EtIndonesia. Pada 7 Februari, Presiden AS Donald Trump menandatangani perintah eksekutif yang mengumumkan penghentian segera bantuan AS ke Afrika Selatan. Alasan utama kebijakan ini adalah pengesahan Undang-Undang Pengambilalihan Tanah yang kontroversial oleh Pemerintah Afrika Selatan, yang memungkinkan pemerintah menyita tanah tanpa kompensasi, serta sikap bermusuhan Afrika Selatan terhadap Israel.
Keputusan ini memicu reaksi keras dari Pemerintah Afrika Selatan, yang menuduh AS mencampuri urusan dalam negeri mereka dan menyebarkan informasi yang salah.
Pelanggaran HAM dan Kebijakan Rasis di Afrika Selatan
Menurut laporan Associated Press, perintah eksekutif yang dikeluarkan oleh Pemerintah AS menyatakan bahwa kebijakan tanah Afrika Selatan menunjukkan “pengabaian yang mencengangkan terhadap hak-hak warganya” dan melanggar hak asasi manusia.
Trump menegaskan bahwa AS tidak akan lagi memberikan bantuan ekonomi kepada negara yang “menerapkan kebijakan tanah diskriminatif berdasarkan ras dan secara terang-terangan melanggar hak asasi manusia.” Oleh karena itu, dia memerintahkan Badan Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID) dan lembaga federal lainnya untuk segera menghentikan semua bantuan finansial ke Afrika Selatan.
Berdasarkan data resmi AS, pada tahun 2023, AS memberikan hampir 440 juta dolar AS dalam bentuk bantuan kepada Afrika Selatan, termasuk 270 juta dolar AS dari USAID. Trump menegaskan bahwa selama Afrika Selatan tetap menerapkan kebijakan yang dianggap tidak adil dan tidak etis ini, AS tidak akan lagi memberikan bantuan.
Selain itu, Trump mengumumkan bahwa Pemerintah AS akan membantu Afrikaner (petani kulit putih Afrika Selatan) yang terdampak kebijakan ini dengan memberikan suaka politik dan program relokasi bagi mereka yang ingin meninggalkan Afrika Selatan.
Afrika Selatan Bereaksi Keras, Sebut Tuduhan AS Tidak Berdasar
Menanggapi kebijakan Trump, Pemerintah Afrika Selatan segera mengeluarkan pernyataan resmi yang menyatakan “keprihatinan serius” atas keputusan tersebut. Menteri Luar Negeri Afrika Selatan mengecam perintah eksekutif Trump sebagai tuduhan yang “tidak memiliki dasar fakta” dan menambahkan bahwa AS mengabaikan sejarah kolonialisme dan apartheid di Afrika Selatan.
“Keputusan Pemerintah AS mengabaikan sejarah kelam kolonialisme dan apartheid di Afrika Selatan. Tanah yang selama ini dikuasai minoritas kulit putih harus dikembalikan kepada mayoritas warga kulit hitam yang selama ini tertindas,” ujar perwakilan Pemerintah Afrika Selatan dalam pernyataannya.
Pemerintah Afrika Selatan menegaskan bahwa kebijakan reformasi tanah mereka sesuai dengan konstitusi dan bertujuan mengatasi ketidakadilan historis akibat kolonialisme dan apartheid. Data resmi menunjukkan bahwa meskipun 80% penduduk Afrika Selatan adalah warga kulit hitam, mereka hanya memiliki kurang dari 10% tanah.
Selain itu, Pemerintah Afrika Selatan menuduh Trump menerapkan standar ganda dalam kebijakan imigrasinya.
“Perintah eksekutif ini memberikan status pengungsi hanya kepada kelompok kulit putih di Afrika Selatan, sementara AS menolak banyak pengungsi dari belahan dunia lain yang mengalami penderitaan yang jauh lebih besar,” kata Menteri Luar Negeri Afrika Selatan.
Kebijakan Reformasi Tanah Afrika Selatan dan Dampaknya
Kebijakan tanah di Afrika Selatan telah lama menjadi isu kontroversial baik di dalam maupun luar negeri. Berdasarkan laporan Politico, Presiden Cyril Ramaphosa menandatangani Undang-Undang Pengambilalihan Tanah, yang memungkinkan pemerintah menyita tanah tanpa kompensasi dalam kasus tertentu.
Pendukung kebijakan ini menilai langkah tersebut sebagai keadilan sejarah untuk mengembalikan tanah kepada masyarakat kulit hitam yang selama ini termarginalisasi. Namun, para kritikus khawatir bahwa kebijakan ini akan mengancam sektor pertanian, menurunkan produksi pangan, serta berpotensi menyebabkan krisis ekonomi serupa dengan yang dialami Zimbabwe.
