Australia, Selandia Baru dan Jerman Respons Kenaikan Tarif Trump Secara Berbeda

EtIndonesia. Pada Minggu (9/2), Presiden AS Donald Trump mengumumkan bahwa mulai Senin (10/2),dia akan menerapkan tarif 25% terhadap impor baja dan aluminium ke Amerika Serikat. Selain itu, dia berencana mengumumkan tarif pembalasan pada Selasa atau Rabu mendatang.

Kebijakan ini menimbulkan reaksi dari mitra dagang utama AS, terutama Selandia Baru, Australia, dan Jerman. Ketiga negara ini memiliki respons yang berbeda-beda, mencerminkan kepentingan ekonomi dan strategis masing-masing.

Selandia Baru: Fokus pada Stabilitas dan Hubungan Dagang yang Saling Menguntungkan

Menteri Keuangan Selandia Baru, Nicola Willis, dalam wawancara dengan CNBC, menyatakan bahwa negaranya akan memantau dampak tarif ini terhadap perdagangan bilateral dengan AS. Dia menekankan bahwa hubungan dagang Selandia Baru-AS bersifat saling menguntungkan dan memiliki stabilitas jangka panjang.

Menurut data Kementerian Luar Negeri dan Perdagangan Selandia Baru, dalam 12 bulan terakhir hingga Maret 2024, Selandia Baru mengekspor sekitar 8,26 miliar dolar AS dalam bentuk barang dan jasa ke AS. Angka ini bahkan melampaui ekspor ke Australia, menjadikan AS sebagai pasar ekspor terbesar kedua bagi Selandia Baru.

Di sisi lain, Selandia Baru juga mengimpor barang dari AS senilai 11,4 miliar dolar Selandia Baru dalam periode yang sama.

Willis menegaskan bahwa hubungan dagang ini menguntungkan kedua belah pihak, serta menyoroti bahwa Selandia Baru adalah anggota dari Five Eyes, aliansi intelijen yang mencakup AS, Inggris, Kanada, dan Australia.

Ketika ditanya apakah Selandia Baru dapat menghindari tarif Trump, Willis mengatakan bahwa keputusan tersebut sepenuhnya ada di tangan Pemerintah AS, tetapi Selandia Baru telah bersiap untuk menyesuaikan diri. Dia juga mencatat bahwa fluktuasi nilai tukar dolar Selandia Baru dapat membantu meningkatkan daya saing ekspor, sehingga dampak tarif dapat diredam hingga tingkat tertentu.

Australia: Berharap Dapat Pengecualian Seperti Tahun 2018

Trump mengumumkan bahwa tarif 25% akan diberlakukan terhadap semua impor baja dan aluminium, yang memperketat kebijakan tarif logam sebelumnya.

Menurut Reuters, Menteri Perdagangan Australia, Don Farrell, menekankan bahwa ekspor baja dan aluminium Australia ke AS telah menciptakan ribuan lapangan kerja berupah tinggi bagi pekerja Amerika. Dia juga menyebut bahwa sektor ini berperan penting dalam kepentingan pertahanan kedua negara.

Australia telah melobi selama berbulan-bulan agar ekspor baja dan aluminium mereka mendapat pengecualian tarif, mirip dengan pengecualian yang diberikan oleh Trump pada tahun 2018 selama masa jabatan pertamanya.

Berdasarkan data UN Comtrade, pada 2023, Australia mengekspor sekitar 237 juta dolar AS dalam bentuk baja dan produk besi ke AS, sementara ekspor aluminium mencapai 275 juta dolar AS pada 2024.

Perdana Menteri Australia Anthony Albanese mengatakan di parlemen pada Senin (10/2), bahwa dia akan berdialog langsung dengan Trump untuk menyampaikan keberatan Australia terkait tarif ini.

Di sisi lain, Menteri Pertahanan Australia, Richard Marles, bertemu dengan Menteri Pertahanan AS, Pete Hegseth, di Washington pada Jumat lalu. Australia juga membayar 500 juta dolar AS sebagai bagian dari investasi dalam industri kapal selam AS, yang merupakan bagian dari pakta pertahanan AUKUS.

Pemerintah Australia sebelumnya telah menegaskan bahwa industri militer AS sudah mengimpor baja olahan dari Australia dalam rantai pasokan strategis AUKUS.

Akibat kebijakan tarif ini, saham perusahaan baja Australia, BlueScope Steel, naik hampir 2% karena perusahaan ini memiliki pabrik di Ohio dan mempekerjakan sekitar 4.000 pekerja di AS.

Jerman: Bersiap Menghadapi Eskalasi Perang Dagang dengan Trump

Menteri Ekonomi Jerman, Robert Habeck, dalam wawancara dengan Reuters, menegaskan bahwa Uni Eropa telah siap untuk menghadapi potensi pembatasan perdagangan dari AS.

“Eropa harus tetap bersatu dan merespons dengan tegas terhadap kebijakan perdagangan sepihak ini,” ujar Habeck. “Kami sudah siap.”

Habeck telah mengadakan pembicaraan dengan Komisioner Perdagangan Uni Eropa, Maros Sefcovic, serta berdiskusi dengan perwakilan industri mengenai hubungan dagang transatlantik ke depan.

Uni Eropa telah lama menolak pendekatan proteksionisme ekonomi Trump, terutama kebijakan tarif yang bisa mengganggu rantai pasokan industri di Eropa. Dengan Jerman sebagai negara industri utama di Uni Eropa, kebijakan tarif AS bisa berdampak pada industri otomotif dan manufaktur Jerman, yang memiliki pasar besar di AS.

Kesimpulan: Respons Berbeda Tiga Negara terhadap Tarif Trump

Keputusan Trump untuk meningkatkan tarif baja dan aluminium mendapat respons yang berbeda dari tiga negara mitra dagang utama:

  1. Selandia Baru mengadopsi pendekatan hati-hati, menekankan hubungan dagang yang stabil dan saling menguntungkan, serta mempersiapkan strategi untuk mengatasi dampak ekonomi dari tarif tersebut.
  2. Australia mencoba mendapatkan pengecualian tarif, dengan menyoroti kontribusi ekspor baja dan aluminium mereka terhadap lapangan kerja AS serta kerja sama strategis dalam aliansi AUKUS.
  3. Jerman, mewakili Uni Eropa, bersiap untuk melawan kebijakan perdagangan sepihak AS, dengan menegaskan bahwa Eropa akan tetap bersatu dan tegas dalam menghadapi Trump.

Kebijakan tarif baru ini berpotensi memicu ketegangan perdagangan global dan bisa mempengaruhi hubungan AS dengan mitra dagangnya dalam waktu dekat. (jhn/yn)

FOKUS DUNIA

NEWS