Ahmad al-Sharaa, Pemimpin Pemberontak yang Menjatuhkan Assad Ditunjuk sebagai Presiden Sementara Suriah

ETIndonesia. —Faksi-faksi Suriah yang menjatuhkan Presiden Bashar Assad bulan lalu menunjuk seorang mantan pemimpin pemberontak  sebagai presiden sementara  Suriah pada  Rabu (29/1/2025) untuk mewujudkan persatuan saat mereka menghadapi tugas besar membangun kembali Suriah setelah hampir 14 tahun dilanda perang saudara.

Para mantan pemberontak juga membatalkan konstitusi Suriah yang diadopsi di bawah pemerintahan Assad, dengan menyatakan bahwa piagam baru akan segera dirancang.

Dikutip dari The Associated Press, penunjukan Ahmad al-Sharaa, yang pernah berafiliasi dengan kelompok teroris al-Qaeda, sebagai presiden Suriah “dalam fase transisi” diumumkan setelah pertemuan faksi-faksi mantan pemberontak di ibu kota Suriah, Damaskus.

Pengumuman ini disampaikan oleh juru bicara sektor operasi militer dari pemerintahan de facto baru Suriah, Kolonel Hassan Abdul Ghani, seperti dilaporkan oleh kantor berita resmi SANA. Mekanisme pasti yang digunakan oleh faksi-faksi untuk memilih al-Sharaa sebagai presiden sementara tidak dijelaskan.

Sebelumnya dikenal sebagai Abu Mohammed al-Golani, al-Sharaa adalah pemimpin kelompok  Hayat Tahrir al-Sham (HTS), yang memimpin serangan kilat yang menjatuhkan Assad pada awal Desember. Kelompok ini sebelumnya berafiliasi dengan al-Qaeda tetapi sejak itu telah menyangkal hubungan masa lalunya.

Dalam beberapa tahun terakhir, al-Sharaa berusaha menampilkan dirinya sebagai pendukung pluralisme dan toleransi serta berjanji melindungi hak-hak perempuan dan minoritas agama.

Amerika Serikat sebelumnya menawarkan hadiah $10 juta bagi siapa pun yang dapat menangkap al-Sharaa, tetapi membatalkannya bulan lalu setelah delegasi AS mengunjungi Damaskus dan bertemu dengannya. Diplomat senior AS untuk Timur Tengah, Barbara Leaf, mengatakan setelah pertemuan itu bahwa al-Sharaa tampak sebagai sosok yang “pragmatis.”

Berbicara dalam pertemuan  Rabu, al-Sharaa, yang mengenakan seragam militer, menekankan “tugas berat dan tanggung jawab besar” yang dihadapi oleh para penguasa baru Suriah.

Di antara prioritas untuk membangun kembali Suriah, katanya, adalah “mengisi kekosongan kekuasaan secara sah dan legal” serta “mempertahankan perdamaian sipil dengan menegakkan keadilan transisi dan mencegah serangan balas dendam” setelah pemerintahan Assad yang penuh bencana.

Warga Suriah turun ke jalan di Damaskus dan tempat lain untuk merayakan pengumuman tersebut, membunyikan klakson mobil dan dalam beberapa kasus menembakkan senjata ke udara. Banyak yang menyatakan dukungan mereka untuk al-Sharaa.

“Orang ini cerdas dan memiliki pemahaman yang baik. Dia adalah pemimpin pertempuran yang membebaskan Suriah,” kata Abdallah al-Sweid, yang turut merayakan di Lapangan Umayyad, Damaskus. “Dia adalah seseorang yang pantas menjadi presiden.”

Namun, ada pula yang mengkritik cara penunjukan tersebut dan kurangnya kejelasan mengenai langkah selanjutnya, bahkan di antara mereka yang bersukacita atas kejatuhan Assad.

“Masalahnya bukan pada keputusan itu sendiri, tetapi pada waktunya, janji-janji sebelumnya, dan kebingungan yang terjadi,” kata Mohammad Salim Alkhateb, seorang pejabat dari Koalisi Nasional Pasukan Revolusi dan Oposisi Suriah—sebuah kelompok oposisi Assad yang berbasis di pengasingan.

Qatar menjadi negara pertama yang bereaksi terhadap penunjukan al-Sharaa, yang memang telah diperkirakan sebelumnya, dengan menyatakan bahwa mereka menyambut baik keputusan yang bertujuan “meningkatkan konsensus dan persatuan di antara semua pihak di Suriah.” Pernyataan itu juga menambahkan bahwa langkah ini seharusnya membantu membuka jalan bagi “transisi kekuasaan secara damai melalui proses politik yang komprehensif.”

Negara-negara Barat, meskipun telah  memulihkan hubungan dengan Damaskus setelah kejatuhan Assad, masih bersikap hati-hati terhadap penguasa baru Suriah yang berbasis Islamis.

Abdul Ghani, juru bicara pemerintahan baru, juga mengumumkan pada  Rabu bahwa konstitusi Suriah yang diadopsi pada tahun 2012, di bawah pemerintahan Assad, telah dibatalkan. Ia mengatakan bahwa al-Sharaa diberi wewenang untuk membentuk dewan legislatif sementara hingga konstitusi baru dirancang.

Semua kelompok bersenjata di negara itu akan dibubarkan, kata Abdul Ghani, dan akan dimasukkan ke dalam institusi negara.

Sejak kejatuhan Assad, HTS telah menjadi partai penguasa de facto dan telah membentuk pemerintahan sementara yang sebagian besar terdiri dari pejabat dari pemerintahan lokal yang sebelumnya mereka jalankan di provinsi Idlib, wilayah yang sebelumnya dikuasai pemberontak.

Pemerintah sementara  berjanji akan meluncurkan proses inklusif untuk membentuk pemerintahan dan konstitusi baru, termasuk mengadakan konferensi dialog nasional dan mengundang berbagai komunitas Suriah, meskipun belum ada tanggal yang ditetapkan.

Dengan runtuhnya tentara Suriah setelah kejatuhan Assad, al-Sharaa menyerukan pembentukan tentara nasional dan pasukan keamanan yang baru. Namun, masih ada pertanyaan besar tentang bagaimana pemerintahan sementara dapat menyatukan berbagai kelompok pemberontak yang memiliki pemimpin dan ideologi masing-masing.

Persoalan yang lebih rumit adalah mengenai kelompok-kelompok Kurdi yang didukung AS. Mereka mendirikan wilayah otonom sendiri sejak awal perang saudara Suriah dan tidak pernah sepenuhnya berpihak pada pemerintah Assad maupun pemberontak yang berusaha menjatuhkannya. Sejak kejatuhan Assad, bentrokan antara pasukan Kurdi dan kelompok bersenjata pro-Turki yang bersekutu dengan HTS di Suriah utara semakin meningkat.

Pasukan Demokratik Suriah (SDF) yang dipimpin Kurdi tidak hadir dalam pertemuan faksi-faksi bersenjata Suriah pada  Rabu, dan belum ada komentar langsung dari kelompok tersebut.

Dalam pertemuan tahunan Forum Ekonomi Dunia di Davos bulan ini, Asaad al-Shibani, menteri luar negeri baru Suriah sekaligus pejabat HTS, mengatakan bahwa negaranya membutuhkan bantuan dari komunitas internasional untuk memulai kembali pembangunan setelah perang saudara yang brutal.

Sumber : Theepochtimes.com 

FOKUS DUNIA

NEWS