Forum Elite – NTD & Epoch Times
Sejak awal Korea Utara menginvasi Korea Selatan pada Juni 1950 hingga penandatanganan Perjanjian Gencatan Senjata Panmunjom pada tahun 1953, Perang Korea berlangsung selama 3 tahun penuh yang menyebabkan korban jiwa hampir 2 juta warga sipil. Meskipun semua pihak yang terlibat peperangan itu mengklaim kemenangan. Faktanya, tidak ada pemenang dalam suatu perang, namun perang ini telah berdampak besar pada lanskap politik di Asia Timur, yang kemudian mempengaruhi secara signifikan kebijakan nasional berbagai negara.
Pasukan AS dievakuasi dari Rawa Chosin, pasukan Komunis tewas secara tragis karena kedinginan
Produser TV independen Li Jun mengatakan bahwa Pertempuran Rawa Chosin dalam Perang Korea merupakan pertempuran yang sangat tragis. Pada 8 Oktober 1950, Mao Zedong memerintahkan bala bantuannya masuk ke Korea Utara untuk berperang, dan Pertempuran Rawa Chosin pecah pada 27 November tahun yang sama.
Perang tersebut pecah gegara disulut oleh Korp Kesembilan Tentara Pembebasan Rakyat Tiongkok yang mengerahkan 3 pasukan, 12 divisi dengan 160.000 orang personelnya untuk mengepung dan menyerang Divisi Marinir Pertama Amerika Serikat. Namun hasil akhirnya adalah seluruh Divisi Marinir Pertama AS yang total personelnya sekitar 23.000 orang berhasil keluar dari kepungan.
Meskipun 600 orang tewas dan sekitar 3.600 lainnya terluka dalam baku tembak dengan tentara Komunis, sehingga total kekuatannya tinggal sekitar 19.000 orang. Namun, kerugian di pihak Tiongkok bahkan lebih besar, karena sekitar 50.000 orang personelnya tewas, dan lebih banyak lagi yang mengalami luka. Usai perang, seluruh Divisi ke-20, ke-26, dan ke-27 dari Korp Kesembilan Tentara Pembebasan Rakyat Tiongkok ditarik pulang ke Tiongkok untuk “pembenahan”. Tetapi beberapa hari kemudian tersiar berita bahwa Divisi ke-20 dan ke-26 dibubarkan.
Shi Shan, editor senior dan kepala penulis The Epoch Times mengatakan, bahwa masih ada beberapa rincian tentang pertempuran ini.
Yang pertama adalah bahwa pada tahun itu, Korea Utara mengalami cuaca dingin yang parah yang belum pernah terjadi selama satu abad terakhir, dengan suhu yang menurun hingga minus 40°C.
Yang kedua adalah karena tentara Komunis yang terlibat pertempuran itu berasal dari wilayah selatan Tiongkok yang perlengkapan pakaian musim dingin mereka hanya berlapiskan kapas biasa sehingga tidak dapat menahan cuaca dingin ekstrem di Korea pada saat itu.
Ketiga adalah, tentara Komunis Tiongkok tahu bahwa Divisi Marinir Pertama AS akan datang, dan sudah mempersiapkan sejumlah “kantong” untuk memudahkan penggempurannya. Namun karena masalah peralatan tempur untuk pasukan yang belum lengkap, sehingga menghambat pergerakan maju pasukan AS.
Oleh karena itu, tentara Komunis yang berada di medan pertempuran yang awalnya memperkirakan bahwa pasukan marinir AS akan tiba dalam 2 atau 3 hari, ternyata baru muncul 6 atau 7 hari kemudian. Hal ini membuat tentara Komunis Tiongkok kehabisan makanan dan kedinginan di sana.
Shi Shan telah membaca memoar dari beberapa tentara veteran Amerika Serikat yang menyebutkan, bahwa ketika pasukan Komunis melancarkan serangan, gerakan mereka jadi tampak aneh karena tidak seperti pasukan yang sedang menyerbu, gerakan mereka lebih seperti zombie yang berjalan lurus ke depan, sehingga sangat mudah bagi pasukan mariner AS untuk menumpas mereka semua.
