Korsel Akan Kenakan Pajak 38% untuk Baja Tiongkok: Analisis Menyebut Industri Baja Tiongkok Terjebak dalam Krisis

EtIndonesia. Sebagai akibat mengalami kelebihan kapasitas produksi, perusahaan baja Tiongkok terpaksa mengekspor produk mereka ke berbagai negara, yang berdampak buruk pada industri baja lokal negara-negara tersebut. Industri baja Korea Selatan juga kesulitan bersaing akibat membanjirnya baja murah dari Tiongkok. 

Sebagai langkah balasan, pemerintah Korea Selatan mengumumkan akan mengenakan bea masuk anti-dumping hingga 38% untuk pelat baja tebal asal Tiongkok. Beberapa pengusaha menyatakan bahwa praktik penjualan baja murah oleh Tiongkok telah menyeret seluruh industri baja ke dalam krisis.

Menurut laporan Korea JoongAng Daily, Komisi Perdagangan Kementerian Perindustrian, Perdagangan, dan Sumber Daya Korea Selatan memutuskan dalam rapat ke-457 pada 20 Februari bahwa akan mengenakan pajak anti-dumping sementara pada produk pelat baja karbon dan baja paduan panas dari Tiongkok.

Komisi Perdagangan Korea menjelaskan bahwa keputusan ini didasarkan pada hasil penyelidikan awal yang menunjukkan adanya bukti kuat praktik dumping oleh perusahaan baja Tiongkok, yang menyebabkan kerugian nyata bagi industri domestik Korea.

Untuk mencegah kerugian lebih lanjut selama penyelidikan formal, komisi tersebut berencana merekomendasikan kepada Menteri Strategi dan Keuangan agar mengenakan pajak anti-dumping sementara sebesar 27,91% hingga 38,02% terhadap produk-produk tersebut.

Saat ini, tarif bea masuk dasar untuk produk tersebut adalah 8%. Namun, berkat perjanjian perdagangan bebas (FTA) antara Korea Selatan dan Tiongkok, produk baja Tiongkok sebelumnya dibebaskan dari bea masuk.

Produk yang dikenai pajak tambahan kali ini adalah pelat baja tebal yang diproduksi melalui proses pengerolan panas, yang digunakan dalam pembuatan kapal, konstruksi, peralatan berat, tangki penyimpanan, pipa minyak, dan kendaraan lapis baja untuk keperluan pertahanan.

Sementara itu, menurut laporan Reuters, Kementerian Perindustrian dan Perdagangan Vietnam juga mengumumkan bahwa mulai 7 Maret mendatang, Vietnam akan mengenakan tarif sementara sebesar 19,38% hingga 27,83% untuk produk baja panas tertentu dari Tiongkok.

Sebelumnya, pada 10 Februari, Presiden Amerika Serikat Donald Trump telah memerintahkan pengenaan tarif baru sebesar 25% untuk impor baja dan aluminium ke AS. Pengumuman ini sempat memicu penurunan harga saham perusahaan baja Tiongkok di pasar saham domestik.

Penurunan permintaan baja akibat krisis berkepanjangan di sektor properti Tiongkok telah memaksa perusahaan baja Tiongkok untuk membanjiri pasar luar negeri guna mengatasi kelebihan kapasitas produksi mereka.

Menurut data dari Administrasi Umum Bea Cukai Tiongkok, ekspor baja Tiongkok tahun lalu mencapai 110,72 juta ton, meningkat 22,7% dibandingkan tahun sebelumnya. Asosiasi Baja Korea melaporkan bahwa impor pelat baja tebal dari Tiongkok mencapai 1,381 juta ton pada tahun 2024, yang menyumbang 65,7% dari total impor Korea Selatan.

Laporan Reuters juga menyebutkan bahwa produksi baja dan aluminium Tiongkok saat ini setara dengan gabungan produksi negara-negara lain di dunia—bahkan melebihi jumlah tersebut. Karena lemahnya perekonomian domestik dan penurunan permintaan, baja murah dari Tiongkok semakin banyak mengalir ke negara-negara seperti Kanada dan Meksiko. Negara-negara ini kemudian mengekspor produk mereka yang lebih mahal ke Amerika Serikat.

Chairman Caixin Media, Xie Jinhe, dalam unggahan di Facebook pada pertengahan Januari lalu menyatakan bahwa praktik dumping baja murah dari Tiongkok telah menyeret industri baja global ke titik terendah. Ia memprediksi bahwa fenomena persaingan ketat di dalam Tiongkok dan dampaknya terhadap globalisasi akan menjadi tantangan utama di masa depan.

Saat ini, enam dari sepuluh perusahaan baja terbesar di dunia berasal dari Tiongkok, dengan total produksi tahunan melebihi 1 miliar ton. Produk-produk ini dijual ke pasar global melalui praktik dumping, sehingga memicu krisis di seluruh sektor baja dunia.

Secara tradisional, sektor properti dan otomotif merupakan dua konsumen terbesar industri baja. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, kinerja kedua sektor ini terus menurun di Tiongkok. 

Seiring dengan penurunan harga baja di pasar domestik, kerugian keuangan perusahaan baja Tiongkok semakin membesar. Bahkan, Jiangsu Delong Nickel Industry, perusahaan baja dengan nilai pasar lebih dari RMB.100 miliar , mengumumkan kebangkrutannya pada awal tahun ini.

Akibatnya, banyak perusahaan baja Tiongkok terpaksa mengekspor produk mereka ke luar negeri dengan harga murah untuk mengurangi tekanan keuangan. Namun, langkah ini tidak hanya merusak pasar baja global, tetapi juga membuat perusahaan baja Tiongkok harus menghadapi berbagai tindakan balasan berupa tarif impor dari negara-negara lain. (Hui)

Sumber : NTDTV.com 

FOKUS DUNIA

NEWS