ETIndonesia. Dia keluar dari penjara dengan tekad bulat untuk melarikan diri, dengan Amerika Serikat sebagai pilihan utama. Mengingat segala siksaan yang dialaminya di dalam penjara, dia merasa merinding ketakutan—tanpa martabat, hidupnya lebih buruk dari hewan ternak. Dia adalah orang baik yang menjalani hidupnya dengan jujur, tetapi dijebloskan ke penjara selama 6 tahun dan mengalami penderitaan luar biasa. Setelah dibebaskan, dia tetap tidak bisa lepas dari ancaman, pengawasan, pelecehan, dan pencucian otak. Negara macam apa ini?
Dia bertekad untuk pergi tanpa ragu sedikit pun. Bahkan jika gagal, dia tidak akan menyesal.
Dia takut istrinya akan khawatir, jadi dia baru memberitahukan rencananya sebelum keberangkatan. Istrinya memahami dan mendukung keputusannya. Dia sendiri pernah dua kali dipenjara di kamp kerja paksa tanpa alasan yang jelas dan mengalami siksaan kejam.
Maka, dia pun melarikan diri. Terombang-ambing di lautan tanpa keterampilan berlayar, menghadapi badai ganas, arus laut berbahaya, kelaparan, kelelahan, serta kekurangan bahan bakar dan air—berbagai kesulitan yang tak terduga. Akankah dia ditelan oleh lautan? Ditinggalkan oleh takdir?
Bagaimana pula nasib istrinya?
- Pelarian
Namanya Lin Hongbin, tetapi keluarga dan teman-temannya memanggilnya A Lin. Ia lahir pada 14 Oktober 1973 di Kabupaten Haifeng, Provinsi Guangdong. Setelah lulus SMA, pada tahun 1992, ia bergabung dengan Pasukan Polisi Perbatasan di Kota Beihai, Guangxi, sebagai seorang polisi militer perbatasan yang bertugas menangkap penyelundup dan pelaku perdagangan manusia. Setelah pensiun, ia berbisnis dengan seorang teman, membuka toko kosmetik.
Di seberang tokonya, ada sebuah toko pakaian, dan di sanalah ia jatuh hati pada seorang gadis bernama Chen Xiao. Gadis itu bertubuh ramping, berkepribadian ceria dan polos, baik hati serta rajin bekerja. Chen Xiao dan orang tuanya juga memiliki kesan yang baik terhadap A Lin. Dengan tinggi badan 178 cm, tubuh yang tegap, tampan, sopan, dan cerdas, A Lin adalah pria yang menarik.
Pada tahun 1996, A Lin dan Chen Xiao menikah. Mereka tinggal bersama orang tua Chen Xiao dan mengelola toko pakaian bersama. Bisnis mereka semakin berkembang.
Namun, ada satu hal yang menyedihkan—Chen Xiao memiliki kesehatan yang lemah. Sejak usia 13 tahun, ia menderita rinitis alergi, radang tenggorokan, bronkitis, dan alergi kulit. Bertahun-tahun minum obat tidak membawa hasil, dan tubuhnya tetap sangat sensitif terhadap alergi, membuatnya sangat menderita.
Di tahun pernikahan mereka, seorang bibi memperkenalkan kepada Chen Xiao sebuah latihan yang saat itu sedang populer—suatu aliran Buddha yang disebut Falun Gong. Ia langsung tertarik. Sejak kecil, ia pernah berpikir untuk menjadi seorang biksuni. Ia sangat ingin segera belajar Falun Gong, tetapi bibi itu mengatakan bahwa malam itu adalah sesi terakhir dari kelas sembilan hari Falun Gong, jadi ia harus menunggu sesi berikutnya.
