EtIndonesia. Setelah tercapainya kesepakatan gencatan senjata tahap pertama antara Israel dan Hamas, banyak pihak mengira konflik di wilayah tersebut akan mereda untuk sementara waktu. Namun, situasi berubah drastis ketika pada 19 Maret 2025 militer Israel mengumumkan dimulainya kembali operasi darat dengan memperkuat penguasaan atas Koridor Nahal Oz (juga disebut Koridor Nazarim) yang memisahkan bagian utara dan selatan Jalur Gaza.
Operasi Darat dan Pembentukan Zona Penyangga
Menurut laporan CNN, serangan darat ini merupakan yang pertama kali terjadi sejak gencatan senjata gagal dipertahankan. Pasukan darat Israel kini bergerak di wilayah Gaza tengah dan selatan, dengan tujuan membentuk zona penyangga guna memperluas area keamanan dan melemahkan kekuatan Hamas.
Menurut keterangan militer Israel, operasi ini sudah dimulai sejak 18 Maret 2025 dengan serangan udara yang merupakan eskalasi konflik paling serius sejak diberlakukannya gencatan senjata pada Januari lalu. Kedua belah pihak saling menuduh melanggar perjanjian yang telah disepakati.
Pengungsian Warga dan Peringatan Keras dari Pihak Israel
Pada 19 Maret, militer Israel mendistribusikan selebaran di wilayah utara dan selatan Jalur Gaza yang mendesak warga untuk segera mengungsi. Ribuan warga Palestina pun mulai meninggalkan kota-kota di utara, seperti Beit Hanoun, menuju Jabalia dengan harapan menemukan tempat yang lebih aman.
Dalam pernyataan melalui video, Menteri Pertahanan Israel, Katz, memperingatkan bahwa jika Hamas tidak segera membebaskan para sandera, Israel akan melancarkan serangan dengan kekuatan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Dia juga menegaskan bahwa peringatan tersebut merupakan “peringatan terakhir” bagi warga Gaza, sekaligus menyerukan agar mereka mengikuti saran Presiden Amerika Serikat untuk mengembalikan sandera, menggulingkan Hamas, dan berpindah ke wilayah lain.
Korban Jiwa dan Kerusakan Infrastruktur
Data dari Kementerian Kesehatan Gaza—yang saat ini dikuasai Hamas—menyebutkan bahwa aksi militer Israel telah menewaskan sedikitnya 436 warga Palestina, sementara 678 orang lainnya mengalami luka-luka. Pihak Israel menyatakan bahwa sasaran mereka adalah fasilitas militer milik Hamas, meskipun kelompok tersebut dituduh menggunakan warga sipil sebagai tameng hidup.
Sementara itu, PBB mengonfirmasi bahwa salah satu kantor PBB di Gaza terkena serangan, mengakibatkan tewasnya satu karyawan asing dan melukai lima karyawan lainnya. Sekjen PBB António Guterres pun mengecam keras serangan tersebut dan mendesak dilakukannya investigasi menyeluruh.
Insiden Rudal dari Yaman dan Ketegangan yang Meluas
Pada dini hari 20 Maret, sebuah rudal yang diluncurkan dari Yaman berhasil dicegat sebelum memasuki wilayah udara Israel. Suara sirene serangan udara terdengar di Yerusalem disertai beberapa kali ledakan. Hingga saat ini, militer Israel belum melaporkan adanya korban jiwa atau luka-luka dari insiden tersebut, sementara kelompok Houthi di Yaman belum memberikan pernyataan resmi mengenai hal ini.
Tekanan Politik dan Isu Sandera
Di tengah meningkatnya operasi militer, masih terdapat 59 sandera yang ditahan oleh Hamas. Ribuan warga Israel turun ke jalan menuntut pemerintahnya mempercepat upaya pertukaran sandera.
Duta Besar Israel untuk PBB, Danny Danon, menegaskan bahwa Israel “tidak akan berhenti sebelum semua sandera kembali ke rumah masing-masing” dan mengancam akan membawa isu ini ke Dewan Keamanan PBB. Di sisi lain, Hamas memperingatkan bahwa tuntutan tersebut justru akan memperburuk nasib para sandera yang ditahan.