Sejarawan Li Yuanhua mengatakan bahwa pertempuran menerobos kepungan tentara musuh dari pasukan AS dapat dinilai cukup sukses, karena selain berhasil melakukan evakuasi seluruh peralatan, juga termasuk menyelamatkan 100.000 orang warga sipil yang mengungsi. Malahan tentara Komunis yang terpukul. Oleh karena itu, perang ini selalu menjadi kontroversi di kalangan Tentara Komunis Tiongkok. Sehingga Partai Komunis Tiongkok tidak pernah memfilmkan pertempuran di Rawa Chosin ini. Tidak mengangkat pertempuran ini untuk mempropagandakan kehebatan tentaranya.
Jika perang menggempur pasukan AS itu merupakan peristiwa spektakuler sebagaimana yang digambarkan oleh pemimpin PKT saat ini, mengapa berita itu tidak tersebar luas pada saat itu, bahkan tidak seorang pun warga sipil di Tiongkok yang tahu, mengapa peristiwa tersebut tidak berani diangkat dan dipropagandakan selama sekian dekade lamanya oleh rezim PKT? Tidak menutup kemungkinan PKT pun merasa sangat malu walau cuma menyinggung peristiwa ini saja.
Namun dalam konteks barunya, mungkin PKT merasa bahwa ini adalah konflik senjata langsung terbesar antara Tiongkok dan AS, apalagi dapat memanfaatkan situasi pasukan AS yang menarik diri dan berusaha menerobos kepungan tentara Komunis.
Padahal strategi militer AS adalah tidak ingin terjadi konflik senjata langsung dengan tentara Komunis di luar Paralel ke-38 (Garis Demarkasi Militer). Ini adalah perintah militer dan kebijakan nasional. Jika AS benar-benar ingin berperang dengan tentara Komunis, militer AS tidak mungkin cuma mengerahkan kekuatan sebesar itu.
Dari sana terlihat bahwa tidak ada sesuatunya yang dimenangkan oleh PKT, kecuali memanfaatkan peristiwa kontak senjata itu sebagai propaganda, untuk mencuci otak melalui film yang dibuat, memutarbalikkan fakta, dibumbui untuk digunakan sebagai bahan propaganda politik yang bertujuan menghasut pertumbuhan nasionalisme yang terus membenci Amerika Serikat.
Dari sudut pandang perang ini, kejadian sebenarnya tidak seperti apa yang digambarkan oleh PKT. Sesungguhnya baik dalam hal jumlah korban jiwa, kekuatan pasukan, dan hasil pertempuran, kekuatan militer PKT tidak ada yang bisa dibanggakan, apalagi untuk dipamerkan.
Li Yuanhua mengatakan, betapa jahatnya rezim PKT, tanpa peri kemanusiaan, masa bodoh dengan tentaranya yang dijuluki prajurit generasi muda yang merupakan anak-anak rakyatnya, tak peduli apakah mereka bisa mati kedinginan, dikirim ke medan pertempuran bercuaca dingin dengan tanpa perlengkapan pakaian anti-dingin? Namun, dalam keadaan seperti itu pun PKT terus menghasut dan mempromosikan nasionalisme. Apakah rakyat akan tetap mendukungnya yang artinya tidak beda dengan menghancurkan diri sendiri dan masa depan anak-anak.
Banyak tawanan perang Tiongkok memilih pergi ke Taiwan. Jepang dan Taiwan adalah penerima manfaat terbesar dari Perang Korea
Li Jun mengatakan bahwa pada saat itu, Tiongkok dan Korea Utara menghendaki agar semua tawanan perang dipulangkan ke negara masing-masing. Amerika Serikat dengan tegas menolak untuk memulangkan tawanan secara paksa. Kedua belah pihak masih menemui jalan buntu dalam urusan tersebut sampai pada 5 Maret 1953 setelah Khrushchev naik tahta lantaran Joseph Stalin meninggal dunia, ia baru menyetujui repatriasi sukarela para tawanan.