Namun, Chen Xiao tidak sabar dan langsung meminta alamat rumah bibi itu untuk menonton rekaman ceramah pendiri Falun Gong, Master Li Hongzhi. Saat pertama kali menonton rekaman itu, ia langsung bisa duduk bersila dengan kedua kakinya bertumpang tindih. Bibi itu berkata bahwa ia memiliki bakat alami dalam berlatih. Chen Xiao pun membawa pulang buku Falun Gong dan gambar petunjuk lima rangkaian gerakan latihan.
Setelah pulang, Chen Xiao memperkenalkan Falun Gong kepada keluarganya. Orang tuanya dan suaminya bergiliran membaca buku tersebut dan semuanya merasa itu sangat baik. Pada Desember 1996, suaminya juga mulai berlatih. Setelah mempelajari gerakan-gerakan latihan, ia mengajarkannya kepada keluarganya. Tiga bulan setelah berlatih, penyakit Chen Xiao sembuh total, membuat keluarga dan teman-temannya terkejut.
A Lin bukan mulai berlatih karena alasan kesehatan atau untuk memperoleh kekuatan supranatural, tetapi karena ia benar-benar merasakan manfaat Falun Gong bagi negara dan rakyat. Prinsip “Sejati, Baik, dan Sabar” bisa membuat dunia penuh dengan cinta. Ia ingin berbagi keindahan ini dengan orang lain.
Ayah mertua A Lin menyediakan sebuah rumah tiga lantai secara gratis untuk digunakan sebagai tempat belajar dan berlatih Falun Gong. A Lin dengan sukarela mengajarkan gerakan latihan dan menyediakan buku-buku Falun Gong secara gratis. Ia kemudian menjadi ketua pusat pelatihan sukarela Falun Gong di Kota Beihai.
Keluarga mereka sering pergi ke desa-desa untuk menyebarkan Falun Gong. Banyak penduduk desa yang setelah berlatih menjadi lebih sehat, berhenti berjudi, tidak lagi bertengkar, dan berubah menjadi pribadi yang lebih baik. Setiap akhir pekan, penduduk desa menyewa bus untuk pergi ke Alun-Alun Beibu Gulf guna mengikuti latihan bersama dengan ribuan orang lainnya.
Falun Gong, juga dikenal sebagai Falun Dafa, pertama kali diperkenalkan ke publik oleh Master Li Hongzhi pada 13 Mei 1992 di Tiongkok. Falun Gong berpedoman pada prinsip “Sejati, Baik, Sabar” dan terdiri dari lima rangkaian latihan sederhana yang mudah dipelajari. Latihan ini membantu meningkatkan moralitas seseorang, membersihkan tubuh, serta memberikan manfaat fisik dan mental yang luar biasa.
Dalam waktu kurang dari tujuh tahun, Falun Gong telah menyebar ke seluruh Tiongkok Menurut laporan resmi pemerintah Tiongkok, jumlah orang yang berlatih Falun Gong mencapai 70 hingga 100 juta orang.
![](https://etindonesia.com/wp-content/uploads/2025/02/Hidup-Penindasan-2.jpg)
![](https://etindonesia.com/wp-content/uploads/2025/02/Penghargaan-TIONGKOK.jpg)
![](https://etindonesia.com/wp-content/uploads/2025/02/Tianamen-Penindasan-1.jpg)
![](https://etindonesia.com/wp-content/uploads/2025/02/Tianamen-Penindasan-2.jpg)
Dari 11 hingga 20 Desember 1993, Master Li Hongzhi bersama murid-muridnya menghadiri Pameran Kesehatan Oriental Beijing tahun 1993. Dalam acara tersebut, ia menerima penghargaan tertinggi “Penghargaan Kemajuan Ilmu Pengetahuan Marginal”, “Penghargaan Emas Khusus”, serta gelar “Ahli Qigong yang Paling Disukai Masyarakat”. Pada 27 Desember 1993, Yayasan Keberanian dan Kebajikan Tiongkok yang berada di bawah Kementerian Keamanan Publik Tiongkok menganugerahkan sertifikat kehormatan kepada Tuan Li.
