EtIndonesia. Kabel bawah laut, yang menjadi tulang punggung 99% transmisi data global dan mendukung transaksi keuangan senilai 10 triliun dolar AS per hari, kini menjadi target serangan dalam konflik geopolitik modern. Dalam era perang hybrid (hybrid war), infrastruktur digital yang rentan ini semakin sering mengalami gangguan dan serangan yang diduga dilakukan oleh aktor negara.
Pada 20 November 2024, kapal Tiongkok “Yi Peng 3” diduga memotong dua kabel bawah laut di perairan Eropa, sehingga memicu patroli intensif oleh Angkatan Laut Denmark. Serangan terhadap kabel bawah laut bukan sekadar ancaman teknis, tetapi juga alat strategi perang non-konvensional yang dapat melumpuhkan komunikasi dan perdagangan global.
Kabel Bawah Laut di Baltik: Sasaran Serangan dan Eskalasi Konflik
Pada 8 Februari 2024, perusahaan telekomunikasi Rusia Rostelecom melaporkan bahwa salah satu kabel bawah laut mereka di Laut Baltik mengalami kerusakan akibat “pengaruh eksternal”. Dalam beberapa bulan terakhir, serangkaian insiden sabotase terjadi terhadap kabel komunikasi dan energi di wilayah Baltik.
Pejabat Rusia menuduh negara-negara Barat sengaja menyalahkan Rusia atas gangguan ini untuk membatasi ekspor minyak Rusia dan mencari alasan untuk membatasi jalur pelayaran Rusia. Namun, pada hari yang sama, Penjaga Pantai Finlandia dilaporkan sedang memantau kapal Rusia yang melakukan perbaikan darurat pada kabel bawah laut mereka di Teluk Finlandia, yang terletak di dalam Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Finlandia.
Dalam menanggapi ancaman ini, NATO meluncurkan operasi “Baltic Sentry” pada Januari 2024, dengan tujuan melindungi infrastruktur bawah laut yang kritis. Operasi ini melibatkan kapal perang, pesawat pengintai, kapal selam, dan drone untuk memantau pergerakan kapal-kapal asing yang mencurigakan.
Rusia dan Tiongkok Dituduh Melakukan Pemetaan dan Sabotase Kabel Bawah Laut
Salah satu kapal mata-mata Rusia yang terkenal, “Yantar”, telah beroperasi selama lebih dari satu dekade untuk memetakan jaringan kabel bawah laut di seluruh dunia. Menurut pejabat pertahanan Inggris, pada akhir Januari 2024, kapal ini terdeteksi di perairan Inggris, yang memicu operasi patroli ketat oleh Angkatan Laut Inggris. Menteri Pertahanan Inggris, John Healey, mengonfirmasi bahwa kapal ini diawasi ketat untuk memberikan pesan kepada Presiden Rusia Vladimir Putin bahwa “kami mengawasi Anda”.
Selain itu, pada Desember 2024, kapal tanker bayangan Rusia “Eagle S” dilaporkan telah memotong kabel yang menghubungkan Finlandia dan Estonia menggunakan jangkar kapal. Kapal ini kemudian ditahan oleh Finlandia, namun otoritas setempat kesulitan untuk mengajukan dakwaan resmi terkait sabotase, sehingga hanya bisa menahan kapal tersebut dengan tuduhan pelanggaran peraturan bea cukai.
Sementara itu, pada akhir 2023, kapal Tiongkok “Yi Peng 3” diduga telah memotong dua kabel bawah laut menggunakan jangkar kapal. Insiden ini memicu investigasi oleh otoritas Jerman, namun setelah negosiasi panjang, pihak Tiongkok hanya mengizinkan investigasi dengan pengawasan pejabat Beijing. Meskipun pemeriksaan berlangsung selama lebih dari lima jam, tidak ditemukan bukti langsung yang cukup untuk mengeluarkan surat penangkapan, sehingga kapal itu diizinkan melanjutkan operasinya.
Tiongkok Disebut Memiliki Teknologi Canggih untuk Memotong Kabel Bawah Laut
Menurut laporan media AS, Tiongkok telah mengembangkan teknologi untuk memotong kabel bawah laut dengan cepat dan efisien. Sejumlah paten Tiongkok yang diajukan oleh para insinyur dari Universitas Lishui, Zhejiang menunjukkan bahwa Beijing telah meneliti perangkat pemotong kabel bawah laut yang murah dan efektif.
