Trump Beri Ultimatum pada Putin: Tandatangani Perjanjian Damai atau Sanksi Berat Menanti!

EtIndonesia. Pada 22 Januari. Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, mengeluarkan pernyataan resmi di TRUTH, mendesak Presiden Rusia, Vladimir Putin, untuk segera menandatangani perjanjian yang dapat mengakhiri konflik militer yang sedang berlangsung. Pernyataan ini datang di tengah meningkatnya ketegangan global dan dampak ekonomi yang signifikan akibat perang yang melibatkan Rusia dan Ukraina.

Dalam pernyataannya, Trump mengatakan: “Saya tidak ingin menyakiti Rusia. Saya mencintai rakyat Rusia dan hubungan saya dengan Presiden Putin selalu baik. Saya masih ingin membantu Rusia dan Presiden Putin secara besar-besaran. Ekonomi Rusia sedang menurun, hentikan perang yang tidak masuk akal ini sekarang atau situasinya hanya akan semakin buruk.” 

Trump menegaskan bahwa upaya untuk mencapai perdamaian adalah prioritas utama, dan menambahkan: “Jika perjanjian tidak segera tercapai, saya tidak punya pilihan lain selain mengenakan tarif tinggi, cukai, dan sanksi terhadap Rusia untuk setiap barang yang dijual ke AS dan negara lain yang terlibat. Mari kita akhiri perang ini sekarang. Saatnya mencapai kesepakatan, tidak seharusnya ada lagi kehilangan nyawa.”

Menurut laporan dari Fox News, Trump juga menyatakan bahwa Amerika Serikat sedang mempertimbangkan untuk terus mengirimkan senjata ke Ukraina. Dukungan lebih lanjut terhadap Ukraina akan sangat bergantung pada dialog yang konstruktif antara Putin dan Presiden Ukraina, Volodymyr Zelenskyy, serta kesediaan kedua belah pihak untuk mencapai perjanjian damai. Selain itu, Trump meminta Presiden Tiongkok, Xi Jinping, untuk turut serta membantu menyelesaikan konflik di Ukraina, yang oleh pengamat luar dianggap sebagai ancaman langsung dan ultimatum pertama yang diberikan Trump kepada Putin sejak menjabat.

Langkah ekonomi yang diambil oleh Trump diharapkan tidak hanya akan membebani Rusia, tetapi juga Tiongkok. 

Pada 20 Januari, Trump mengungkapkan kepada wartawan bahwa Presiden Zelenskyy sangat ingin mencapai kesepakatan damai, namun Putin masih enggan untuk berkompromi. Trump menegaskan bahwa jika Rusia terus bertahan dalam perang ini, negara tersebut akan menghadapi krisis ekonomi besar yang dapat menghancurkan ekonomi Rusia.

Menanggapi pernyataan Trump, Wakil Menteri Luar Negeri Rusia, Sergey Ryabkov, pada 22 Januari mengatakan bahwa pihak Moskow belum dapat menilai kemampuan negosiasi pemerintah baru AS. Namun, dibandingkan dengan pemerintahan Biden yang dinilai tidak memiliki harapan, Pemerintah Rusia melihat peluang untuk mencapai kesepakatan dengan pemerintahan baru di Amerika Serikat.

Sementara itu, menurut laporan dari Voice of America pada 21 Januari, Presiden Zelenskyy menyatakan bahwa jika ada perjanjian gencatan senjata dengan Rusia, setidaknya diperlukan penempatan 200.000 pasukan perdamaian Eropa di Ukraina untuk melindungi negara tersebut dari serangan lebih lanjut.

Zelenskyy menekankan bahwa Rusia telah memobilisasi sekitar 600.000 tentara di Ukraina, dengan potensi mencapai 1,5 juta, jumlah yang jauh melebihi kekuatan militer negara Eropa mana pun. 

Dia menambahkan bahwa Eropa harus waspada karena perang telah mendekati wilayah pusat Rusia dan menolak keras permintaan Rusia untuk mengurangi jumlah pasukan Ukraina dari 800.000 menjadi 1%, yang dianggapnya tidak dapat diterima.

Pada 22 Januari, Bloomberg melaporkan bahwa Zelenskyy juga meminta Presiden Trump untuk mengirimkan pasukan Amerika Serikat ke Ukraina guna memastikan perdamaian. Zelenskyy berpendapat bahwa meskipun beberapa sekutu Eropa menganggap penempatan pasukan mereka sudah cukup, kehadiran pasukan AS diperlukan untuk memberikan keyakinan bahwa tidak ada yang berani mengambil risiko tanpa dukungan Amerika Serikat. Selain itu, Zelenskyy mengungkapkan kekhawatirannya terhadap upaya yang mungkin dilakukan untuk membelah Uni Eropa dan Amerika Serikat.

Pertanyaan yang muncul kini adalah apakah Presiden Trump akan mempertimbangkan permintaan ini dan menempatkan pasukan AS di Ukraina. Publik dan pengamat internasional pun menantikan keputusan selanjutnya dari pemerintahan Trump terkait situasi yang semakin kompleks ini.

Di medan perang, situasi terus berkembang. Baru-baru ini, pasukan Ukraina berhasil menggunakan drone untuk melakukan serangan jarak jauh terhadap fasilitas militer Rusia, termasuk menghancurkan pabrik pesawat tempur Sukhoi Su-25 di Smolensk, yang merupakan kerugian besar bagi Rusia. Namun, pasukan Rusia di Kursk kembali berkumpul dengan jumlah tentara yang belum pernah terjadi sebelumnya. Rusia mengerahkan pasukan dari tiga arah—timur, utara, dan barat—dengan total delapan batalyon, tujuh divisi, dan lebih dari 100.000 tentara, bertujuan untuk menerobos garis pertahanan Kursk dan menyerang kota besar Sujya, yang menjadi inti pertahanan militer Ukraina.

Dengan dinamika yang terus berubah ini, dunia internasional menyaksikan bagaimana langkah-langkah diplomatik dan militer akan mempengaruhi nasib konflik yang telah berlangsung lama ini.

FOKUS DUNIA

NEWS