EtIndonesia. Pada 17 Januari, pemerintah Beijing mengumumkan bahwa perekonomian Tiongkok pulih pada tiga bulan terakhir tahun 2024, memungkinkan negara tersebut mencapai target pertumbuhan ekonomi sebesar 5% untuk tahun tersebut. Namun, sebagai ekonomi terbesar kedua di dunia, Tiongkok masih berjuang untuk keluar dari krisis properti yang berkepanjangan, utang pemerintah daerah yang besar, dan tingkat pengangguran pemuda yang tinggi. Ini adalah salah satu tingkat pertumbuhan ekonomi terburuk dalam beberapa dekade terakhir.
Beijing Menghadapi Perang Dagang dengan Pemerintahan Baru Trump
Media resmi Tiongkok seperti Xinhua dan People’s Daily melaporkan bahwa pada 17 Januari, Kantor Informasi Dewan Negara Tiongkok mengadakan konferensi pers untuk memaparkan kondisi ekonomi Tiongkok pada 2024 dan menjawab pertanyaan dari para wartawan.
Kepala Biro Statistik Nasional Tiongkok, Kang Yi, menyatakan bahwa setelah serangkaian langkah stimulus ekonomi diluncurkan pada akhir tahun 2024, pencapaian ekonomi Tiongkok pada tahun tersebut adalah hasil yang tidak mudah dicapai.
Kang Yi menyoroti bahwa di tengah tekanan eksternal yang meningkat dan kesulitan domestik yang semakin bertambah, “PDB Tiongkok untuk pertama kalinya melampaui 130 triliun yuan, sebuah pencapaian luar biasa.” Meski begitu, perubahan lingkungan eksternal memberikan dampak negatif yang semakin dalam, ditambah dengan lemahnya permintaan konsumsi domestik dan kesulitan operasional beberapa perusahaan, membuat perekonomian Tiongkok masih menghadapi banyak tantangan.
Menurut laporan Reuters, delapan tahun lalu, Donald Trump tiba di Washington dengan janji untuk mereformasi hubungan dagang internasional melalui tarif baru, mengurangi defisit perdagangan barang yang besar, dan membangun kembali basis industri Amerika Serikat. Selama masa jabatan pertamanya, Trump memberlakukan tarif 25% pada barang impor dari Tiongkok senilai 370 miliar dolar AS, yang membantu mengurangi defisit perdagangan AS- Tiongkok dari 418 miliar dolar AS pada 2018 menjadi 279 miliar dolar AS pada 2023. Dalam tujuh tahun terakhir, total tarif yang dikenakan pada baja, aluminium, dan panel surya asal Tiongkok telah mencapai 257 miliar dolar AS.
Namun, hal ini menciptakan keuntungan surplus perdagangan bagi negara lain seperti Meksiko dan Vietnam, yang pertumbuhan surplusnya dengan AS jauh melampaui penurunan surplus perdagangan Tiongkok.
Kini, menjelang masa jabatan keduanya, Trump berencana untuk mengambil langkah yang lebih agresif, termasuk memberlakukan tarif 10% pada semua barang impor ke AS dan tarif 60% untuk barang asal Tiongkok. Trump juga berjanji untuk menggunakan pendapatan tarif tersebut untuk membayar utang nasional Amerika. Pada 14 Januari, dia mengumumkan akan membentuk departemen baru bernama “Layanan Pajak Eksternal” (External Revenue Service) yang bertugas memungut tarif, pajak, dan pendapatan dari luar negeri.
Lembaga konservatif Tax Foundation memperkirakan bahwa tarif 10% yang direncanakan Trump akan menghasilkan pendapatan sekitar 1,7 triliun dolar AS dalam sepuluh tahun.
Hasil pasti dari rencana tarif Trump masih belum jelas, tetapi berdasarkan data dari upayanya sebelumnya yang mengubah dinamika perdagangan global, impor AS memang telah beralih dari Tiongkok ke negara lain, terutama Meksiko dan Vietnam. Meski begitu, defisit perdagangan AS tetap meningkat, melampaui 1 triliun dolar AS dalam empat tahun terakhir. Sejak pandemi COVID-19, meskipun lapangan kerja AS meningkat secara keseluruhan, tingkat pekerjaan di sektor manufaktur tetap stagnan.
Perang Dagang Trump Bukan Satu-satunya Tantangan bagi Pemerintah Beijing
Menurut laporan BBC News, dalam sejarah, jarang sekali pemerintah Beijing gagal mencapai target pertumbuhan ekonominya. Meski Bank Dunia menyebutkan bahwa penurunan biaya pinjaman dan pertumbuhan ekspor dapat mendorong perekonomian Tiongkok mencapai tingkat pertumbuhan 4,9% per tahun, investor internasional sudah mempersiapkan diri menghadapi kebijakan Trump. Jika Trump kembali ke Gedung Putih, dia akan memberlakukan tarif pada barang impor asal Tiongkok senilai 500 miliar dolar AS.
