Polisi Philipina : Siap Bekerja Sama dengan Interpol untuk Menangkap Kaki Tangan Duterte dalam Perang Narkoba

EtIndonesia. Polisi Nasional Philipina (PNP) mengumumkan pada Sabtu (16/3) bahwa pemerintah telah siap bekerja sama dengan Interpol dalam menangkap orang-orang yang dianggap sebagai “kaki tangan” Duterte dalam perang narkoba.

Di tengah beredarnya desas-desus di media sosial tentang anggota militer dan polisi yang mengundurkan diri sebagai bentuk protes terhadap penangkapan Duterte, pihak militer dan kepolisian sibuk membantah kabar tersebut untuk meredakan kegelisahan publik.

Pada 11 Maret, Pemerintah Philipina menangkap Duterte sesuai dengan permintaan Interpol dan langsung menerbangkannya ke Den Haag, Belanda, dengan pesawat khusus. Pada 14 Maret, Duterte menghadiri sidang praperadilan secara virtual.

Juru bicara PNP, Jean Fajardo, dalam wawancara dengan radio dzBB pada 16 Maret mengatakan bahwa polisi Philipina mengetahui ada beberapa orang lain yang didakwa bersama Duterte terkait perang narkoba. Ini berarti Interpol kemungkinan besar akan kembali meminta bantuan Philipina untuk menangkap lebih banyak tersangka berdasarkan surat perintah dari Mahkamah Pidana Internasional (ICC).

“Jika ada permintaan resmi, kami siap bekerja sama,” ujar Fajardo.

Pengamat memperkirakan bahwa mantan Kepala Polisi Nasional Philipina, Ronald dela Rosa—yang kini menjabat sebagai senator—bisa menjadi target penangkapan berikutnya. Philipina akan menggelar pemilu sela pada Mei tahun ini, dan dela Rosa saat ini sedang berkampanye untuk mempertahankan kursinya di Senat.

Presiden Marcos Jr. Tingkatkan Tunjangan Militer untuk Jaga Stabilitas

Sementara itu, pada 14 Maret, Istana Malacañang mengumumkan bahwa Presiden Ferdinand Marcos Jr. telah menandatangani perintah eksekutif yang menaikkan tunjangan harian bagi personel militer dari 150 peso Philipina menjadi 350 peso, dengan pemberlakuan mundur sejak 1 Januari tahun ini.

Saat ini, upah minimum harian bagi pekerja di Metro Manila adalah 645 peso.

Langkah ini diambil di tengah spekulasi bahwa militer Philipina tidak puas dengan keputusan pemerintah menangkap Duterte dan mengirimnya ke pengadilan internasional. Namun, pihak militer telah membantah rumor adanya ketidakstabilan di dalam institusi mereka.

Menurut laporan Central News Agency (CNA), peningkatan tunjangan militer diumumkan di saat media sosial Philipina dibanjiri klaim bahwa sejumlah anggota militer dan kepolisian mengundurkan diri sebagai bentuk protes terhadap penangkapan Duterte.

Juru bicara PNP, Jean Fajardo, dan juru bicara militer, Francel Margareth Padilla, telah beberapa kali membantah adanya gelombang pengunduran diri dari dalam institusi keamanan negara.

Duterte dan Perang Narkoba: Dukungan dan Kontroversi

Duterte memimpin perang narkoba besar-besaran sejak menjabat pada 2016 hingga akhir masa pemerintahannya pada 2022. Sepanjang periode tersebut, tingkat kepuasan publik terhadapnya berkisar antara 65% hingga 91%. Bahkan saat meninggalkan jabatan, dukungan terhadapnya masih mencapai 88%.

Ketika rekaman penangkapannya tersebar di televisi dan media sosial, banyak pendukungnya menangis melihat Duterte digiring ke pesawat khusus yang membawanya ke Den Haag.

Video yang beredar di internet bahkan menunjukkan seorang polisi tampak menyeka air matanya saat menangkap Duterte. Namun, Fajardo membantah interpretasi tersebut, dengan mengatakan bahwa polisi memakai seragam tebal dan cuaca panas, sehingga mereka berkeringat saat bertugas.

Pandangan publik Philipina tentang kebijakan perang narkoba Duterte sangat terpolarisasi:

1. Kelompok Penentang

  • Menganggap perang narkoba sebagai tindakan di luar hukum.
  • Mengkritik eksekusi di luar proses peradilan yang mengabaikan hak atas pengadilan yang adil.
  • Mengingatkan bahwa hukuman mati telah dihapus di Philipina, sehingga bahkan narapidana narkoba pun seharusnya tidak dieksekusi.

2. Kelompok Pendukung

  • Berpendapat bahwa Philipina memiliki tingkat kejahatan yang tinggi, sistem peradilan yang lemah, serta maraknya kriminalitas yang terkait narkoba.
  • Berargumen bahwa banyak penjahat narkoba kembali ke jalanan setelah dibebaskan karena kurangnya bukti atau ketakutan korban untuk bersaksi.
  • Menyatakan bahwa kebijakan Duterte adalah bentuk “ketegasan di masa sulit” untuk mengatasi kejahatan.

Dinamika Politik Pasca Penangkapan Duterte

Banyak pendukung Duterte berada di wilayah Visayas dan Mindanao, yang letaknya cukup jauh dari ibu kota Manila. Ini membuat mobilisasi massa dalam jumlah besar ke pusat pemerintahan menjadi sulit. Selain itu, pemerintah Marcos Jr. telah melakukan langkah antisipatif sebelum mengekstradisi Duterte, sehingga kemungkinan kudeta militer relatif rendah.

Menurut analisis dari situs keamanan MaxDefense Philippines, keluarga Duterte dinilai telah melakukan kesalahan strategis besar, antara lain:

  • Tidak menyiapkan penerus politik yang kuat sebelum lengser.
  • Segera berkonfrontasi dengan Presiden Marcos Jr. setelah pergantian kekuasaan.
  • Salah menilai sikap diam Marcos Jr. sebagai kelemahan.

Akibatnya, pengaruh politik keluarga Duterte kini berada di ambang kehancuran.

Saat ini, Wakil Presiden Philipina, Sara Duterte—yang juga putri Duterte—sedang menghadapi proses pemakzulan di Kongres atas tuduhan mengancam akan membunuh Presiden Marcos Jr.

Pemilu Sela 2025: Dampak Penahanan Duterte terhadap Dinamika Politik

Philipina akan mengadakan pemilu sela pada Mei 2025 untuk memilih setengah dari 24 kursi Senat, seluruh kursi DPR, serta kepala daerah dan anggota dewan lokal.

Banyak analis melihat pemilu ini sebagai pertarungan awal menuju pemilihan presiden 2028. Penangkapan dan pengiriman Duterte ke Den Haag bisa menjadi faktor penentu bagi berbagai faksi politik, apakah akan memperkuat atau melemahkan dukungan terhadap kubu pro-Duterte di masa mendatang.(jhn/yn)

FOKUS DUNIA

NEWS