Pada tahun 1998, Administrasi Umum Olahraga Nasional Tiongkok mengorganisir tim ahli untuk melakukan lima kali survei medis terhadap hampir 35.000 praktisi Falun Gong. Hasilnya menunjukkan bahwa efektivitas Falun Gong dalam meningkatkan kesehatan mencapai 98%.
Namun, pemimpin Partai Komunis Tiongkok (PKT) saat itu, Jiang Zemin, takut bahwa orang-orang akan mengikuti ajaran Falun Gong yang menekankan prinsip “Sejati, Baik, Sabar”. Ia juga iri karena jumlah praktisi Falun Gong melebihi 70 juta orang, lebih banyak daripada jumlah anggota Partai Komunis Tiongkok. Oleh karena itu, pada 20 Juli 1999, Jiang Zemin melancarkan penganiayaan besar-besaran terhadap Falun Gong yang masih berlangsung hingga kini.
Setelah penganiayaan dimulai, praktisi Falun Gong dari seluruh negeri secara spontan pergi ke Beijing untuk mengajukan petisi kepada pemerintah, menyerukan penghentian penganiayaan. Mereka mengangkat spanduk bertuliskan “Falun Dafa Baik” dan “Sejati, Baik, Sabar Baik” di Lapangan Tiananmen. A Lin dan istrinya tidak terkecuali—mereka juga ingin pergi ke Beijing untuk menyuarakan keadilan bagi Falun Gong.
Pada Agustus 1999, A Lin dan istrinya pergi ke Beijing dan bergabung dengan para praktisi Falun Gong setempat untuk pergi ke desa-desa, berdiskusi dengan praktisi lainnya tentang bagaimana mereka dapat berbicara untuk menegakkan keadilan bagi Falun Gong. Pada Oktober, mereka menunggu kedatangan para praktisi Falun Gong dari kampung halaman mereka di Beihai. Saat itu, pemeriksaan di Beijing sangat ketat. Mereka semua menginap di sebuah penginapan, tetapi salah satu praktisi dari Beihai yang tidak membawa kartu identitas tertangkap oleh pihak berwenang. Akibatnya, A Lin dan istrinya juga ditangkap. Keduanya kemudian dijatuhi hukuman kerja paksa secara ilegal—A Lin selama dua tahun, dan istrinya selama satu tahun.
Pada Desember 2000, Chen Xiao dibebaskan dari kamp kerja paksa. Saat itu, A Lin juga dibebaskan lebih awal oleh pihak berwenang. Badan “610” setempat—sebuah lembaga ilegal yang dibentuk khusus untuk menganiaya Falun Gong—bermaksud membebaskannya lebih awal agar ia bisa membantu mereka mencegah praktisi lain pergi ke Beijing untuk mengajukan petisi. Sebelum penganiayaan dimulai, A Lin adalah kepala pusat pelatihan sukarela Falun Gong di Kota Beihai.
Namun, A Lin dengan tegas menolak permintaan “610”, sehingga ia berada di bawah pengawasan ketat dan sering mengalami pelecehan di rumahnya. Setiap kali ia mendapatkan pekerjaan, kepala “610” akan mengancam pemilik usaha untuk memecatnya.
“610” adalah organisasi ilegal yang dibentuk pada 10 Juni 1999 atas perintah langsung Jiang Zemin. Organisasi ini berada di atas konstitusi dan hukum negara, mengendalikan polisi, kejaksaan, pengadilan, serta departemen hukum. Lembaga melaksanakan perintah Jiang Zemin terhadap Falun Gong, yaitu: ‘Hancurkan reputasinya, lumpuhkan ekonominya, dan musnahkan mereka secara fisik’. Organisasi “610” memiliki cabang di setiap provinsi, kota, kabupaten, distrik, serta lembaga pemerintah dan perusahaan, dengan tujuan menyebarkan penganiayaan terhadap Falun Gong ke seluruh negeri.”