Namun, tarif Trump bukan satu-satunya hambatan bagi Beijing untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi 2025. Berikut adalah tiga alasan utama mengapa Beijing menghadapi tantangan yang lebih besar:
1. Perang Dagang Merugikan Ekspor Tiongkok
Semakin banyak ekonom yang memperingatkan bahwa ekonomi Tiongkok kemungkinan akan melambat pada 2025. Pemerintah Beijing berharap sektor manufaktur dapat membantu mengatasi kemerosotan ekonomi, dengan peningkatan ekspor kendaraan listrik, printer 3D, dan robot industri yang mencapai rekor tertinggi. Namun, AS, Kanada, dan Uni Eropa telah menuduh Tiongkok memproduksi dan menjual barang secara berlebihan, sehingga memberlakukan tarif untuk melindungi lapangan kerja dan perusahaan domestik mereka.
Ekonom memperkirakan, eksportir Tiongkok mungkin akan beralih ke pasar baru di negara berkembang, tetapi permintaan di negara-negara ini tidak dapat menyamai permintaan dari Amerika Utara dan Eropa. Hal ini dapat memengaruhi perusahaan Tiongkok yang ingin berkembang dan berimbas pada pemasok energi serta bahan mentah.
Pemerintah Beijing berharap untuk mentransformasi Tiongkok menjadi negara berteknologi tinggi pada 2035, tetapi dengan kenaikan tarif impor AS, belum jelas bagaimana sektor manufaktur Tiongkok dapat terus menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi.
2. Lemahnya Pengeluaran Konsumsi di Tiongkok
Kekayaan rata-rata rumah tangga di Tiongkok sebagian besar diinvestasikan di sektor properti. Sebelum krisis properti, sektor ini menyumbang sekitar sepertiga dari ekonomi Tiongkok, melibatkan jutaan pekerja di bidang konstruksi, pengembang, produksi semen, hingga desain interior.
Meski Beijing telah menerapkan berbagai kebijakan untuk menstabilkan pasar properti, pasar masih mengalami kelebihan pasokan. Properti kosong dan gedung perkantoran yang tidak terpakai terus menekan harga properti.
Bank investasi Goldman Sachs memperkirakan bahwa pasar properti Tiongkok yang lesu akan menjadi beban bagi pertumbuhan ekonomi selama bertahun-tahun. Dampaknya, kemampuan konsumsi rumah tangga tertekan parah. Pada tiga bulan terakhir 2024, konsumsi rumah tangga hanya menyumbang 29% dari aktivitas ekonomi Tiongkok, jauh di bawah proporsi 59% sebelum pandemi COVID-19.
Beijing bahkan meluncurkan program daur ulang barang konsumen, di mana masyarakat dapat menukar peralatan rumah tangga lama seperti mesin cuci, oven microwave, atau penanak nasi untuk mendapatkan subsidi pembelian barang baru.
Namun, banyak ekonom ragu apakah langkah-langkah ini cukup untuk mengangkat perekonomian tanpa mengatasi masalah struktural yang lebih dalam. Selain itu, utang publik pemerintah daerah dan pengangguran yang tinggi juga sangat memengaruhi tabungan serta pengeluaran masyarakat. Tingkat pengangguran pemuda tetap tinggi dibandingkan sebelum pandemi, sementara kenaikan upah melambat.
3. Penurunan Investasi Asing ke Tiongkok
Beijing telah berkomitmen untuk berinvestasi di industri “produktivitas baru” seperti energi terbarukan. Tiongkok kini menjadi pemimpin global dalam ekspor panel surya dan baterai kendaraan listrik, bahkan pada 2024 telah melampaui Jepang sebagai eksportir mobil terbesar di dunia.
Namun, ketidakpastian ekonomi, tarif, dan ketegangan geopolitik membuat minat perusahaan asing untuk berinvestasi di Tiongkok menurun.
Analis dari Standard Chartered Bank, Ding, menyoroti bahwa ” Tiongkok harus menstabilkan pasar properti dan menciptakan cukup banyak lapangan kerja untuk menjaga stabilitas sosial.” Sementara itu, data dari China Dissent Monitor menunjukkan bahwa antara Juni hingga September 2024, ada lebih dari 900 protes yang dipimpin oleh pekerja dan pemilik rumah, meningkat 27% dibandingkan periode yang sama pada 2023.Tekanan sosial yang timbul akibat ketidakpuasan ekonomi ini menjadi perhatian serius bagi Tiongkok. Janji kemakmuran ekonomi yang berkelanjutan telah menjadi dasar legitimasi pemerintah, yang kini menghadapi tantangan yang semakin besar.
(jhn/yn)