Baru-baru ini, Rusia melancarkan serangan mendadak terhadap pasukan Ukraina yang telah memasuki wilayah Kursk. Seorang blogger militer mengungkapkan bahwa dengan tambahan 12.000 tentara Korea Utara yang mendukung Rusia, kendali Ukraina atas Kursk kini menghadapi krisis yang belum pernah terjadi sebelumnya.
EtIndonesia. Pada Minggu (9 Maret), Kementerian Pertahanan Rusia merilis rekaman yang menunjukkan serangan drone bunuh diri terhadap pasukan Ukraina di wilayah Kursk, Rusia, tepatnya di kota Sudzha yang saat ini dikuasai Ukraina.
Beberapa laporan menyebut bahwa Rusia menargetkan Sudzha dalam upaya memutus jalur logistik utama Ukraina di Kursk.
Seorang blogger militer Rusia mengungkapkan bahwa pasukan Rusia menggunakan pipa gas alam sebagai perlindungan untuk menyusup beberapa mil dan melancarkan serangan mendadak terhadap pasukan Ukraina. Kementerian Pertahanan Rusia mengklaim bahwa mereka telah merebut kembali tiga desa.
Di sisi lain, militer Ukraina melaporkan bahwa pasukan khusus Rusia mendapat serangan balik berupa roket, artileri, dan drone. Namun, seorang blogger militer Ukraina memperingatkan bahwa sekitar 12.000 tentara Korea Utara telah dikerahkan, sehingga kekuatan gabungan Rusia-Korea Utara jauh lebih unggul. Hal ini membuat Ukraina menghadapi ancaman serius dalam mempertahankan Kursk.
Pada Agustus tahun lalu, Ukraina melancarkan serangan ke Kursk dan dengan cepat merebut sebagian wilayah Rusia. Wilayah yang direbut tersebut dianggap sebagai aset negosiasi bagi Kyiv. Namun, dilaporkan bahwa sekitar dua pertiga dari wilayah yang sebelumnya dikuasai Ukraina kini telah direbut kembali oleh Rusia.
Di dalam wilayah Ukraina sendiri, berbagai daerah terus mengalami serangan rudal dan drone Rusia. Serangan terhadap wilayah Donetsk di Ukraina timur saja telah menewaskan sedikitnya 11 orang dan melukai 50 lainnya.
Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy: “Setiap hari, Rusia terus menunjukkan melalui tindakannya yang brutal bahwa tidak ada yang berubah di Moskow.”
Serangan besar-besaran Rusia terhadap Ukraina ini terjadi setelah Amerika Serikat menghentikan bantuan militer serta berbagi informasi intelijen dengan Ukraina.
Para pakar militer menilai bahwa penghentian intelijen akan sangat membatasi kemampuan Ukraina untuk melancarkan serangan jarak jauh yang presisi terhadap musuh. Selain itu, tanpa akses ke citra satelit, Ukraina akan kesulitan merencanakan operasi militernya.
Mengenai penghentian bantuan militer, analisis menunjukkan bahwa seiring waktu, stok amunisi Ukraina yang disuplai oleh AS akan semakin menipis, yang dapat membawa dampak serius.
Pejabat AS mengatakan bahwa langkah ini bertujuan untuk menekan Ukraina agar segera bernegosiasi dan mencapai gencatan senjata dengan Rusia.
Pada Minggu, Departemen Luar Negeri AS mengumumkan bahwa Menteri Luar Negeri Marco Rubio akan melakukan perjalanan ke Jeddah, Arab Saudi, pada 10-12 Maret untuk mengadakan pembicaraan dengan pihak Ukraina guna mewujudkan tujuan Presiden Trump dalam mengakhiri perang.
Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy sebelumnya menyatakan keyakinannya bahwa pertemuan ini akan menghasilkan hasil yang positif.
Pada Minggu, Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen, menjelang 100 hari masa jabatan keduanya, kembali menegaskan komitmen untuk memperkuat pertahanan Eropa dan terus memberikan dukungan penuh bagi Ukraina. Ia juga menekankan pentingnya kerja sama antara Eropa dan AS dalam menyelesaikan perbedaan yang ada.
“Saya pikir penting bagi kita untuk bekerja sama. Akan selalu ada perbedaan, tetapi kita harus menyelesaikannya dan menemukan jalan tengah,” katanya. (Hui)
Sumber : NTDTV.com