EtIndonesia. Pada malam tanggal 12 Februari, kapal induk nuklir milik Amerika Serikat, USS Truman, mengalami tabrakan dengan sebuah kapal kargo di dekat Pelabuhan Said, Mesir. Insiden yang terjadi di pintu masuk Terusan Suez ini mengejutkan dunia maritim. Menurut pernyataan resmi dari Angkatan Laut AS, tidak ada kebocoran air ataupun kerusakan pada sistem penggerak kapal induk, dan untungnya, tidak ada korban luka di kedua kapal. Seorang pejabat Departemen Pertahanan AS juga menegaskan bahwa kapal kargo—yang diketahui merupakan kapal curah milik Turki meskipun mengibarkan bendera Panama—tidak mengalami korban luka.
Kapal induk USS Truman, yang berbasis di pangkalan Angkatan Laut Norfolk, Virginia, telah aktif dalam operasi di wilayah Mediterania dan Timur Tengah sejak September tahun lalu. Kapal ini baru saja menyelesaikan kunjungan ke Teluk Suda di Yunani. Kejadian tabrakan ini memunculkan berbagai pertanyaan dari kalangan pengamat maritim.
Seorang pengguna di platform X dengan nama “Idiotic Budget” mempertanyakan: “Bukan apakah kapal induk Truman mengalami kerusakan, melainkan bagaimana dua kapal besar tersebut bisa bertabrakan?”
Sementara itu, Conrad, CEO media maritim, menjelaskan bahwa kapal kargo sepanjang 618 kaki ini mengangkut barang-barang seperti barang antik dan muatan curah lainnya. Insiden ini diduga terjadi akibat sempitnya jalur pelayaran di Terusan Suez, di mana kedua kapal harus berbaris satu per satu.
Meskipun USS Truman dilengkapi dengan sistem radar komposit canggih, banyak pihak mempertanyakan mekanisme terjadinya tabrakan, terlebih dengan kapal kargo yang memiliki tonase lebih dari 53.000 ton. Isu lain yang mengemuka adalah potensi bahaya jika kapal kargo tersebut mengangkut muatan berbahaya seperti amonia nitrat atau diesel dalam jumlah besar. Hingga kini, penyelidikan atas insiden tersebut masih berlangsung, dengan para ahli dan pejabat maritim mencari jawaban atas deretan pertanyaan yang muncul.
Dinamika Politik dan Keamanan di Timur Tengah
Sementara itu, situasi politik dan keamanan di Timur Tengah semakin memanas. Kabar terkini mengabarkan perubahan sikap Hamas terkait kesepakatan gencatan senjata dengan Israel. Pada tanggal 13 Februari, Hamas secara mengejutkan menyatakan akan mematuhi kesepakatan gencatan senjata dan berencana melepaskan sandera sesuai jadwal akhir pekan ini. Pernyataan ini datang setelah tekanan internasional dan retorika keras dari Presiden AS, Donald Trump, yang sebelumnya memperingatkan akan “neraka” yang menimpa jika semua sandera tidak segera dilepaskan.
Tidak hanya itu, Uni Emirat Arab (UEA) juga menyatakan dukungannya terhadap rencana Presiden Trump yang menargetkan penyelesaian konflik di Gaza. UEA menyebutkan bahwa target rencana tersebut dapat tercapai, serta mengisyaratkan kemungkinan pemindahan seluruh warga Palestina dari Gaza dalam upaya meredakan situasi. Di sisi lain, militer Israel dikabarkan telah memobilisasi pasukan sebagai respons atas ancaman yang dikeluarkan oleh Hamas, terutama setelah terjadi bentrokan hebat di Bandara Beirut, Lebanon, pada tanggal 12 Februari.
Kekhawatiran atas eskalasi konflik juga datang dari laporan-laporan mengenai bantuan kemanusiaan. Puluhan truk konstruksi—termasuk bulldozer, truk, dan karavan—telah menunggu pemeriksaan di pos lintas perbatasan Mesir sebelum memasuki Gaza. Bantuan ini berasal dari Qatar dan Mesir, sebagai upaya untuk mengatasi krisis kemanusiaan di wilayah tersebut.
Lebih jauh, pada tanggal 13 Februari, Duta Besar UEA untuk AS, Yousef Al Otaiba, dalam KTT Pemerintah Dunia menyatakan dukungan terhadap rencana relokasi penduduk Gaza meskipun rencana tersebut menuai tentangan internasional yang cukup kuat. Di Belanda, kerumunan besar di sebuah alun-alun turut menunjukkan solidaritas dengan Israel dengan mengibarkan spanduk dan meneriakkan “Kami mendukungmu! Dunia Bebas Bersama Israel!”
Di tengah dinamika tersebut, konflik bersenjata masih terjadi. Beberapa media melaporkan bahwa Hamas kembali melanggar gencatan senjata dengan meluncurkan roket ke arah Israel pada tanggal 13 Februari. Roket tersebut jatuh di wilayah Gaza dan menyebabkan kematian seorang anak laki-laki berusia 14 tahun. Militer Israel kemudian merilis rekaman video serangan balasan yang dengan cepat menghancurkan lokasi peluncuran roket tersebut.
Di ranah yang lebih luas, ketegangan geopolitik juga meningkat antara Israel dan Iran. Laporan intelijen yang dikutip oleh Wall Street Journal menyebutkan rencana Israel untuk melakukan serangan besar-besaran terhadap fasilitas nuklir Iran pada tahun ini. Namun, Presiden Iran menanggapi dengan tegas bahwa meskipun fasilitas nuklir mereka bisa dihancurkan, Iran akan tetap membangunnya kembali. Di sisi lain, anggota parlemen dari kedua kubu di AS mendesak Inggris, Prancis, dan Jerman untuk segera mengajukan usulan di Dewan Keamanan PBB guna memberlakukan kembali sanksi terhadap Iran.
Tak ketinggalan, ketegangan juga terlihat di Beirut, Lebanon, di mana Pemerintah Lebanon, atas tekanan Israel, menolak mendaratkan pesawat penumpang Iran. Kejadian tersebut memicu bentrokan sengit antara pendukung Hizbullah dan pasukan Lebanon di sekitar Bandara Beirut, sehingga menambah kompleksitas situasi keamanan regional.
Kesimpulan
Dinamika yang terjadi di Terusan Suez dan wilayah Timur Tengah menunjukkan betapa rentannya situasi global dalam menghadapi insiden maritim maupun konflik geopolitik. Dari tabrakan kapal induk nuklir AS yang menimbulkan tanda tanya besar tentang prosedur pelayaran di Terusan Suez, hingga perubahan sikap politik dan eskalasi konflik di wilayah Timur Tengah, dunia kini menyaksikan sebuah periode penuh ketidakpastian. Di tengah berbagai upaya diplomatik dan bantuan kemanusiaan, pertanyaan besar yang tersisa adalah bagaimana solusi damai dapat segera terwujud agar krisis-krisis ini tidak semakin meruncing.