Antonio Graceffo
Kembalinya Presiden Donald Trump ke Gedung Putih mempercepat pemisahan ekonomi AS dari Tiongkok, mengancam ekonomi Beijing yang rapuh melalui tarif dan tindakan legislatif yang lebih ketat.
Trump memperkuat kebijakan perdagangannya secara tegas terhadap Tiongkok, berjanji untuk memberlakukan tarif lebih tinggi dan pembatasan yang lebih ketat. Dengan kepemimpinannya, para legislator AS mendorong undang-undang untuk melemahkan ekonomi Partai Komunis Tiongkok (PKT), termasuk RUU yang diajukan pada 23 Januari untuk mencabut status Most Favored Nation (MFN) Tiongkok dalam perdagangan.
RUU “Restoring Trade Fairness Act”
RUU Restoring Trade Fairness Act, yang diperkenalkan oleh Ketua House Select Committee on the Chinese Communist Party, John Moolenaar dan Tom Suozzi pada 23 Januari, bertujuan untuk mencabut status Permanent Normal Trade Relations (PNTR) Tiongkok.
RUU bipartisan ini mengikuti perintah eksekutif Trump yang menginstruksikan pejabat untuk meninjau usulan legislatif terkait PNTR. Status ini awalnya diberikan pada tahun 2000 dengan harapan bahwa Tiongkok akan menerapkan praktik perdagangan yang adil. Namun, sebaliknya, status ini justru mempercepat penurunan sektor manufaktur AS, pencurian kekayaan intelektual, dan paksaan ekonomi oleh PKT.
RUU ini mengusulkan struktur tarif baru, termasuk tarif minimum 35 persen untuk barang non-strategis dan 100 persen untuk barang strategis, yang akan diterapkan secara bertahap selama lima tahun.
RUU ini juga mengakhiri perlakuan de minimis bagi Tiongkok, yang mana selama ini memungkinkan pengiriman barang bernilai rendah ke AS tanpa tarif. Selain itu, pendapatan dari tarif ini akan digunakan untuk mendukung petani, produsen, dan kesiapan militer AS di Pasifik.
Dengan dukungan bipartisan dan adanya legislasi serupa di Senat oleh Senator Tom Cotton dan Jim Banks , RUU ini menegaskan konsensus yang berkembang bahwa agresi ekonomi Tiongkok membutuhkan tindakan tegas.
Komisi Perdagangan Internasional AS menemukan bahwa tarif telah berhasil mengurangi ketergantungan pada impor Tiongkok tanpa berdampak signifikan terhadap inflasi, semakin memperkuat argumen bahwa pencabutan status PNTR Tiongkok sangat penting untuk memulihkan kapasitas industri AS, menjaga keamanan nasional, dan melawan tekanan ekonomi PKT.
Efek Trump Terhadap Tiongkok
Dampak kebijakan Trump sudah mulai terasa di Tiongkok. Menurut Kamar Dagang Amerika di Tiongkok (AmCham China), rekor 30 persen perusahaan AS di Tiongkok mempertimbangkan atau mulai memindahkan manufaktur atau sumber daya mereka pada tahun 2024, melampaui rekor sebelumnya sebesar 24 persen pada 2022.
Survei terbaru yang diselesaikan pada November 2024 menunjukkan bahwa lebih dari 60 persen responden menganggap ketegangan AS-Tiongkok sebagai tantangan terbesar mereka. Pergeseran ini menguntungkan sekutu AS seperti India dan negara-negara Asia Tenggara, yang menjadi tujuan utama relokasi. Namun, 18 persen perusahaan berencana memindahkan operasinya kembali ke AS, naik dari 16 persen pada tahun sebelumnya.
Ekonomi Tiongkok ynag sudah lemah semakin terancam dengan tarif baru Trump yang mencakup barang senilai $500 miliar. Meskipun Beijing melaporkan pertumbuhan 5 persen untuk tahun 2024, ini merupakan salah satu tingkat pertumbuhan paling lambat dalam beberapa dekade, dipengaruhi oleh krisis properti yang berkepanjangan, utang pemerintah daerah yang tinggi, dan meningkatnya pengangguran kaum muda.
Belanja konsumen yang lemah dan persaingan ketat dari perusahaan lokal Tiongkok semakin menekan profitabilitas, dengan lebih dari separuh responden AmCham China melaporkan kerugian selama tiga tahun berturut-turut. Kepercayaan bisnis yang menurun menyebabkan persentase perusahaan yang tidak lagi menganggap Tiongkok sebagai tujuan investasi utama melonjak menjadi 21 persen—dua kali lipat dari tingkat sebelum pandemi COVID-19.