Tentara Komunis Tiongkok yang tertawan jumlahnya mencapai sekitar 20.000 orang, 6.000 di antaranya benar-benar kembali ke Tiongkok daratan, sedangkan 14.000 orang sisanya memilih pergi ke Taiwan. Chiang Kai-shek sangat senang dan menyebut mereka sebagai martir anti-komunis, bahkan membangun “desa martir” untuk mereka tinggal dan berkembang. Namun 6.000 orang tersebut diperlakukan dengan buruk setelah mereka pulang ke tanah airnya Tiongkok. Selama Revolusi Kebudayaan, banyak dari mereka menjadi target penghinaan publik dan menerima penyiksaan, sehingga tidak sedikit dari mereka yang memilih untuk mengakhiri hidup.
Shi Shan mengatakan bahwa jumlah tawan perang tentara Korea Utara mencapai hampir 30.000 orang, lebih banyak dari Tiongkok, tetapi 27.000 orang di antaranya memilih untuk tetap berada di Korea Utara. Artinya, hanya kurang dari 3.000 orang tawan itu yang bersedia pergi ke negara lain seperti Korea Selatan, India atau negara lainnya. Ini adalah perbandingan yang sangat penting dan menyolok pada masa itu, yang membuat Mao Zedong kehilangan muka. Bagaimana tidak, karena banyak tawanan Tiongkok yang lebih memilih Taiwan daripada pulang kembali ke Tiongkok yang ia pimpin. Sementara hanya kurang dari 10% tawanan Korea Utara yang memilih pergi ke Korea Selatan.
Shi Shan mengatakan bahwa Perjanjian Gencatan Senjata Korea ditandatangani oleh tiga pihak: Tiongkok, Korea Utara, Jenderal Peng Dehuai, dan Presiden Korea Utara Kim Il-sung. Sisi selatan ditandatangani oleh Komandan Sekutu, yang mewakili Panglima Angkatan Darat AS dan Panglima AD Korea. Namun Lee Syngman dari Korea Selatan menolak untuk menandatanganinya. Dia percaya bahwa dengan kekuatan Amerika Serikat, mereka seharusnya dapat membantu saya mewujudkan reunifikasi Korea. Pada akhirnya, Amerika Serikat menandatangani atas nama Panglima Angkatan Bersenjata PBB, sehingga hanya ada tiga pihak yang menandatangani perjanjian. Jadi hingga saat ini, Perang Korea sebenarnya belum berakhir, dan komando tertinggi tentara Korea Selatan sebenarnya adalah orang Amerika. Oleh karena itu, Perang Korea yang semula pecah dari Paralel ke-38 akhirnya disepakati menjadi garis gencatan senjata.
Li Yuanhua mengatakan, Taiwan sebenarnya mendapat banyak manfaat dari perang tersebut. Misalnya, Partai Komunis Tiongkok yang ingin menyerang Taiwan untuk mewujudkan reunifikasi, terkuras kemampuannya karena Perang Korea, selain juga dinilai oleh PBB sebagai perang agresi yang bertentangan dengan dunia bebas. Sejak itu, Tiongkok telah terisolasi secara internasional.
Sementara Jepang, negara kalah perang di PD.II yang sedang berusaha untuk memulihkan perekonomiannya, malahan memperoleh sejumlah besar pesanan produksi bahan logistic gegara ada Perang Korea. Hal ini berarti bahwa Jepang telah memperoleh kekuatan eksternal yang membantu mendongkrak perekonomiannya.
Li Yuanhua mengatakan bahwa sekitar 2 juta orang warga Korea tewas dalam perang ini. Baik di pihak Tentara Rakyat Korea Utara maupun pasukan di pihak Korea Selatan. Perang tersebut telah membawa bencana besar bagi negara dan rakyat.
