langsung mengatakan: “Jelas ada seorang insinyur yang diam-diam mengawasi kami. Dia menyalin banyak dokumen, dan saya merasa hal itu sangat mencurigakan.”
Tim Eropa perlahan-lahan mulai menyadari ada yang tidak beres. Dalam salah satu surat yang untuk pertama kalinya terungkap, terlihat bahwa pihak Eropa kemudian meminta pemasangan kabel jaringan untuk melewati beberapa kantor Tiongkok dan membatasi akses masuk-keluar para personel Tiongkok.
Hingga akhirnya, ketika badan intelijen Prancis turun tangan, pihak Eropa baru diberi tahu bahwa ternyata Tiongkok sedang memanfaatkan informasi navigasi satelit dari sistem “Galileo” untuk secara diam-diam mengembangkan sistem navigasi mereka sendiri, yaitu “Beidou”. Akibatnya, Beidou berhasil selesai lebih dulu dan bahkan lebih dahulu mengambil alokasi frekuensi yang cocok untuk sistem navigasi, sehingga menyebabkan konflik frekuensi. Sampai sekarang, masalah ini belum terselesaikan. Jika terjadi konflik militer di masa depan, konsekuensinya bisa sangat serius.
Marie-Pierre Van Hoecke, mantan kepala kantor di Beijing dari Pusat Penelitian Ilmiah Nasional Prancis (CNRS), mengatakan bahwa semua ini murni adalah persaingan.
Dia mengatakan: “Eropa telah membantu mereka dan memberikan semua dokumen. Seharusnya kita lebih waspada.”
Dia untuk pertama kalinya mengungkapkan bahwa belakangan, Eropa menemukan bahwa layanan pencarian dan penyelamatan (SAR) milik Tiongkok yang bukan merupakan sinyal navigasi, mampu menyadap dan mengganggu sinyal yang digunakan oleh layanan manajemen publik (PRS) dari berbagai negara. Karena itu, Eropa meminta pembongkaran sistem tersebut dan menghentikan kerja sama.
Adegan berikutnya beralih ke dampak pencurian rahasia industri oleh Pemerintah Tiongkok. Hal ini hampir membuat Airbus, perusahaan penerbangan asal Prancis, kehilangan posisinya sebagai pemimpin di industri penerbangan.
Pada tahun 2023, pesawat buatan Tiongkok, C919, yang spesifikasinya sangat mirip dengan Airbus A350, diperkenalkan ke publik. Media menggambarkannya sebagai “kemunculan yang tiba-tiba”. Hal ini menjadi pukulan besar bagi dunia industri Prancis.
Mantan kepala Direktorat Jenderal Keamanan Eksternal Prancis (DGSE), Alain Juillet, menyebutkan bahwa sebelumnya Tiongkok membeli dua pesawat Airbus, tetapi salah satu dari pesawat tersebut tiba-tiba menghilang tanpa jejak dan sama sekali tidak memiliki catatan penerbangan. Oleh karena itu, mantan Wakil Ketua Intelijen Ekonomi Airbus, Patrick Devaux, menyatakan bahwa tujuan utama Tiongkok membeli pesawat adalah untuk menyalin suku cadang sebanyak mungkin.
Saat ini, pesawat C919 belum mendapatkan sertifikasi internasional. Dokumenter ini juga melacak fakta bahwa sejak tahun 2010, Tiongkok telah mengaktifkan kelompok peretas (hacker) dan meretas perusahaan-perusahaan outsourcing industri dirgantara untuk mencuri informasi serta data terkait prosedur sertifikasi lembaga pengawas internasional. Salah satu targetnya adalah Safran Group, perusahaan pembuat mesin pesawat A350. Menurut laporan perusahaan keamanan siber Amerika, CrowdStrike, aktivitas peretasan ini langsung direncanakan oleh departemen keamanan Tiongkok.
Selain pencurian dan transfer teknologi serta informasi, metode Tiongkok di Prancis juga mencakup penindasan lintas batas terhadap para pembangkang, infiltrasi melalui kekuatan lunak yang dilakukan oleh Institut Konfusius, pengawasan, serta pengendalian proses kreatif melalui kerja sama produksi film internasional dan sensor. Dokumenter ini menampilkan beragam wawasan dan wawancara terkait topik tersebut.
Karena peristiwa ini dianggap sangat serius, Direktorat Intelijen dan Keamanan Pertahanan Prancis (DRSD) untuk pertama kalinya merespons media setelah menonton dokumenter tersebut dan mengonfirmasi bahwa situasinya sangat kritis. Pemerintah telah mengambil tindakan kontraintelijen untuk menangani hal ini dengan hati-hati.
Kepala DRSD, Philippe Susnjara, dalam sebuah wawancara menyebutkan bahwa banyak pilot Prancis yang memilih untuk kembali ke negara asal setelah menyadari keseriusan situasi tersebut. Sejak tahun 2024, undang-undang telah diberlakukan yang mewajibkan personel militer dengan akses informasi rahasia untuk melaporkan terlebih dahulu jika mereka ingin mengajar di luar negeri, tetapi undang-undang ini tidak berlaku surut.
