EtIndonesia. Presiden AS Donald Trump baru-baru ini mengumumkan niatnya untuk mengambil alih Gaza, yang langsung memicu perdebatan sengit. Namun, ide ini bukanlah sesuatu yang muncul begitu saja, melainkan telah dirancang sejak lama. Diyakini bahwa sosok di balik gagasan ini adalah menantu Trump, Jared Kushner.
Jared Kushner adalah penasihat senior Gedung Putih selama kepresidenan Trump pada tahun 2020. Pada Februari 2024, dalam wawancara dengan Kennedy School of Government di Universitas Harvard, Kushner mengungkapkan gagasan untuk mengubah Gaza menjadi “Riviera Timur Tengah,” dengan membandingkannya dengan pantai mewah di Miami, Florida.
Sebenarnya, selama masa jabatan pertama Trump, Kushner telah merancang “Rencana Perdamaian Abad Ini untuk Timur Tengah”, yang terdiri dari dua bagian utama:
- Bagian politik, yang membahas status Yerusalem dan isu-isu inti lainnya.
- Bagian ekonomi, yang bertujuan untuk meningkatkan pembangunan di Palestina.
Kushner menekankan bahwa rencana ini membutuhkan kompromi dari kedua belah pihak, tetapi tidak akan mengorbankan keamanan Israel.
Sebagai tokoh yang mendorong normalisasi hubungan antara Israel dan beberapa negara Arab, Kushner dan utusan Timur Tengah AS, Avi Berkowitz, bahkan dinominasikan untuk Hadiah Nobel Perdamaian pada tahun 2021. Menurut Reuters, nominasi ini didasarkan pada peran mereka dalam negosiasi normalisasi hubungan antara Israel dan beberapa negara Arab pada tahun 2020.
Nama mereka diajukan oleh pengacara AS, Alan Dershowitz, yang merupakan pendukung Trump dan memiliki hak untuk mengajukan nominasi karena statusnya sebagai profesor kehormatan di Harvard Law School.
Dalam konteks ketegangan jangka panjang antara negara-negara Timur Tengah dan Iran, kesepakatan Abraham (Abraham Accords) yang diprakarsai Kushner dianggap sebagai terobosan diplomatik terbesar dalam 25 tahun terakhir di kawasan tersebut.
Dalam suratnya kepada Komite Nobel, Alan Dershowitz juga menyebut kontribusi dari mantan Duta Besar AS untuk Israel, David Friedman, serta mantan Duta Besar Israel untuk AS, Ron Dermer.
Dershowitz menulis:”Hadiah Nobel Perdamaian bukanlah soal popularitas atau ketenaran, tetapi harus memenuhi standar yang ditetapkan oleh Alfred Nobel dalam wasiatnya.”
Menteri Luar Negeri AS: Bukan Tindakan Bermusuhan
Selama konferensi pers bersama dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, Trump beberapa kali menyebut tentang rencana “mengambil alih” dan “memiliki” Gaza.
Menteri Luar Negeri AS, Marco Rubio, mengatakan bahwa rencana ini bukanlah tindakan permusuhan, melainkan tindakan murah hati. Menurut Rubio, Trump sangat murah hati karena bersedia membangun kembali Gaza dan bertanggung jawab atas rekonstruksinya.
Meskipun mendapat penolakan dari kelompok sayap kiri di AS dan Eropa, Trump bersikeras bahwa “semua orang menyukai” rencana ini.
Pada konferensi pers di Gedung Putih dengan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, Trump mengumumkan rencana ini.
Pada 4 Februari, Trump menyatakan bahwa:”Setelah rakyat Palestina dipindahkan dari Jalur Gaza Amerika Serikat akan mengambil alih dan mengelola wilayah tersebut.”
Netanyahu, dalam sebuah wawancara dengan media, menyatakan bahwa dia tidak melihat masalah dalam gagasan ini.
Sementara itu, juru bicara Gedung Putih, Karoline Leavitt, menegaskan bahwa keterlibatan AS dalam proyek ini tidak berarti bahwa pasukan AS akan dikerahkan, atau pajak rakyat Amerika akan digunakan untuk membiayai proyek ini.
Pada 5 Februari, dalam wawancara dengan Fox News, Netanyahu tidak secara eksplisit membahas ide Trump untuk mengambil alih Gaza, tetapi mendukung gagasan bahwa penduduk Gaza yang ingin pergi biarkan meninggalkan wilayah tersebut.
Netanyahu menyatakan: “Maksud saya, apa yang salah dengan ide ini? Mereka bisa pergi, lalu kembali. Mereka bisa pindah keluar, lalu kembali lagi. Tapi Gaza harus dibangun kembali.”
Dia menambahkan: “Ini adalah ide pertama yang masuk akal yang saya dengar. Ini adalah konsep yang luar biasa, dan saya pikir kita harus mempelajari, mendorong, dan mewujudkannya. Saya yakin ini akan menciptakan masa depan yang berbeda bagi semua orang.”
Sejak 25 Januari, Trump secara berulang kali menegaskan bahwa pengungsi Palestina dari Gaza harus diterima oleh negara-negara Arab tetangga seperti Mesir dan Yordania.
Trump: Tidak Perlu Mengerahkan Pasukan AS
Meskipun negara-negara Arab dan sekutu AS menolak rencana pengambilalihan Gaza oleh AS, Trump tetap bersikeras untuk melanjutkan rencana tersebut.
Pada 6 Februari, melalui akun media sosialnya di Truth Social, Trump mengklaim bahwa: “Setelah perang berakhir, Gaza akan diserahkan oleh Israel kepada Amerika Serikat. Orang-orang Palestina seperti Chuck Schumer (pemimpin mayoritas Senat dari Partai Demokrat yang beragama Yahudi) telah dipindahkan ke komunitas yang lebih aman dan lebih indah, dengan rumah-rumah modern yang baru dibangun. Mereka akhirnya memiliki kesempatan untuk hidup lebih bahagia, lebih aman, dan lebih bebas.”
Trump juga menyatakan bahwa:”Amerika Serikat akan bekerja dengan tim pengembang kelas dunia dari seluruh dunia untuk membangun Gaza dengan hati-hati dan perlahan-lahan. Ini akan menjadi salah satu proyek pembangunan paling luar biasa di dunia. Tidak perlu pasukan AS. Yang paling penting adalah menjaga stabilitas kawasan ini!”
Kesimpulan: Apakah Rencana Ini Realistis?
Pernyataan Trump tentang mengambil alih Gaza memunculkan banyak pertanyaan:
- Apakah Israel benar-benar bersedia menyerahkan Gaza kepada AS?
- Bagaimana reaksi negara-negara Arab terhadap rencana ini?
- Apakah Trump memiliki dukungan yang cukup di dalam negeri untuk mewujudkan ide ini?
Meskipun tampaknya sulit untuk diwujudkan dalam praktiknya, gagasan ini tetap menarik perhatian besar di tingkat internasional. Jika Trump benar-benar berupaya menjalankan rencana ini, dunia akan menyaksikan bagaimana AS mencoba mengambil peran baru di Gaza pascakonflik. (jhn/yn)