Zelenskyy Bertaruh Nyawa! Nekat Memicu Perang Dunia Ketiga?

EtIndonesia. Dalam sejarah, baik di masa lalu maupun sekarang, keputusan untuk melakukan operasi militer besar tidak hanya mempertimbangkan bagaimana memulainya tetapi juga bagaimana mengakhirinya. Pertanyaannya kini adalah, apakah perang di Ukraina akan terus berlanjut atau berakhir dengan perundingan damai?

Saat ini, tiga kekuatan besar NATO—Amerika Serikat, Inggris, dan Prancis—memiliki skenario yang berbeda-beda: pemerintahan Trump di AS ingin mendorong negosiasi damai, sementara Inggris dan Prancis lebih memilih melanjutkan perang. Presiden Ukraina, Volodymyr Zelenskyy, juga bersikeras untuk terus bertempur. Ketidaksepakatan ini telah mengguncang hubungan antara negara-negara Atlantik.

Seorang analis politik, He Qinglian, dalam laporannya di Taiwan Up Media, membahas skenario dari AS, Inggris, dan Prancis, serta menentukan pihak mana yang memiliki pendekatan lebih rasional.

Skenario Amerika Serikat: Dorongan Kuat Menuju Negosiasi Damai

Sejak pertemuan Zelenskyy dengan Trump di Gedung Putih pada 28 Februari yang berakhir dengan ketegangan, AS semakin mendesak agar Zelenskyy duduk di meja perundingan. 

Pada 2 Maret, setelah KTT darurat di London, Trump mengeluarkan pernyataan: “Kita harus menghabiskan lebih sedikit waktu mengkhawatirkan Putin dan lebih banyak waktu mengkhawatirkan geng pemerkosa imigran, kartel narkoba, pembunuh, dan orang-orang dari rumah sakit jiwa yang masuk ke Amerika Serikat. Jika tidak, kita akan menghadapi nasib yang sama seperti Eropa.”

Trump dan pemerintahannya diam-diam mempertimbangkan bahwa utang nasional AS telah mencapai 36 triliun dolar AS, di mana setiap warga negara, termasuk bayi yang baru lahir, menanggung beban utang sebesar 100 ribu dolar AS. Dalam situasi ini, Trump sedang fokus melakukan reformasi dalam negeri, menghadapi konflik internal yang sengit, dan harus menghemat pengeluaran. Salah satu langkah utama yang ingin diambil adalah menghentikan bantuan luar negeri yang dianggap sebagai “lubang tanpa dasar”.

Dengan mengambil posisi sebagai mediator dalam perang Ukraina, Trump ingin mengakhiri konflik ini dan menghentikan aliran dana besar-besaran ke medan perang.

Skenario Zelenskyy: Perang Harus Berlanjut, Kekuasaan Harus Dipertahankan

Zelenskyy tidak tinggal diam. Setelah KTT di London, Inggris dan Prancis menyatakan bahwa mereka akan terus mendukung Ukraina, tetapi dengan syarat AS harus ikut serta. Mereka juga mendesaknya untuk berdamai dengan Trump. Pada 4 Maret, Zelenskyy menegaskan kembali komitmennya terhadap perdamaian melalui platform X, namun pernyataan tersebut tidak ditindaklanjuti lebih lanjut.

Mengapa Zelenskyy mengharapkan dukungan dari Inggris dan Prancis? Menurut analisis He Qinglian, meskipun dukungan dari Inggris dan Prancis terbatas, Zelenskyy tahu bahwa mereka ingin melemahkan Rusia dengan bantuan AS. Ini sejalan dengan kepentingannya untuk mempertahankan posisinya sebagai presiden.

Masa jabatan Zelenskyy seharusnya telah berakhir pada 20 Mei 2024, dan menurut konstitusi Ukraina, pemilihan presiden harus diadakan pada Maret 2024. Namun, pemilihan ini dibatalkan karena status darurat perang. Di sisi lain, AS sebenarnya telah mempertimbangkan untuk menggantikan Zelenskyy. Tim Trump diam-diam melakukan pertemuan dengan oposisi Ukraina, termasuk Petro Poroshenko dan Yulia Tymoshenko. Zelenskyy menyadari bahwa dia mungkin akan berubah dari “pahlawan super” menjadi sosok yang ditinggalkan oleh AS dan Eropa, sehingga dia harus berjuang untuk bertahan.

Pada 17 Januari, pemerintah Zelenskyy menandatangani “Perjanjian Kemitraan Seabad” dengan Inggris, yang secara efektif menyerahkan aset Ukraina kepada Inggris. Ketika Zelenskyy mengunjungi Gedung Putih pada 28 Februari, tidak ada lagi sumber daya yang bisa dinegosiasikan, kecuali jika dia ingin membatalkan perjanjian dengan Inggris.

