EtIndonesia. Sebuah laporan eksklusif dari The Observer, anak perusahaan The Guardian, mengungkap praktik kontroversial Google dalam bekerja sama dengan berbagai rezim otoriter di seluruh dunia untuk menghapus data yang dianggap sensitif. Laporan tersebut mengungkap bahwa kerja sama ini telah berlangsung lama, melibatkan penghapusan informasi dari institusi seperti Kremlin Rusia dan Partai Komunis Tiongkok.
Ratusan Permintaan dari Berbagai Negara
Sejak tahun 2011, Google telah menerima permintaan penghapusan data dari sekitar 150 negara atau wilayah. Menariknya, data dari Rusia menyumbang hampir 60% dari total permintaan tersebut. Kerja sama ini tidak hanya melibatkan pemerintahan yang berideologi demokratis, tetapi juga mencakup negara-negara dengan rezim otoriter, negara yang dikenai sanksi internasional, hingga pemerintahan yang dituduh melanggar hak asasi manusia, termasuk Taliban.
Tekanan dari Pemerintah Rusia dan Tiongkok
Laporan tersebut menyoroti bahwa, di bawah tekanan dari Pemerintah Rusia dan Tiongkok, Google telah menghapus berbagai konten di YouTube. Video-video milik aktivis, pelapor kebocoran, dan konten yang menuduh pejabat tinggi terlibat dalam praktik korupsi telah menjadi sasaran penghapusan. Salah satu contoh yang mencolok adalah kerja sama Google dengan Kementerian Keamanan Negara Tiongkok, yang berujung pada penghapusan lebih dari 200 video yang berisi tuduhan korupsi atau kritik atas kegagalan pemerintah.
Pembatasan Kebebasan Berekspresi di Tiongkok
The Guardian mencatat bahwa peran Google tidak berhenti sampai di situ. Pada tahun 2015, setelah munculnya kritik terhadap Presiden Xi Jinping melalui akun-akun palsu, Google mengambil langkah dengan melarang pembuatan akun-akun serupa. Kebijakan ini dianggap sebagai upaya untuk membatasi kebebasan berekspresi di Tiongkok, sejalan dengan permintaan pemerintah setempat.
Lonjakan Permintaan Penghapusan Konten
Data dari penyedia layanan domain Surfshark menunjukkan adanya lonjakan signifikan dalam permintaan penghapusan konten kepada Google sejak tahun 2020, dengan jumlah permintaan meningkat lebih dari dua kali lipat. Google, sebagai penjaga gerbang informasi bagi miliaran pengguna di seluruh dunia—melalui layanan seperti mesin pencari, YouTube, dan Google Drive—mengakui bahwa data yang telah dipublikasikan hanyalah sebagian kecil dari keseluruhan permintaan penghapusan yang diterima.
Kurangnya Transparansi dalam Proses Penghapusan Data
Meski demikian, Google belum mengungkapkan secara rinci kapan mereka menyetujui permintaan penghapusan dari pemerintah atau bagaimana proses pengambilan keputusannya. Sejak 2011, Pemerintah Amerika Serikat sendiri telah mengajukan lebih dari 12.000 permintaan penghapusan informasi. Namun, Google hanya mengungkapkan kurang dari 40 detail permintaan tersebut. Menurut Chief Security Officer dari Surfshark, penting bagi publik untuk memahami proses ini, mengingat banyaknya permintaan yang berkaitan dengan konten politik dan kritik terhadap tindakan pemerintah, yang berpotensi disalahgunakan untuk menekan oposisi.
Kesimpulan
Praktik kerja sama Google dengan berbagai rezim otoriter dalam menghapus konten kontroversial menimbulkan pertanyaan serius mengenai kebebasan berekspresi dan transparansi di era digital. Dengan miliaran pengguna di seluruh dunia, peran Google sebagai penjaga informasi menjadi sangat krusial, terutama ketika keputusan penghapusan data dapat mempengaruhi opini publik dan dinamika politik di berbagai negara. Publik kini semakin mendesak agar perusahaan teknologi besar seperti Google meningkatkan keterbukaan dan akuntabilitas dalam proses pengambilan keputusan terkait penghapusan data.