Pihak yang paling dirugikan dari perang antara 2 kubu ini adalah Korea Utara dan PKT
Awak media senior Guo Jun mengatakan bahwa menurut pendapatnya, inti dari Perang Korea bukanlah perang antara dua negara atau beberapa negara, tetapi perang antara dua kubu, yakni dunia bebas dan kubu komunis.
Dilihat dari sudut pandang ini, begitu pula dari sudut pandang militer, perang yang berawal dan berakhir di Paralel ke-38 ini tidak menguntungkan semua pihak, tetapi yang paling dirugikan adalah bangsa Korea yang menjadi terpecah belah menjadi 2 negara. Apalagi rakyat Korea Utara yang hingga saat ini masih hidup dalam kondisi termiskin di dunia.
Menurut saya, Amerika Serikat juga termasuk pihak pecundang. Paling tidak adalah setengah pecundang meskipun bukan dalam pertempuran di Perang Korea. Karena sebelum perang ini, dalam semua perang yang diikuti Amerika Serikat, pihak lawan yang duluan menyerah, namun tidak begitu dalam Perang Korea.
Oleh karenanya, banyak orang yang mengira bahwa Amerika Serikat telah mengalami kekalahan, terutama karena sirnanya takhayul tentang betapa hebatnya kekuatan militer AS. Ini juga salah satu alasan mengapa Jenderal MacArthur menolak pendapat itu. Namun, sejak saat itu ada takhayul politik yang dikembangkan AS, yakni AS akan berusaha menjaga keamanan dunia tak peduli berapa besar risikonya. AS telah menjadi polisi internasional bagi negara mana pun yang mempunyai masalah keamanan negara, jadi mereka akan meminta AS untuk mengambil tindakan. Hal tersebut bahkan berlanjut hingga sekarang.
Pecundang ketiga adalah Partai Komunis Tiongkok. Pasca Perang Korea, perekonomian Tiongkok justru terpuruk. Setelah itu 30 juta rakyatnya mati kelaparan yang sulit untuk tidak dikaitkan dengan perang. Karena perang ini telah membawa dampak sangat buruk terhadap penerapan politik dan ekonomi PKT di hari-hari selanjutnya.
Guo Jun mengatakan, bahwa selama Perang Korea, Partai Komunis Tiongkok dengan jelas menyadari bahwa mustahil dapat mengalahkan tentara AS sekalipun dengan mengerahkan lima kekuatan untuk melawan satu seperti pertempuran yang terjadi di Rawa Chosin. Oleh karena itu, setelah Perang Korea, pemahaman dasar PKT tentang dunia adalah bahwa perang dunia tidak dapat dihindari, sehingga semua rancangan ekonomi dan politik PKT di masa depan perlu dikembangkan berdasarkan premis tersebut.
Perang adalah keadaan yang ekstrim, dan sistem perang adalah sistem yang ekstrim. Di era Mao Zedong, sistem yang diterapkan di Tiongkok adalah sistem perang, banyak pabrik yang dioperasikan dengan tidak meninggalkan sistem militerisasi. Pada saat itu, sangat umum di Tiongkok jika pasangan keluarga harus berpisah. Banyak orang dikirim untuk bekerja di pegunungan, dan anggota keluarga terpisah, yang berdampak buruk terhadap kemampuan inovasi terutama di bidang teknologi dan budaya.
Guo Jun mengatakan bahwa Mao Zedong bukanlah orang normal, dia adalah orang gila. Faktanya pada saat itu, para pemimpin tinggi Partai Komunis Tiongkok menentang campur tangan PKT dalam Perang Korea, kecuali Peng Dehuai seorang diri yang mendukung Mao, Peng Dehuai mengatakan bahwa anggap saja keikutsertaan tentara kita dalam perang di Korea itu sebagai perpanjangan waktu dari perang pembebasan Tiongkok. Mendengar hal itu Mao Zedong yang sangat gembira langsung menginstruksikan pengiriman pasukan.
Mengapa? Karena baik Uni Soviet, Amerika Serikat bahkan PKT sendiri tidak optimis terhadap perang saudara antara Partai Komunis Tiongkok dan Kuomintang. Pada saat itu Mao Zedong mengusulkan untuk berperang selama 8 tahun lagi, kemudian berubah menjadi 5 tahun lagi.
