Putin Siap ‘Menjual’ Beijing? Perebutan Mineral Langka dan Wabah Flu Mematikan Guncang Dunia

EtIndonesia. Sejak kemenangan Donald Trump dalam pemilihan presiden Amerika Serikat, hubungan internasional menjadi semakin dinamis, dengan Rusia dan Ukraina berlomba untuk mendapatkan perhatian dan dukungan dari Washington.

Baru-baru ini, Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy memanfaatkan kesempatan untuk memperkuat hubungan dengan AS, yang berpotensi menambah ketegangan dengan Rusia. Namun, Rusia memiliki “kartu” besar yang masih disimpan, yakni kemitraannya dengan Tiongkok di bawah kepemimpinan Xi Jinping.

Pada 4 Februari 2025, Tiongkok mengumumkan kebijakan kontrol ekspor untuk lima kategori mineral penting—berilium, germanium, bismut, grafit, dan perak. Kebijakan ini merupakan bentuk pembalasan terhadap kenaikan tarif yang diterapkan oleh Trump. Meskipun demikian, beberapa pakar, termasuk Profesor Xie Tian dari University of South Carolina, berpendapat bahwa dampak kebijakan ini mungkin tidak terlalu signifikan. Menurutnya, AS memiliki cadangan mineral langka di wilayah baratnya, dan kenaikan harga akibat kebijakan larangan ekspor bisa mendorong perusahaan-perusahaan AS untuk menambang sendiri. Sebelumnya, Tiongkok pernah menggunakan kendali atas mineral-mineral langka sebagai senjata, tetapi hasilnya tidak begitu berdampak besar.

Namun, kebijakan Tiongkok tersebut tetap menekankan pentingnya sumber daya mineral kritis.

Zelenskyy memanfaatkan potensi mineral Ukraina untuk memperdalam hubungan dengan pemerintah Trump. Ketika Trump mengusulkan agar Ukraina menukar mineral langka sebagai ganti bantuan militer, Zelenskyy mengundang perusahaan-perusahaan AS untuk berinvestasi dalam penambangan mineral langka di Ukraina.

Dia menegaskan: “Saya bersedia mengembangkan semua ini bersama mitra kami. Mereka membantu kita, melindungi wilayah kita, dan dengan senjata serta sanksi, mereka menyingkirkan musuh. Ini benar-benar kerja sama yang adil.”

Ukraina memiliki cadangan mineral yang sangat besar, dengan nilai diperkirakan mencapai 14,8 triliun dolar AS, mencakup mineral-mineral seperti litium, titanium, kalium, mangan, dan bijih besi. Namun, sebagian besar deposit mineral tersebut terletak di wilayah yang saat ini diduduki Rusia. Jika AS dan Ukraina mencapai kesepakatan penambangan, AS tidak hanya akan melindungi area tambang, tetapi juga memperkuat kedaulatan Ukraina. Hal ini tentu menjadi sinyal yang tidak menguntungkan bagi Putin, yang ingin menguasai wilayah tersebut secara permanen.

Dalam perkembangan lainnya, pada 4 Februari, Kremlin mengkritik AS yang kembali mengirimkan senjata ke Ukraina, dengan juru bicara Dmitry Peskov menyatakan bahwa AS seolah mengubah bantuan militer menjadi kesepakatan komersial. Peskov menegaskan bahwa lebih baik jika AS tidak memberikan bantuan sama sekali, karena itu bisa membantu mengakhiri konflik.

Kondisi Sulit Rusia dan Ketergantungannya pada Tiongkok

Rusia saat ini berada dalam kondisi yang cukup sulit. Pengaruhnya di Suriah mulai berkurang, dan sekutunya, Iran, mengalami ketidakstabilan. Proksi Rusia, seperti Hamas dan Hizbullah, juga mengalami kemunduran. Di dalam negeri, Rusia menghadapi inflasi yang sangat tinggi, ditambah gelombang tuntutan kemerdekaan yang terus meningkat.