Laporan dari Newsweek menyatakan bahwa Tiongkok telah mengembangkan teknologi pemotongan kabel bawah laut sejak 2009, termasuk perangkat “dragging type submarine cable cutting device” yang memungkinkan pemotongan kabel tanpa perlu mendeteksi dan mengangkatnya ke permukaan. Perangkat ini diklaim memiliki efisiensi tinggi dan biaya rendah, sehingga cocok untuk operasi militer dalam skenario konflik besar.
Para ahli percaya bahwa pengembangan teknologi ini menunjukkan ketertarikan Tiongkok terhadap sabotase kabel bawah laut, meskipun belum ada bukti langsung bahwa perangkat ini telah digunakan dalam insiden sabotase baru-baru ini.
Serangan terhadap Kabel Bawah Laut di Taiwan dan Laut China Selatan
Selain di Laut Baltik, kabel komunikasi bawah laut di perairan Taiwan dan Laut China Selatan juga mengalami gangguan. Pada 3 Januari 2024, salah satu kabel telekomunikasi utama di Taiwan bagian utara terputus. Otoritas Taiwan mencurigai bahwa kapal Tiongkok “Xing Shun 39” terlibat dalam insiden ini.
Menurut analisis dari University of Pennsylvania, ini bisa menjadi bagian dari serangan abu-abu (grey-zone attack) atau serangan hybrid (hybrid attack) yang dilakukan oleh Tiongkok untuk melemahkan infrastruktur komunikasi Taiwan.
Benjamin L. Schmitt, peneliti senior di Kleinman Center for Energy Policy, menyatakan bahwa Tiongkok memiliki kapasitas teknis dan motivasi untuk menyerang infrastruktur bawah laut, seperti yang terjadi di Eropa. Menurutnya, serangan semacam ini bisa menjadi bagian dari strategi militer Tiongkok untuk mengganggu komunikasi dan logistik Taiwan dalam skenario konflik.
Gregory Falco, asisten profesor di Universitas Cornell, juga menegaskan bahwa serangan terhadap kabel bawah laut merupakan ancaman yang mendesak, mengingat Tiongkok telah mengembangkan teknologi militer yang dapat digunakan untuk tujuan sipil maupun perang.
Jaringan Kabel Bawah Laut Tiongkok dan Keamanan Siber Global
Di sisi lain, ekspansi Tiongkok dalam pembangunan kabel bawah laut global juga menimbulkan kekhawatiran di kalangan negara-negara Barat. Saat ini, perusahaan Tiongkok “Hengtong Group” telah menjadi pemasok kabel bawah laut terbesar keempat di dunia, menguasai sekitar 11% pangsa pasar global.
Tiongkok saat ini sedang mengembangkan proyek kabel bawah laut skala besar yang menghubungkan Asia Tenggara, Afrika, dan Timur Tengah, dalam upaya mengurangi ketergantungan pada jaringan yang dikuasai AS dan Eropa. Salah satu proyek utama yang disebut “Peace Cable”, menghubungkan Tiongkok dan Pakistan, serta membentang hingga
Prancis melalui Laut Merah dan Afrika Timur.
Menurut pejabat AS dan Uni Eropa, jaringan kabel bawah laut Tiongkok bisa menjadi alat mata-mata digital yang memungkinkan Beijing mengakses data sensitif. Ada kekhawatiran bahwa Tiongkok bisa memasang peralatan pengawasan atau pintu belakang (backdoor) dalam jaringan kabel mereka untuk mengumpulkan intelijen global.
Departemen Luar Negeri AS telah mengeluarkan peringatan bahwa kapal-kapal pemeliharaan kabel bawah laut Tiongkok mungkin digunakan untuk mengumpulkan data, memetakan jaringan komunikasi militer AS, dan bahkan melakukan sabotase dalam skenario perang.
Kesimpulan: Perang Digital Semakin Intensif di Laut Dalam
Dengan meningkatnya serangan terhadap kabel bawah laut di seluruh dunia, semakin jelas bahwa infrastruktur digital global menjadi salah satu target utama dalam perang hybrid modern.
Baik Rusia maupun Tiongkok dituduh melakukan pemetaan dan sabotase kabel bawah laut, yang memicu reaksi keras dari NATO dan negara-negara Barat. Sementara itu, pengembangan teknologi pemotong kabel oleh Tiongkok dan ekspansi besar-besaran jaringan kabel bawah laut mereka menambah kekhawatiran bahwa perang di ranah digital semakin meningkat.
Di era perang siber dan perang informasi, kendali atas kabel bawah laut bukan lagi hanya soal infrastruktur telekomunikasi, tetapi juga senjata strategis dalam konflik global yang sedang berlangsung. (jhn/yn)