Unit penelitian juga menjadi target Tiongkok. Susnjara mengatakan bahwa untuk mempercepat kebangkitan negaranya, Beijing berusaha mencuri teknologi dan informasi, dengan menawarkan gaji yang sangat tinggi kepada para peneliti di industri strategis Prancis, dan jumlahnya meningkat setiap tahun. Namun, badan keamanan Prancis akan menghubungi para peneliti yang direkrut dan memberi tahu mereka tentang situasi tersebut.
Susnjara memberikan peringatan bahwa perbedaan infiltrasi Tiongkok dibandingkan negara lain terletak pada cakupannya. Jika negara lain hanya berfokus pada isu tertentu, Tiongkok justru terlibat dalam berbagai aspek secara menyeluruh.
Jumlah Personel yang Bertanggung Jawab atas Pengumpulan Intelijen dan Operasi Keamanan Tiongkok Diperkirakan Mencapai 600.000 Orang
Pada tahun 2024, Biro Investigasi Federal Amerika Serikat (FBI) mengungkapkan bahwa jumlah peretas yang didukung oleh pemerintah Beijing memiliki rasio setidaknya 50 banding 1 dibandingkan dengan jumlah seluruh personel dunia maya milik FBI. Direktur FBI, Christopher Wray, pada awal tahun ini secara langsung menyatakan bahwa program peretasan Tiongkok telah melampaui gabungan program peretasan dari semua negara besar lainnya. Sebuah lembaga Eropa memperkirakan bahwa jumlah personel yang bertanggung jawab atas pengumpulan intelijen dan operasi keamanan di Tiongkok saat ini mungkin mencapai 600.000 orang.
Seiring melambatnya pertumbuhan ekonomi Tiongkok, risiko kegiatan ilegal semacam ini diperkirakan akan meningkat, karena lembaga intelijen Tiongkok menghadapi tekanan yang semakin besar sehingga memilih untuk mencuri hasil inovasi yang dapat mendorong ekonomi Tiongkok sekaligus meredam kritik dari dalam maupun luar negeri.
Lembaga intelijen Barat tidak mampu sepenuhnya membendung aktivitas Tiongkok, sehingga mereka secara terbuka menyerukan kepada perusahaan dan individu untuk tetap waspada saat berinteraksi dengan Tiongkok.
Namun, Calder Walton, seorang ahli keamanan nasional dari Harvard Kennedy School, berpendapat bahwa langkah ini sia-sia karena Tiongkok sudah sangat terintegrasi dalam ekonomi global. Hal ini membuat pemerintah Barat sebagian besar terpaksa menerima kenyataan tersebut.
Salah satu alasan utama kesulitan Barat dalam melawan secara efektif adalah karena selama beberapa dekade terakhir, hubungan perdagangan dengan Beijing telah mendukung pertumbuhan ekonomi dan keamanan jangka panjang mereka sendiri. Bahkan, sebagian besar negara tidak mampu menanggung konsekuensi dari menjatuhkan sanksi kepada Tiongkok atau mengusir diplomatnya.
The Wall Street Journal menggambarkan aktivitas mata-mata Tiongkok sebagai sesuatu yang “mencengangkan” dan dalam beberapa kasus, “mengerikan”. Hanya pada bulan September 2024, Amerika Serikat telah mengungkapkan sejumlah kasus besar terkait aktivitas mata-mata Tiongkok. Salah satunya adalah tuduhan FBI terhadap sebuah perusahaan yang memiliki hubungan dengan pemerintah Beijing, yang meretas hingga 260.000 perangkat yang terhubung ke jaringan di berbagai wilayah, termasuk Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Rumania, dan wilayah lainnya. Perangkat yang diretas mencakup kamera dan router.
Selain itu, penyelidikan Kongres AS juga menemukan bahwa crane buatan Tiongkok yang digunakan di pelabuhan-pelabuhan Amerika telah dilengkapi teknologi yang memungkinkan Tiongkok mengendalikannya secara diam-diam. Kasus lain adalah tuduhan terhadap mantan Wakil Kepala Staf Gubernur Negara Bagian New York, Kathy Hochul, yang bernama Jianhua “Jenny” Sun, seorang keturunan Tionghoa, sebagai agen Tiongkok.
Kesimpulan
Laporan ini menyoroti ancaman spionase Tiongkok yang semakin kompleks, terorganisir, dan mencakup semua sektor strategis. Dengan skala operasi yang masif, Tiongkok tidak hanya menargetkan teknologi dan informasi strategis, tetapi juga menanamkan pengaruhnya di berbagai lini. Situasi ini memberikan tantangan besar bagi Barat, yang harus menyeimbangkan kebutuhan ekonomi dengan keamanan nasional.(jhn/yn)