Pada 26 September 2001, putra A Lin dan Chen Xiao, yang diberi nama Rongrong, lahir.
Pada Oktober 2002, A Lin membuat sepuluh spanduk bertuliskan “Falun Dafa Baik” dan “Falun Dafa adalah Jalan yang Benar”. Ia mempertaruhkan nyawanya dengan menggantungkan spanduk-spanduk ini di depan kantor Komite Politik dan Hukum, pemerintah kota, serta kantor polisi. Kejadian ini membuat panik pihak Komite Politik dan Hukum serta badan “610” setempat. Tiga minggu kemudian, polisi menyerbu rumahnya, memborgolnya, dan membawanya pergi.
A Lin kemudian dijatuhi hukuman enam tahun penjara secara ilegal dan dipenjara di Penjara Litang, Binjiang, Guangxi. Di sana, ia mengalami siksaan yang hampir merenggut nyawanya berkali-kali. Ia akhirnya dibebaskan pada Agustus 2007.
Setelah kembali ke rumah, polisi, petugas komunitas, dan terutama staf “610” setempat terus-menerus mengganggunya setiap malam setelah pukul 21.00. Kepala “610” sangat berambisi untuk mendapatkan promosi jabatan, sehingga ia harus memenuhi target yang diberikan oleh atasan, yaitu memaksa sejumlah praktisi Falun Gong untuk melepaskan keyakinannya melalui program “transformasi”. Setiap tahun, ia secara aktif mengadakan sesi pencucian otak dan menculik praktisi Falun Gong untuk menekan mereka agar menyerah. Setiap kali ada sesi pencucian otak, A Lin dan istrinya selalu menjadi target utama.
Sesi pencucian otak sebenarnya adalah penjara gelap di luar sistem hukum. Sejak PKT mulai menganiaya Falun Gong, Komite Politik dan Hukum serta “610” di semua tingkatan telah mendirikan sesi pencucian otak di berbagai tempat—mulai dari pusat kota hingga desa, sekolah, pabrik, militer, komunitas, dan bahkan jalan-jalan kecil. Sesi ini bisa berlangsung dalam jangka panjang, jangka pendek, atau tanpa jadwal tetap. Menurut statistik dari Minghui.org, terdapat setidaknya 3.640 pusat pencucian otak di seluruh Tiongkok.
![](https://etindonesia.com/wp-content/uploads/2025/02/RUMAH-CUCI-OTAK.jpg)
Kelas Cuci Otak menjadi salah satu metode utama yang digunakan oleh Komite Urusan Politik dan Hukum Partai Komunis Tiongkok (PKT) serta “Kantor 610” dalam menganiaya praktisi Falun Gong. Setelah ditangkap secara ilegal, para praktisi dipaksa menonton video yang memfitnah dan mencemarkan nama baik Falun Gong, serta dipaksa menulis apa yang disebut “Tiga Pernyataan”—surat jaminan untuk meninggalkan Falun Gong, surat pertobatan, dan surat pernyataan perpisahan. Mereka yang menolak akan disiksa dengan kejam, mengalami cacat fisik, luka serius, atau bahkan kematian.
Setelah PKT mulai menganiaya Falun Gong pada 20 Juli 1999, pada Agustus tahun yang sama, mereka mengeluarkan kebijakan “transformasi” terkait. Pada 24 Agustus, Xinhua News Agency menerbitkan pemberitahuan dari Kantor Umum Komite Sentral PKT dan Kantor Umum Dewan Negara, yang secara eksplisit meminta “meningkatkan pendidikan transformasi dan pembebasan bagi sebagian besar praktisi Falun Gong.”
Sejak itu, “transformasi” menjadi tujuan utama dari penindasan Falun Gong oleh PKT dan tugas utama dari berbagai tingkatan lembaga pemerintahan yang menindas praktisi. Semua tempat penahanan praktisi Falun Gong menggunakan berbagai metode penyiksaan yang sangat kejam demi memaksa mereka untuk menyerah.