Dalam Konferensi Keamanan Munich pada 17 Februari, Zelensky dengan tegas menyatakan: “Militer Korea Utara tidak lemah, mereka sedang belajar perang modern. Apakah tentara kalian siap? Dengan hanya mengandalkan tentara kami, kekuatan militer Eropa tidak cukup untuk perang modern. Kita butuh senjata, pelatihan, sanksi, pendanaan, tekanan politik, dan persatuan.”

Pernyataan ini dapat ditafsirkan sebagai ajakan agar Uni Eropa mengirimkan pasukan ke medan perang.

Menurut He Qinglian, Zelenskyy adalah “pahlawan tragis yang melakukan sesuatu meskipun tahu itu mustahil”. Dia sadar bahwa perang ini sepenuhnya bergantung pada dukungan luar negeri, tetapi tetap berharap agar negara-negara Barat memberikan dukungan besar seperti yang dilakukan pemerintahan Biden sebelumnya. Ambisinya untuk memperpanjang perang dan melibatkan lebih banyak negara berpotensi memicu Perang Dunia Ketiga.

Trump menyatakan bahwa Zelenskyy mempertaruhkan nyawa generasi muda Ukraina dalam perangnya, dan tuduhan ini tidak sepenuhnya salah.

Skenario Inggris, Prancis, dan Uni Eropa: Rencana Jangka Panjang, Tetapi Kebutuhan Mendesak Mengandalkan AS

Sejak Zelenskyy gagal mendapatkan dukungan dari AS pada 28 Februari, Inggris, Prancis, dan Uni Eropa sibuk mengadakan berbagai pertemuan dan diskusi strategis.

Babak Pertama: KTT Darurat London (2 Maret)

Perdana Menteri Inggris, Keir Starmer, mengundang perwakilan dari 14 negara Eropa untuk membahas strategi masa depan. Dia berjanji memberikan pinjaman 2,26 miliar pound sterling kepada Ukraina dengan dana yang diambil dari aset Rusia yang dibekukan.

Namun, meskipun Starmer berbicara tentang membentuk “koalisi sukarela”, tidak ada negara yang secara langsung berkomitmen untuk bergabung dalam aliansi tersebut setelah KTT. Hal ini menunjukkan bahwa daya tarik dan efektivitas koalisi ini masih diragukan.

Babak Kedua: Pidato Nasional Macron (5 Maret)

Presiden Prancis, Emmanuel Macron, menyatakan bahwa setelah Trump dan Putin berdiskusi, geopolitik global telah mengalami perubahan besar. AS bertekad untuk mengakhiri perang Ukraina, meskipun dengan risiko berselisih dengan sekutunya.

Dalam strategi Macron:

  • Dia mengusulkan “payung nuklir Eropa” untuk melindungi sekutu Eropa.
  • Dia menolak perundingan damai dan ingin terus melemahkan Rusia.
  • Dia  meningkatkan anggaran pertahanan dan mendorong kontribusi dana swasta.

Namun, meskipun pidatonya penuh ambisi, realitas menunjukkan bahwa Prancis masih sangat bergantung pada AS dalam hal belanja militer.

Babak Ketiga: KTT Khusus Uni Eropa di Brussel (6 Maret)

Zelenskyy diundang menghadiri pertemuan ini, di mana Uni Eropa berencana untuk mengalokasikan 800 miliar euro untuk memperkuat pertahanan Eropa. Namun, meskipun Zelenskyy disambut dengan meriah, pertanyaannya tetap: Bisakah Ukraina bertahan hingga Eropa benar-benar membangun kekuatan militer yang cukup kuat?

Bagaimana Perang Ini Akan Berakhir?

Saat ini, dunia terbagi dalam dua kubu:

  1. Pendukung Palestina dan Hamas, yang mengabaikan peran Hamas dalam memicu konflik di Gaza.
  2. Pendukung Ukraina, yang mengabaikan bagaimana revolusi di Ukraina pada 2004 dan 2013 memicu perang ini.

Menurut He Qinglian, tragedi Ukraina sudah ditentukan sejak Revolusi Maidan, di mana AS memainkan peran kunci dalam menggulingkan pemerintahan pro-Rusia. Kini, dengan Rusia memiliki keunggulan di medan perang, pernyataan bahwa “Rusia adalah agresor” sudah tidak relevan lagi.

Mengutip Carl von Clausewitz, tujuan perang adalah menciptakan perdamaian. Jika Ukraina kehilangan dukungan AS, dia akan masuk dalam kategori negara yang tidak mampu lagi bertahan dalam perang.

Sejarah telah membuktikan bahwa mengetahui kapan harus mengakhiri perang adalah keterampilan yang paling menentukan. Jika Ukraina dan Eropa tidak memiliki kekuatan untuk menang, maka mereka juga tidak memiliki hak untuk mengeluhkan AS yang memilih berhenti mendukung perang ini. (jhn/yn)

FOKUS DUNIA

NEWS