Trump sendiri sudah lama menentang kebijakan tanah Afrika Selatan. Pada tahun 2018, dia bahkan meminta Departemen Luar Negeri AS untuk menyelidiki klaim bahwa petani kulit putih di Afrika Selatan mengalami perampasan tanah dan pembunuhan massal.
Afrika Selatan baru-baru ini mengajukan gugatan ke Mahkamah Internasional (ICJ), menuduh Israel melakukan “genosida” terhadap warga Palestina di Gaza dan secara aktif mengkampanyekan kecaman terhadap Israel di forum internasional. Afrika Selatan juga menyerukan intervensi global untuk menghentikan operasi militer Israel di wilayah tersebut.
Sikap Afrika Selatan terhadap Israel Menjadi Pemicu Tambahan
Selain masalah tanah, perintah eksekutif Trump juga menuduh Afrika Selatan memiliki sikap yang bertentangan dengan kepentingan AS dan sekutunya, terutama terhadap Israel.
Menurut laporan Reuters, Afrika Selatan baru-baru ini mengajukan gugatan ke Mahkamah Internasional (ICJ), menuduh Israel melakukan “genosida” terhadap warga Palestina di Gaza dan secara aktif mengkampanyekan kecaman terhadap Israel di forum internasional. Afrika Selatan juga menyerukan intervensi global untuk menghentikan operasi militer Israel di wilayah tersebut.
Pemerintah Trump menilai sikap Afrika Selatan ini berlawanan dengan kebijakan luar negeri AS, yang merupakan sekutu utama Israel. Oleh karena itu, keputusan penghentian bantuan ini juga dianggap sebagai tekanan diplomatik terhadap Afrika Selatan agar mengubah kebijakan luar negerinya.
Menanggapi tuduhan Trump, Presiden Ramaphosa dengan tegas menyatakan bahwa negaranya tidak akan tunduk pada tekanan dari AS.
Dalam pidatonya di hadapan parlemen, dia menyatakan: “Afrika Selatan tidak akan diintimidasi atau dipaksa tunduk. Kami adalah bangsa yang tangguh dan tidak akan menyerah pada tekanan eksternal.”
Sejumlah pakar juga menilai bahwa keputusan Trump ini akan memperlemah pengaruh AS di Afrika. Sementara sebagian kalangan konservatif di AS mendukung kebijakan ini, menganggapnya sebagai langkah untuk melindungi kepentingan nasional AS, para kritikus memperingatkan bahwa ini dapat mendorong Afrika Selatan dan negara-negara Afrika lainnya semakin mendekat ke blok Tiongkok-Rusia.
Dampak Geopolitik: Afrika Selatan Bisa Beralih ke Tiongkok dan Rusia
Menurut CNN, keputusan AS untuk membekukan bantuan ke Afrika Selatan diperkirakan akan memperburuk hubungan bilateral antara kedua negara.
Para analis menilai bahwa dalam beberapa tahun terakhir, Afrika Selatan telah mempererat hubungan dengan Tiongkok dan Rusia, serta semakin menjauh dari kebijakan luar negeri AS. Langkah Trump ini bisa semakin mendorong Afrika Selatan untuk mencari mitra baru guna menggantikan bantuan yang dihentikan oleh Washington.
Sejumlah pakar juga menilai bahwa keputusan Trump ini akan memperlemah pengaruh AS di Afrika. Sementara sebagian kalangan konservatif di AS mendukung kebijakan ini, menganggapnya sebagai langkah untuk melindungi kepentingan nasional AS, para kritikus memperingatkan bahwa ini dapat mendorong Afrika Selatan dan negara-negara Afrika lainnya semakin mendekat ke blok Tiongkok-Rusia.
Kesimpulan: Krisis Diplomatik AS-Afrika Selatan Berlanjut
Dengan sikap tegas yang diambil oleh pemerintah Afrika Selatan dan pernyataan keras dari Trump, tampaknya krisis diplomatik ini tidak akan mereda dalam waktu dekat.
Afrika Selatan telah menyatakan bahwa mereka tidak akan mengubah kebijakan reformasi tanah mereka. Dengan semakin jauhnya hubungan dengan AS, ada kemungkinan negara ini akan mencari sumber bantuan baru dari Tiongkok, Rusia, atau negara lain di Global South.
Keputusan ini menandai babak baru dalam ketegangan geopolitik global, di mana AS semakin kehilangan pengaruhnya di Afrika, sementara negara-negara berkembang mencari alternatif mitra yang lebih mendukung kepentingan mereka. (jhn/yn)