EtIndonesia. Serangan udara Israel terhadap Gaza setelah gagal dalam gencatan senjata lanjutan, menurut para analis, kemungkinan merupakan taktik tekanan untuk memaksa kelompok Hamas menerima syarat gencatan senjata yang diajukan Israel. Namun, ada juga kemungkinan bahwa serangan ini merupakan upaya Perdana Menteri Benjamin Netanyahu untuk menyelamatkan dirinya sendiri dari tekanan politik dalam negeri yang semakin besar.
Menurut laporan AFP, serangan udara yang dilakukan Israel terhadap Jalur Gaza yang dikendalikan Hamas pada dini hari menyebabkan lebih dari 400 orang tewas. Ini menjadi serangan paling mematikan sejak perjanjian gencatan senjata antara Israel dan Hamas mulai berlaku pada 19 Januari lalu.
Perjanjian yang mulai berlaku pada 19 Januari tersebut mengakhiri perang yang telah berlangsung selama 15 bulan sejak 7 Oktober 2023. Namun, perjanjian ini telah berakhir pada 1 Maret tahun ini, dan perundingan tahap kedua tampaknya masih jauh dari kata sepakat.
David Khalfa, pakar Timur Tengah dari lembaga pemikir Jean Jaurès Foundation di Paris, menyatakan bahwa serangan terbaru Israel bertujuan untuk memaksa Hamas menerima proposal yang diajukan oleh utusan AS, Steve Witkoff, yang mencakup perpanjangan gencatan senjata tahap pertama, potensi gencatan senjata permanen, serta pembebasan lebih banyak sandera.
Hamas sendiri hingga saat ini belum memberikan respons militer terhadap serangan tersebut. Hugh Lovatt, peneliti senior di European Council on Foreign Relations, berpendapat bahwa Hamas menahan diri karena “tidak ingin terseret ke dalam perang lain yang lebih besar.”
David Khalfa dari Jean Jaurès Foundation menambahkan bahwa para pejuang Hamas mungkin akan “menyembunyikan senjata mereka, berbaur dengan penduduk setempat, dan menghindari konfrontasi langsung sejauh mungkin.” Namun, dia juga memperingatkan bahwa “jika Israel mengerahkan pasukan darat ke Gaza, Hamas kemungkinan akan melakukan serangan penyergapan secara gerilya.”
Sementara itu, serangan terbaru Israel ke Gaza terjadi di tengah krisis politik yang mengguncang pemerintahan Netanyahu.
- Koalisi Pemerintah Melemah: Koalisi pemerintahan Netanyahu semakin rapuh setelah partai sayap kanan pimpinan Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben Gvir menarik dukungannya karena ketidakpuasan terhadap gencatan senjata pada Januari lalu.
- Skandal Korupsi: Netanyahu saat ini sedang menghadapi persidangan atas dugaan kasus korupsi, meskipun fia menyangkal semua tuduhan tersebut.
- Kontroversi di Badan Keamanan: Netanyahu sedang berupaya mencopot kepala dinas keamanan Israel Shin Bet, yang berpotensi memperdalam krisis politik di dalam negeri.
Dalam situasi ini, International Crisis Group menilai bahwa begitu Israel mulai menggempur Gaza, semua masalah politik dalam negeri langsung mereda dan tidak lagi menjadi sorotan utama.
Hugh Lovatt dari European Council on Foreign Relations berpendapat bahwa: “Israel terus menggempur Gaza karena Netanyahu melihatnya sebagai sesuatu yang menguntungkan bagi kepentingan politik pribadinya.”
Namun, dia juga memperingatkan bahwa serangan yang terus berlanjut dapat membunuh “ratusan hingga ribuan warga Palestina, bahkan bisa membahayakan sandera Israel yang masih berada di Gaza.”
Meski demikian, Lovatt menekankan bahwa: “Hamas tidak akan dapat dihancurkan atau diusir dari Gaza semudah yang diharapkan atau diklaim oleh Israel.”(jhn/yn)