EtIndonesia. Dalam perkembangan yang kian memanas, Iran semakin mendekati ambisinya untuk memiliki senjata nuklir. Seiring dengan meningkatnya kekhawatiran global, sejumlah pengamat mulai membicarakan kemungkinan keterlibatan Amerika Serikat dalam konflik berskala besar dengan Iran.
Menurut laporan terkini, Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, telah memulai hitungan mundur perang dengan mengirimkan surat kepada pemimpin tertinggi Iran, Ayatollah Khamenei.
CNN melaporkan pada tanggal 21 Maret bahwa, melalui surat tersebut, Trump memberikan batas waktu selama dua bulan bagi Iran untuk mencapai kesepakatan nuklir baru dengan Amerika. Surat ini disampaikan melalui utusan khusus Timur Tengah, Steve Witkoff, yang pekan lalu menyerahkan dokumen tersebut kepada Presiden Uni Emirat Arab, Mohamed bin Zayed Al Nahyan, yang kemudian meneruskannya kepada pihak Iran.
Brian Hughes, juru bicara Dewan Keamanan Nasional AS, menjelaskan kepada CNN bahwa pernyataan Trump merupakan sinyal tegas untuk menyelesaikan sengketa nuklir melalui diplomasi secara cepat.
“Jika diplomasi gagal, kita siap menempuh jalur lain,” ujarnya, menekankan bahwa penyelesaian melalui negosiasi merupakan prioritas utama.
Sementara itu, Menteri Luar Negeri AS, Marco Rubio, dalam wawancara dengan pembawa acara radio konservatif Hugh Hewitt pada tanggal 19 Maret, mengatakan bahwa meskipun Trump enggan menggunakan kekuatan militer, tindakan tersebut akan diambil bila diperlukan untuk mencegah Iran memiliki senjata nuklir.
“Jika presiden memutuskan untuk menghentikan langkah Iran menuju senjata nuklir, kami memiliki kemampuan untuk melakukannya. Bahkan, kita siap mengancam rezim Iran lebih jauh,” ujar Rubio.
Langkah Trump dalam menghubungi Rusia melalui telepon pada hari Selasa menjadi indikasi penting dari upaya diplomatik yang terjalin. Dalam percakapan yang tercatat di Gedung Putih, Trump dan Presiden Rusia, Vladimir Putin, sepakat bahwa Iran tidak boleh memiliki kapasitas yang mampu menghancurkan Israel. Kesepakatan ini menegaskan bahwa isu nuklir Iran telah menjadi perhatian utama yang mempengaruhi stabilitas kawasan Timur Tengah.
Prospek Konflik dan Strategi Militer Amerika
Menyusul keputusan-keputusan kontroversial di masa lalu, seperti perintah penembakan Qasem Soleimani yang menunjukkan kesiapan Trump menggunakan kekuatan militer, prospek konflik antara Amerika dan Iran kembali mencuat. Meskipun Iran memiliki kekuatan militer yang terdiri dari sekitar 610.000 prajurit aktif dan 350.000 personel cadangan, perlengkapan militernya diketahui telah ketinggalan zaman.
Sejak tahun 2019, Trump sempat menegaskan bahwa jika terjadi perang, Amerika tidak akan mengirimkan pasukan darat. Sebaliknya, pemerintahannya akan mengandalkan kekuatan udara yang dinilai mampu menghancurkan infrastruktur militer Iran dalam waktu singkat. Iran, di sisi lain, mengklaim memiliki rudal balistik unggulan di Timur Tengah, seperti rudal dengan jangkauan 2.000 km, rudal “Flowing Star III”, serta rudal “Khoramshahr” dengan jangkauan mencapai 3.000 km yang diduga mampu menyerang pangkalan militer Israel dan Amerika. Namun, serangan udara Israel terhadap Iran pada Oktober tahun lalu mengindikasikan bahwa sistem pertahanan udara Iran belum optimal dalam menghadapi serangan modern.
Isu Briefing Rahasia untuk Elon Musk dan Klarifikasi Trump
Di tengah hiruk-pikuk perbincangan mengenai potensi konflik, media Amerika sempat memberitakan bahwa Elon Musk dijadwalkan mendengarkan briefing rahasia dari Departemen Pertahanan AS mengenai kemungkinan pecahnya perang antara Amerika dan Tiongkok, serta strategi antisipasi militer. Namun, Trump segera menanggapi melalui platform “True Social”, mengkritik keras kabar tersebut sebagai “berita palsu” dan menuding media “The New York Times” kehilangan kredibilitasnya.
Dalam klarifikasinya, Trump menegaskan bahwa briefing tersebut tidak menyebutkan soal Tiongkok dan dinilai sebagai kebohongan yang memalukan. Menteri Pertahanan AS, Pete Hegseth, melalui Axios, mengungkapkan bahwa pertemuan yang melibatkan Musk merupakan diskusi informal yang membahas inovasi, efisiensi, dan produksi tanpa membocorkan rahasia militer terkait Tiongkopk. Juru bicara Departemen Pertahanan juga mengonfirmasi kepada Reuters bahwa kunjungan Musk ke Pentagon pada tanggal 21 Maret 2025 bersifat kunjungan rutin tanpa agenda khusus.
Kesimpulan
Ketegangan yang meningkat antara Amerika Serikat dan Iran menandai babak baru dalam dinamika geopolitik yang semakin kompleks. Dengan langkah diplomatik dan ancaman militer yang mulai terintegrasi dalam kebijakan luar negeri AS, dunia kini menantikan bagaimana perkembangan ini akan mempengaruhi stabilitas kawasan Timur Tengah dan hubungan internasional secara keseluruhan.