Tetapi hanya dalam 3 tahun PKT berhasil mengalahkan Kuomintang, yang membuat Mao Zedong sangat ambisius, ia bahkan merasa bahwa dirinya adalah Dewa Perang dan memiliki kemampuan yang super. Oleh karena itu, pemahaman PKT saat itu adalah bahwa Perang Dunia I menciptakan negara komunis pertama di dunia, dan Perang Dunia II menciptakan sejumlah negara komunis.
Jadi, jika terjadi perang dunia lagi, maka akan muncul sebuah negara komunisme global yang mengejutkan dunia. Jadi bagi Mao Zedong, persetan dengan rakyat hidup sengsara dan perekonomian tidak berjalan baik. Yang penting adalah dirinya bisa sepenuhnya memonopoli kekuasaan politik.
Guo Jun mengatakan bahwa Partai Komunis, sistem politik kediktatoran proletary ini adalah sistem perang yang ekstrem, sedangkan Perang Korea hanya mempercepat tindakan PKT tersebut. Militer AS menyadari bahwa tentara Partai Komunis Tiongkok sulit untuk dihadapi karena tidak rasional, sehingga pada dasarnya militer AS lebih memilih mengadopsi kebijakan defensif dalam desain militernya untuk menghadapi PKT, sehingga ia memimpin pembentukan ASEAN. ASEAN yang paling awal adalah aliansi militer dari 5 negara, yang setelah Perang Dingin secara perlahan-lahan berkembang menjadi seperti sekarang.
Tiongkok bisa jadi seperti Taiwan jika tidak terlibat Perang Korea, Xi Jinping berambisi melampaui Mao Zedong lewat upaya unifikasi
Li Jun mengatakan, jika kita boleh berasumsi bahwa jika Mao Zedong tidak mengirimkan pasukannya ke Korea, mungkin saja AS akan mendukung Tiongkok karena Presiden Truman saat itu ingin menggaet Tiongkok ke pihaknya.
Dan, andaikata Tiongkok dan AS menjalin kerja sama mulai tahun 1950, saya yakin Tiongkok sudah berubah menjadi negara demokrasi dan kebebasan. Jika pada saat itu Mao Zedong tidak melancarkan perang, kemungkinan besar Tiongkok sudah menjadi versi Taiwan yang diperluas.
Li Yuanhua mengatakan bahwa Xi Jinping tidak ingin menjadikan dirinya sebagai miniatur Mao Zedong. Dia justru berambisi untuk melampaui Mao Zedong melalui mewujudkan unifikasi Taiwan. Itu adalah target yang ia tetapkan sendiri.
Faktanya, apakah Anda juga melihatnya bahwa ia selain memusatkan kekuasaan ke dalam genggamannya, ia juga melakukan pembersihan militer, menunjukkan dirinya tidak peduli dengan perekonomian negara atau kehidupan masyarakat, kecuali mewujudkan cita-citanya. Dalam hal ini, jika cita-citanya itu ingin diwujudkan, maka itu akan menjadi bencana bagi seluruh Tiongkok, dan PKT juga mungkin mengalami kehancuran total dalam proses tersebut.
Li Yuanhua mengatakan, bahwa dirinya percaya Xi mungkin akan menyerang Taiwan. Adapun kapan dan peluang apa yang akan terjadi, dia menunggu kesempatan untuk bergerak. Dia ingin melihat reaksi seluruh dunia, reaksi Amerika Serikat, dan reaksi wilayah lain. Li Yuanhua berpikir ada kemungkinan dia akan bersikukuh untuk menempuh caranya, tetapi seluruh mesin negara di Partai Komunis Tiongkok belum tentu bisa ia kendalikan seperti yang dia inginkan. Anteknya yang cuma segelintir belum tentu mampu menggerakkan segalanya. Dipikir meskipun Xi memiliki cita-cita itu, tetapi belum tentu mampu mewujudkannya. ###