Aktivitas Militer di Tepi Barat dan Imbas Kemanusiaan
Di akhir Februari, tank-tank Israel memasuki Tepi Barat Yordania untuk pertama kalinya sejak 2002. Menteri Pertahanan Katz mengungkapkan bahwa langkah tersebut merupakan bagian dari upaya meningkatkan aktivitas militer di semua kamp pengungsi guna menumpas gerakan ekstremis. Dia mencatat bahwa sekitar 40 ribu warga Palestina telah melarikan diri dari wilayah tersebut, sebuah angka yang juga dikonfirmasi oleh PBB, sehingga area tersebut praktis menjadi tidak berpenghuni.
Reaksi Internasional dan Upaya Gencatan Senjata
Departemen Luar Negeri Amerika Serikat menuduh Hamas sebagai pihak yang bertanggung jawab atas pecahnya konflik pekan ini. AS terus mendorong proposal “inisiatif transisi” untuk memperpanjang gencatan senjata dan membebaskan lebih banyak sandera, sambil memperingatkan bahwa kesempatan untuk mencapai kesepakatan semakin menipis.
Sementara itu, Raja Yordania Abdullah II dalam pertemuannya dengan Presiden Prancis, Emmanuel Macron di Paris mendesak dipulihkannya gencatan senjata serta penambahan bantuan kemanusiaan. Namun, perundingan terhenti karena Hamas menuntut agar Israel mundur sepenuhnya dan mengakhiri peperangan, sedangkan Israel bersumpah untuk memusnahkan Hamas.
Dinamika Konflik Rusia-Ukraina
Di tengah ketegangan di Timur Tengah, perkembangan di Rusia-Ukraina juga menunjukkan dinamika yang kompleks. Pada 18 Maret, Presiden Donald Trump dan Presiden Vladimir Putin sempat melakukan pembicaraan mengenai gencatan senjata antara kedua negara. Keduanya setuju untuk menghentikan serangan terhadap infrastruktur vital masing-masing, meskipun Rusia kemudian meluncurkan serangan ke Ukraina pada malam yang sama. Militer Ukraina melaporkan bahwa pasukan Rusia meluncurkan 145 drone, dan 72 di antaranya berhasil dijatuhkan oleh sistem pertahanan udara Ukraina.
Pada 19 Maret, Rusia dan Ukraina mengonfirmasi telah membebaskan masing-masing 175 tawanan perang. Selain itu, Rusia menukarkan 22 tawanan Ukraina yang mengalami luka berat, yang menurut Kementerian Pertahanan Rusia merupakan wujud itikad baik.
Presiden Ukraina, Volodymyr Zelenskyy di platform X (dulu Twitter) menyebut pertukaran tawanan tersebut sebagai salah satu yang terbesar, sekaligus menyoroti bahwa 22 tawanan luka berat tersebut sebelumnya telah dianiaya dengan tuduhan palsu dan kini akan segera mendapatkan penanganan medis serta bantuan psikologis.
Kementerian Pertahanan Rusia juga mengapresiasi peran Uni Emirat Arab sebagai mediator kemanusiaan dalam proses pertukaran tawanan tersebut.
Menteri Luar Negeri Ceko, Jan Lipavský, menyatakan bahwa pembicaraan telepon antara Trump dan Putin belum menghasilkan terobosan signifikan. Menurutnya, kesepakatan gencatan senjata hanyalah salah satu langkah, sedangkan mencegah pecahnya perang kembali memerlukan jaminan keamanan jangka panjang untuk memastikan stabilitas di Eropa.
Lipavský juga menyoroti kekhawatiran bahwa Rusia berupaya mengembalikan pengaruhnya di wilayah bekas negara-negara yang telah bergabung dengan NATO, seperti Republik Ceko yang baru bergabung pada tahun 1999. Dia mendesak negara tersebut untuk membangun masyarakat yang tangguh dan meningkatkan anggaran pertahanan guna menghadapi potensi ancaman imperialisme Rusia.