Setelah dibebaskan dari penjara, karena menolak “transformasi”, A-Lin terus kehilangan pekerjaan akibat gangguan dari “Kantor 610”. Dia terpaksa mencari cara lain untuk bertahan hidup.
Saat dia keluar dari penjara, Taobao baru saja diluncurkan. Saat itu belum ada bahan pelatihan apa pun, jadi dia belajar sendiri bagaimana menjalankan toko online dan mulai menjual pakaian bermerek. Dalam satu tahun, dia berhasil menghasilkan RMB.100.000 , jumlah yang cukup besar saat itu. Ia mulai mempertimbangkan cara untuk meninggalkan Tiongkok.
Dia berulang kali mengajukan permohonan paspor, tetapi selalu ditolak. “Kamu seorang praktisi Falun Gong, pernah menjadi ketua stasiun latihan, dan bahkan pernah dipenjara. Kamu masih ingin pergi ke luar negeri?” tanya petugas perbatasan. Ia pun kembali dengan tangan hampa.
Persiapan untuk Melarikan Diri
Pada awal tahun 2010, ia memutuskan untuk melarikan diri melalui laut, sebuah tindakan yang sangat berisiko. Ia tidak pernah mengemudikan kapal dan tidak memiliki pengalaman berlayar, sementara kapal patroli sering berpatroli di perairan itu.
Namun, bagi A-Lin, meskipun menghadapi kesulitan di laut, itu masih lebih baik daripada di penjara. Ia mulai diam-diam merencanakan pembelian kapal, tetapi tidak memberi tahu keluarganya karena khawatir mereka akan cemas. Jika “Kantor 610” mengetahui rencananya, dia akan kehilangan semua kesempatan untuk melarikan diri, dan keluarganya juga akan terkena dampaknya.
Ia bersembunyi di rumah temannya, Hai-Bo, yang bersedia melarikan diri bersamanya.
Hai-Bo, dua tahun lebih tua darinya, lahir di Vietnam sebagai yatim piatu dan dibesarkan oleh orang tua angkatnya di Kota Beihai. Karena kemiskinan, dia beberapa kali mencoba menyelinap keluar dari Tiongkok tetapi gagal dan akhirnya masuk penjara. Akibatnya, kartu identitasnya dicabut. Pada tahun 1998, setelah mengenal A-Lin, ia belajar tentang Falun Gong dan mulai ikut berlatih.
Mereka mempelajari peta dengan saksama. Rute awal mereka adalah berlayar dari Teluk Beihai ke timur melalui Taiwan, memasuki Laut Filipina, dan akhirnya mencapai Guam, sebuah wilayah di Pasifik Barat yang dikuasai oleh Amerika Serikat. Jika berhasil mendapatkan status hukum di sana, mereka bisa memasuki Amerika Serikat.
Namun, uang A-Lin terbatas. Dia tidak mampu membeli kapal baru dan juga harus membeli bahan bakar serta alat navigasi. Akhirnya, Hai-Bo mendengar tentang seorang pemilik kapal yang menjual kapalnya seharga RMB.20.000 . Mereka pun pergi melihat kapal itu.
Itu adalah kapal besi tua berusia lebih dari 20 tahun, panjangnya 12 meter dan lebarnya 2 meter, biasanya digunakan untuk mengisi bahan bakar kapal lain. Kapal itu sempit, mesinnya berisik, dan banyak bagian sudah berkarat.
Meski ragu, A-Lin akhirnya memutuskan untuk membeli kapal itu. “Sudahlah, beli saja,” pikirnya. Pemilik kapal berkata, “Sejujurnya, saya tidak tahu apakah menjual kapal ini kepada Anda akan membawa manfaat atau justru membahayakan Anda.”