Di tengah tekanan tersebut, Presiden Vladimir Putin tampaknya semakin mendekati Tiongkok untuk mendapatkan dukungan. Menurut sumber internal Tiongkok, sebelum Trump dilantik pada Januari 2025, Menteri Luar Negeri Tiongkok, Wang Yi, menginstruksikan lembaga terkait untuk memantau hubungan antara Putin dan Trump.

Putin telah menjalin komunikasi rahasia dengan tim Trump dan menyatakan kekagumannya terhadap Trump, terutama terkait pandangannya mengenai radikalisme. Namun, Putin juga merasa ragu apakah Trump bisa dipercaya, terutama setelah Trump sebelumnya menyatakan keinginannya untuk bersekutu dengan Rusia untuk menekan Tiongkok.

Namun, Xi Jinping, pemimpin PKT, tampaknya khawatir bahwa Putin mungkin akan mengkhianati Beijing demi meraih kepentingannya. Beberapa sumber mengungkapkan bahwa Xi bahkan telah menginstruksikan Kementerian Luar Negeri dan lembaga intelijen militer Tiongkok untuk memantau setiap langkah Putin dalam berkompromi dengan Trump. Xi berusaha mendahului Putin dalam mencapai kesepakatan dengan Washington.

Krisis Kesehatan di Tiongkok: Wabah Flu Besar yang Membawa Risiko Fatal

Sementara itu, Tiongkok juga tengah menghadapi krisis kesehatan yang signifikan. Selama libur Tahun Baru Imlek, rumah sakit di seluruh negeri dipenuhi oleh pasien flu tipe A (flu babi/flu H1N1). Masyarakat, khususnya orang tua, mengeluh bahwa banyak anak yang meninggal akibat flu tersebut, dengan beberapa pihak mencurigai adanya gelombang baru Covid-19.

Para pakar kesehatan mengingatkan bahwa flu berat dapat berakibat fatal. Dr. Lü Qun, Direktur Bagian Respirasi dan Kedokteran Intensif di Rumah Sakit Afiliasi Universitas Hangzhou, menjelaskan bahwa flu yang parah bisa menyebabkan dampak serius seperti kegagalan multiorgan, pneumonia berat, bahkan kematian. Kasus seorang pria di Hangzhou yang mengalami “paru-paru putih” akibat flu A menjadi sorotan publik. Para pasien flu berat seringkali mengalami penurunan fungsi kekebalan tubuh, yang dapat menyebabkan komplikasi serius.

Pandemi flu ini semakin memperburuk situasi di Tiongkok, di mana rumah sakit dan fasilitas medis hampir kewalahan. Video yang beredar menunjukkan kesaksian orang tua yang kehilangan anak-anak mereka karena flu, menggarisbawahi betapa seriusnya wabah ini. Penyebaran cepat flu A dan kesulitan yang dialami oleh tenaga medis menunjukkan betapa besar tantangan yang dihadapi oleh sistem kesehatan Tiongkok saat ini.

Kesimpulan:

Situasi geopolitik dan krisis kesehatan yang terjadi di Tiongkok menunjukkan betapa kompleksnya dinamika dunia saat ini. Ketegangan antara Rusia, Ukraina, dan AS terus berkembang, dengan Tiongkok menjadi pemain kunci yang dapat mempengaruhi hasil dari persaingan ini. Sementara itu, krisis flu yang melanda Tiongkok semakin menambah beban negara tersebut, baik dari segi kesehatan masyarakat maupun stabilitas politiknya.

Sementara dunia menyaksikan perkembangan ini, tantangan besar masih ada di depan, baik dalam hal diplomasi internasional maupun dalam mengatasi wabah yang mengancam kehidupan banyak orang. Seiring dengan berlanjutnya ketegangan geopolitik, banyak pihak yang berharap akan adanya solusi yang dapat meredakan ketegangan ini demi kesejahteraan global.

FOKUS DUNIA

NEWS