Ketergantungan Tiongkok pada Ekspor dan Tantangan Global
Pertumbuhan ekonomi Tiongkok saat ini sangat bergantung pada ekspor, terutama kendaraan listrik dan barang industri. Namun, meningkatnya tarif dari AS, Kanada, dan Uni Eropa kini mengancam momentum tersebut.
Belanja domestik yang lemah tetap menjadi masalah besar, dengan konsumsi rumah tangga hanya menyumbang 29 persen dari aktivitas ekonomi pada akhir 2024—turun dari 59 persen sebelum pandemi. Penurunan ini semakin diperburuk oleh jatuhnya nilai properti dan stagnasi upah, membuat Tiongkok semakin bergantung pada ekspor untuk mempertahankan pertumbuhan.
Dampak ekonomi juga dirasakan oleh masyarakat Tiongkok, dengan lebih dari 900 protes terkait keluhan ekonomi tercatat antara Juni dan September 2024—meningkat 27 persen dari tahun sebelumnya, menurut China Dissent Monitor. Pertumbuhan PDB Tiongkok sebesar 5 persen pada 2024 jauh lebih rendah dibandingkan 6,7 persen pada 2016 sebelum masa jabatan pertama Trump. Saat ini, Tiongkok bahkan lebih rentan terhadap pembatasan perdagangan AS dibandingkan periode pertama kepresidenan Trump, karena ekonomi mereka semakin bergantung pada ekspor.
Surplus perdagangan Tiongkok yang mencapai rekor $1 triliun pada 2024 didorong oleh lonjakan ekspor, termasuk pengiriman besar-besaran sebelum pelantikan Trump. Namun, lonjakan ini bersifat sementara. Beijing kini terpaksa mengalihkan perdagangan dari AS dan Uni Eropa ke ekonomi yang lebih kecil seperti Rusia, di mana perdagangan bilateral mencapai $237 miliar pada 2024.
Meski demikian, ini tidak cukup untuk menutupi penurunan permintaan dari pasar Barat. Keberlanjutan perdagangan Tiongkok dengan Rusia juga bergantung pada kebijakan Trump terhadap Moskow, terutama apakah ia akan memberlakukan sanksi sekunder yang lebih ketat terhadap Beijing atas dukungannya terhadap perang Rusia di Ukraina.
Krisis Properti dan Tantangan Domestik
Di dalam negeri, krisis real estat Tiongkok terus menekan pertumbuhan, dengan investasi turun 25 persen dari puncaknya pada 2021 akibat kebijakan “Three Red Lines” yang membatasi pembiayaan pengembang properti. Sektor ini, yang sebelumnya menyumbang sepertiga dari PDB Tiongkok, masih dalam kekacauan, dengan jutaan apartemen yang dibeli di muka mengalami keterlambatan pembangunan dan boikot hipotek yang melemahkan kepercayaan konsumen.
Belanja rumah tangga tetap lemah, hanya menyumbang kurang dari 40 persen PDB—jauh di bawah rata-rata global. Sebuah survei bank sentral Tiongkok pada 2024 menunjukkan bahwa 62 persen warga lebih memilih menabung daripada berbelanja atau berinvestasi, naik dari 44 persen pada 2018, sementara hanya 10 persen responden yang melihat pasar tenaga kerja Tiongkok secara positif, turun dari 16 persen pada 2018.
Saat Beijing berjuang untuk menstabilkan sektor properti, meningkatkan permintaan domestik, dan menghadapi perubahan perdagangan global, tarif Trump akan menambah ketidakpastian lebih lanjut pada ekonomi yang sudah rapuh. Sebagai tanggapan, PKT telah menekan komentar negatif tentang ekonomi, memaksa analis dan influencer untuk menghindari kritik.
Dampak Pemisahan Ekonomi AS-Tiongkok
Sementara itu, pemisahan ekonomi dari Tiongkok akan memperkuat keamanan nasional AS dan membantu membangun kembali basis manufaktur Amerika. Ini juga akan mendorong investasi, penciptaan lapangan kerja, dan pertumbuhan ekonomi di negara-negara sekutu AS di Asia, karena tidak hanya perusahaan Amerika, tetapi juga perusahaan Eropa dan asing lainnya mulai menjauh dari Tiongkok untuk menghindari tarif AS.
Pendapat yang diungkapkan dalam artikel ini merupakan pandangan penulis dan tidak mencerminkan pandangan The Epoch Times.