Setelah kapal dibeli, mereka mulai memperbaikinya, mengganti beberapa suku cadang, dan mempersiapkannya untuk uji coba selama seminggu di laut. Hai-Bo memberi A-Lin sebuah buku tentang navigasi, yang segera dipelajarinya dengan cepat. Ia juga membeli alat navigasi bekas seharga beberapa ratus yuan.
Akhirnya, A-Lin merasa perlu memberi tahu istrinya.
“A-Xiao, aku ingin memberitahumu sesuatu,” katanya ragu-ragu.
“A-Lin, ada apa?”
“Aku akan pergi ke Guam bersama Hai-Bo. Kamu mau ikut?” Ia tidak memberitahu istrinya bahwa kapal mereka sudah sangat tua.
“Oh? Aku tidak akan pergi, anak kita masih kecil. Tapi aku harap kamu berhasil dan bisa mewujudkan mimpimu,” jawab A-Xiao.
A-Xiao memahami suaminya. Selama bertahun-tahun, ia terus diawasi dan tidak memiliki kebebasan. Bahkan setiap malam, orang-orang dari “Kantor 610” datang mengetuk pintu.
“Setelah aku tiba di luar negeri, aku akan menjemputmu dan Rong-Rong agar kita bisa berkumpul kembali,” kata A-Lin dengan suara bergetar.
Perubahan Rencana
Pada hari pertama uji coba kapal, angin kencang merusak baut yang menahan mesin di tempatnya. Mereka harus memperbaiki kapal lagi.
Suatu malam setelah kembali dari uji coba, A-Lin bermimpi dikejar oleh sekelompok iblis. Ia berlari sekuat tenaga, tetapi iblis itu terus mengejarnya. Saat hampir putus asa, tiba-tiba muncul beberapa huruf emas besar di hadapannya: “Pergi ke timur membawa malapetaka.”
Ia terbangun dengan keringat dingin. Meskipun hanya mimpi, rasanya sangat nyata. Ia merasa itu adalah peringatan dari langit bahwa ia tidak boleh pergi ke Guam.
Ia kemudian memeriksa peta dan mengubah rute pelariannya: ke arah barat daya, melewati Vietnam, Malaysia, lalu menuju Selandia Baru, dengan jarak lebih dari 2.000 mil laut.
Ia tidak ingin pergi ke Australia, karena mendengar bahwa orang tanpa paspor akan langsung dipenjara di sana. Ia takut dipenjara lagi—kenangan masa lalu masih terlalu menyakitkan.
Suatu hari setelah kembali dari uji coba, A-Lin berkata dengan kecewa, “Alat navigasi rusak.”
A-Xiao berkata, “Tidak masalah. Syukurlah itu rusak lebih awal. Jika alat itu rusak di tengah laut, bagaimana kalian bisa melanjutkan perjalanan? Kamu harus beli yang baru!”
Mertuanya juga ikut bicara. “A-Lin, apakah ini satu-satunya jalan? Kenapa kamu tidak bersembunyi di tempat lain di Tiongkok?”
Melihat A-Lin menggelengkan kepala, ayah mertuanya berkata, “Baiklah, belilah alat navigasi baru. Aku akan membantu biayanya.”
Akhirnya, ia membeli alat navigasi baru dan cukup bahan bakar. Total biaya, termasuk kapal, mencapai RMB.60.000-70.000 .
Pada saat itu, topan besar yang melanda Kota Beihai mulai mereda, tetapi angin di laut masih sangat kencang. A-Lin memutuskan untuk segera berangkat. Jika cuaca terlalu cerah, kapal patroli bisa mendeteksi mereka.
Sebelum berangkat, Hai-Bo menulis surat perpisahan untuk istrinya, yang memiliki seorang putra berusia 10 tahun. Ia berkata bahwa jika dirinya tidak kembali, ia berharap istrinya bisa menikah dengan seseorang di luar negeri agar tidak lagi mengalami penganiayaan.
A-Xiao memberi suaminya dorongan semangat. “Beranilah mencari jalan keluar, aku akan menjaga anak kita.”
(Bersambung)