Panos Mourdoukoutas
Setelah Sri Lanka dan Pakistan, Maladewa mulai merasakan sisi gelap dari investasi Tiongkok: jebakan utang yang dapat mengorbankan kedaulatan ekonomi negara tersebut. Negara kecil di Samudra Hindia ini berutang jumbo kepada Tiongkok dan berjibaku untuk melunasinya.
Menurut laporan terbaru Bank Dunia yang diterbitkan pada Oktober 2024, total utang publik dan yang dijamin pemerintah (PPG) Maladewa mencapai $8,2 miliar, atau sekitar 115,7 persen dari PDB pada kuartal pertama, dibandingkan dengan $7,2 miliar, atau 109,7 persen dari PDB, pada kuartal pertama tahun 2023.
Hubungan Tiongkok dengan Maladewa dimulai seperti biasanya: Beijing berinvestasi besar-besaran dalam pembangunan infrastruktur kepulauan tersebut, dengan kontraktor milik negara Tiongkok yang merancang dan melaksanakan proyek-proyek besar yang dibiayai oleh bank milik negara Tiongkok.
Salah satu proyek tersebut adalah Jembatan Persahabatan Tiongkok–Maladewa sepanjang 1,3 mil, yang menghubungkan ujung timur Male ke ujung barat Pulau Hulhumale. Proyek ini dimulai pada 2015 dan selesai pada 2018 dengan biaya $200 juta. Proyek lainnya termasuk museum nasional, perumahan, proyek energi terbarukan, serta peningkatan bandara internasional Maladewa setelah pengusiran kontraktor India.
Secara sekilas, investasi ini tampak menguntungkan kedua belah pihak. Bagi Maladewa, investasi ini membantu membangun infrastruktur—syarat utama untuk mengembangkan dan mengintegrasikan ekonominya—serta menciptakan lapangan kerja dan pendapatan bagi masyarakat lokal yang terlibat dalam proyek konstruksi.
Bagi Tiongkok, investasi ini membantu menjalankan Inisiatif Belt and Road (BRI), rencana ambisius Beijing untuk memperluas pengaruhnya di Asia, Eropa, dan Afrika. Infrastruktur yang didanai Tiongkok bisa menjadi pos militer baru di Samudra Hindia dan berpotensi mengubahnya menjadi “Samudera Tiongkok,” yang mengelilingi musuh lamanya, India.
Pada 4 Maret 2024, Kementerian Pertahanan Maladewa mengumumkan di platform media sosial X bahwa negara tersebut dan Tiongkok telah menandatangani perjanjian militer bilateral, yang menunjukkan hubungan yang semakin erat antara Maladewa dan Tiongkok serta memburuknya hubungan dengan India.
“Elemen paling krusial dalam hubungan erat kedua negara adalah bahwa Maladewa berada di jalur pelayaran utama perdagangan Tiongkok,” ujar Yiannis Tsinas, mantan analis diplomasi militer di Washington, kepada The Epoch Times. “Salah satu jalur ini mengarah ke Timur Tengah, tempat Tiongkok mengimpor sebagian besar minyaknya.”
Tsinas melihat hubungan erat ini sebagai peningkatan kehadiran militer Tiongkok di kawasan tersebut. “Beijing dapat menghambat kerja sama angkatan laut potensial antara India dan Jepang serta semakin memperkuat pengaruhnya terhadap India di wilayah tersebut.”
Selain itu, Tiongkok dapat mengubah Maladewa—yang merupakan bagian dari zona perdagangan bebas India—menjadi pos transit perdagangan untuk produk-produk Tiongkok dalam perjalanannya ke India.
Namun, jika diteliti lebih dalam, investasi ini lebih menguntungkan Tiongkok dibandingkan Maladewa, karena beberapa alasan klasik. Salah satunya, proyek infrastruktur ini dirancang dan dilaksanakan oleh kontraktor Tiongkok, bukan kontraktor internasional yang dipilih melalui proses tender kompetitif. Para kontraktor ini menggunakan kriteria politik daripada ekonomi dalam studi kelayakan, yang mengutamakan kepentingan birokrat Tiongkok di atas kebutuhan ekonomi Maladewa.
Akibatnya, beberapa proyek memiliki biaya yang terlalu tinggi dan melayani terlalu sedikit konsumen sehingga tidak layak secara ekonomi.
