AS Hentikan Bantuan Intelijen dan Senjata ke Ukraina: Langkah Trump untuk Damai atau Ancaman Baru?

EtIndonesia. Dalam sebuah pengumuman mengejutkan, Direktur CIA, John Lee Ratcliffe, menyatakan bahwa Pemerintah AS telah menghentikan sementara dukungan intelijen dan pengiriman senjata kepada Ukraina. Langkah ini diungkapkan seiring dengan upaya mencari titik temu melalui negosiasi damai, yang jika disertai langkah-langkah membangun kepercayaan, akan mendorong Presiden Trump untuk mempertimbangkan kembalinya bantuan kepada Ukraina.

Menurut Ratcliffe yang diwawancarai oleh Fox News, kekhawatiran Trump terhadap komitmen Presiden Ukraina, Zelenskyy, dalam proses perdamaian menjadi alasan utama penghentian dukungan tersebut. 

“Kita hentikan dulu, agar kedua belah pihak mendapatkan kesempatan untuk merenung,” tegasnya.

Penundaan dukungan ini diharapkan dapat membuka jalan bagi perkembangan baru dalam upaya mencapai perdamaian yang lebih permanen.

Dampak pada Operasi Militer Ukraina

Seorang perwira tinggi militer AS mengonfirmasi bahwa pemangkasan dukungan intelijen ini berpotensi melemahkan kemampuan Ukraina dalam melaksanakan operasi serangan dan pertahanan, mengingat negara tersebut sangat bergantung pada data intelijen dari AS. Tiga pejabat yang memahami situasi menyatakan kepada Financial Times bahwa langkah tersebut dapat memengaruhi efektivitas militer Ukraina dalam mengunci dan menyerang pasukan Rusia. Meski demikian, juru bicara badan intelijen militer Ukraina menegaskan bahwa pihaknya telah menyiapkan rencana cadangan guna mengatasi potensi gangguan dalam operasional.

Kurang dari 24 jam setelah pengumuman tersebut, Presiden Ukraina, Zelenskyy, mengirimkan surat pernyataan kesediaannya untuk segera menandatangani perjanjian mineral. Kesepakatan ini diharapkan memungkinkan AS memperoleh manfaat dari pengembangan sumber daya alam Ukraina serta membuka jalan bagi kerja sama lebih lanjut untuk mencapai perdamaian.

Negosiasi Damai dan Isu Keamanan Internasional

Penasehat Keamanan Nasional Gedung Putih, Michael Waltz, menyatakan kepada Fox News bahwa diskusi terkait negosiasi damai tengah berlangsung secara intensif. Beberapa pejabat tinggi saat ini tengah membahas tanggal, lokasi, dan tim negosiasi untuk mengakhiri konflik yang telah berlangsung lama.

“Kami telah mendiskusikan langkah-langkah untuk membangun kepercayaan dan akan mengusulkannya kepada pihak Rusia untuk diuji. Jika negosiasi berjalan dengan baik, Presiden akan mempertimbangkan kembalinya dukungan,” jelas Waltz.

Dalam konteks ini, pejabat senior AS, Wakil Presiden, JD Vance, menegaskan bahwa dukungan retorika yang disampaikan oleh sekutu-sekutu Eropa harus diimbangi dengan kenyataan di lapangan. 

“Zelenskyy harus segera duduk di meja perundingan,” ujarnya kepada Fox News. 

Sementara itu, mantan perwira NATO mengungkapkan bahwa jika Trump memutuskan keluar dari aliansi tersebut, kemungkinan pergeseran penempatan pasukan dari Eropa ke Asia akan terjadi sebagai respons terhadap ancaman dari Tiongkok.

Dinamika Politik dan Perubahan Kepemimpinan di NATO

Dalam perkembangan lain, laporan Daily Mail menyebutkan bahwa Trump tengah mempertimbangkan untuk melepaskan kepemimpinan atas NATO. Selama ini, AS memegang posisi strategis sebagai Panglima Tertinggi Sekutu Eropa. Namun, keinginan untuk mengalihkan kepemimpinan kepada perwira tinggi dari Inggris atau Prancis mulai mengemuka. 

Beberapa pengamat politik mencatat bahwa Presiden Prancis, Macron, melihat peluang ini sebagai momentum bersejarah bagi Eropa untuk mandiri dalam bidang pertahanan. Macron sendiri dalam pidatonya kepada publik Eropa menyatakan perlunya peningkatan pengeluaran militer serta industrialisasi kembali kawasan Eropa guna menjaga kedaulatan dan keamanan benua tersebut.

Respons Dunia dan Negosiasi Konflik Timur Tengah

Di sisi lain, situasi konflik di Timur Tengah juga mengalami dinamika yang signifikan. Pada tanggal 5 Maret 2025, Trump melalui akun “Truth Social” mengeluarkan pernyataan keras kepada Hamas. Dalam cuitannya, dia menuntut pembebasan segera semua sandera dan pengembalian jenazah korban, dengan ancaman tegas bahwa jika permintaan tidak dipenuhi, nasib para anggota Hamas akan sangat berat. Pengumuman tersebut disusul oleh informasi bahwa Gedung Putih tengah melakukan negosiasi langsung dengan Hamas mengenai pembebasan sandera Amerika.

Pertemuan puncak yang diadakan pada tanggal 4 Maret di Kairo, yang dihadiri oleh sejumlah negara Arab dipimpin oleh Mesir dan Liga Arab, membahas rencana investasi senilai 53 miliar dolar untuk rekonstruksi wilayah Palestina. Rencana tersebut juga mencakup pembentukan negara meredeka Palestina serta upaya pelucutan senjata Hamas dalam lima tahun ke depan. Meski begitu, rencana tersebut mendapat penolakan dari pihak Hamas, yang menegaskan bahwa mempertahankan persenjataan adalah garis merah yang tidak dapat dinegosiasikan. Sementara itu, Menteri Pertahanan Inggris, John Healey, dijadwalkan mengadakan pertemuan dengan Menteri Pertahanan AS, Pete Hegseth, guna membahas rencana perdamaian bagi Ukraina.

Pandangan Para Pengamat dan Dinamika Regional

Survei yang dilakukan di Ukraina dan Inggris pada Februari 2024 mengungkapkan bahwa popularitas Duta Besar Ukraina di Inggris, Valery Zaluzhny, saat ini lebih tinggi dibandingkan Zelenskyy. Mantan komandan awal militer Ukraina ini mengundurkan diri pada Februari 2024 karena perbedaan pandangan signifikan mengenai strategi peperangan.

Di luar arena Eropa, pernyataan Presiden Belarus, Lukashenko, dalam sebuah wawancara dengan blogger Amerika, Naf. Far, menyerukan agar Trump bersama Putin dan Zelenskyy melakukan negosiasi damai di ibu Kota Minsk, Belarus. 

Sementara itu, komentator politik Jepang, Eijiro, memperingatkan bahwa jika AS mengabaikan agresi, serangkaian invasi oleh Rusia dan Tiongkok bisa terjadi secara beruntun. Eijiro menilai bahwa pemerintahan Trump, yang mulai menjabat satu setengah bulan lalu, telah menunjukkan sikap tegas terhadap Tiongkok melalui berbagai langkah strategis yang mencakup konfrontasi militer, ekonomi, dan strategis.

FOKUS DUNIA

NEWS