Alasan lainnya adalah pembiayaan berasal dari pinjaman bank milik negara Tiongkok dengan syarat yang terlalu ketat bagi Maladewa untuk menanggungnya—dan di sinilah pinjaman tersebut menjadi “jebakan utang,” yang mendorong agenda tersembunyi Beijing.
Ketergantungan Maladewa terhadap utang Tiongkok tercermin dalam rasio utang terhadap PDB yang terus meningkat, mencapai 100 persen pada awal 2020-an, ketika negara tersebut mengalami defisit transaksi berjalan yang tinggi secara terus-menerus.
Hal ini menjadi sinyal bahaya bagi lembaga pemeringkat utang yang terus memantau situasi tersebut. Misalnya, pada Agustus 2024, Fitch Ratings menurunkan peringkat utang Maladewa menjadi “CC,” yang dikategorikan sebagai “sampah” atau berisiko tinggi.
“Penurunan peringkat IDR Maladewa menjadi ‘CC’ mencerminkan penilaian Fitch bahwa meningkatnya tekanan dari memburuknya indikator pembiayaan eksternal dan likuiditas negara ini membuat kemungkinan gagal bayar lebih besar dalam cakupan peringkat,” kata Fitch.
“Hal ini diperparah oleh penurunan signifikan dalam cadangan devisa, utang luar negeri yang tinggi, dan aliran pembiayaan eksternal yang terbatas.”
Penurunan peringkat dari Fitch membuat Maladewa kesulitan meminjam dana di pasar internasional untuk membayar sukuk senilai $500 juta, obligasi yang mematuhi hukum syariah Islam.
Hal ini menempatkan Maladewa dalam dilema: jika ingin menghindari gagal bayar total, ada dua pilihan sulit.
Pertama, meminta bantuan IMF, yang telah memperingatkan tentang tingkat utang Maladewa tahun lalu. Namun, lembaga berbasis di Washington ini terkenal karena persyaratan ketatnya dalam memberikan bantuan keuangan bagi negara-negara yang sedang mengalami krisis, yang sering kali menimbulkan gejolak politik—seperti yang terjadi di Pakistan setelah menerima pinjaman IMF.
“Negara berkembang akan menghadapi dilema saat mereka meminjam utang luar negeri,” tulis Qi Liu dalam tesis masternya berjudul China’s One Belt One Road Initiative—A Debt Trap?” atau “Inisiatif Satu Sabuk Satu Jalan China—Jebakan Utang?” yang dipresentasikan di Universitas Denver pada 2020.
“Jika mereka meminjam dari IMF, mereka harus menerima pengawasan ketat. Akibatnya, proyek-proyek penting bagi kesejahteraan nasional (seperti proyek BRI) mungkin harus dikorbankan, dan pengembangan industri bisa terganggu oleh tuntutan IMF,” tulis Liu.
Pilihan kedua adalah tetap bergantung pada Tiongkok, yang mungkin akan memberikan pinjaman baru dengan syarat yang lebih ketat atau menukar utang dengan ekuitas, sehingga kontrol atas infrastruktur penting akan beralih ke Beijing—seperti yang terjadi di Sri Lanka.
Namun, solusi ini juga tidak mudah, karena Tiongkok dan IMF/Bank Dunia harus bernegosiasi mengenai kontrol akhir atas proyek-proyek yang termasuk dalam BRI.
“Perusahaan milik negara Tiongkok saat ini mengatur semua proyek BRI,” kata Liu.
“Jika lembaga internasional lainnya ikut mendanai proyek-proyek BRI, mereka harus berbagi hak suara dengan perusahaan milik negara Tiongkok. Dalam proses pengambilan keputusan, tidak masuk akal dan bertentangan dengan kepentingan perusahaan-perusahaan Tiongkok untuk menyerahkan dominasi mereka atas proyek-proyek tersebut.”
Pandangan yang diungkapkan dalam artikel ini adalah opini penulis dan tidak mencerminkan pandangan The Epoch Times.
Panos Mourdoukoutas adalah seorang profesor ekonomi di LIU di New York. Ia juga mengajar analisis keamanan di Universitas Columbia. Tulisannya telah dipublikasikan di jurnal dan majalah profesional, termasuk Forbes, Investopedia, Barron’s, New York Times, IBT, dan Journal of Financial Research. Dia juga penulis banyak buku, termasuk “Business Strategy in a Semiglobal Economy” dan “China’s Challenge.”