Pentagon bekerja sama dengan produsen drone Ukraina, mempercayai keahlian mereka yang teruji dalam perang untuk membangun senjata jarak jauh yang lebih murah untuk konflik modern
Stephen Xia dan Sean Tseng
Awal bulan ini, sebuah organisasi di bawah Departemen Pertahanan Amerika Serikat mengumumkan pemberian kontrak pertahanan kepada dua kemitraan Ukraina-Amerika untuk membangun drone jarak jauh.
Nama perusahaan Ukraina yang terlibat tidak diungkapkan demi alasan keamanan. Mereka akan menyediakan desain drone untuk diuji oleh Amerika Serikat.
Langkah ini cukup tidak biasa karena Washington biasanya mengandalkan perusahaan pertahanan raksasa dalam proyek senjata. Namun, dalam kasus ini, pihak Ukraina memiliki keunggulan unik: pengalaman nyata yang diperoleh dari perang yang sedang berlangsung dengan Rusia.
Kontrak ini merupakan bagian dari proyek Artemis yang dijalankan oleh Unit Inovasi Pertahanan (DIU) Pentagon.
Diluncurkan tahun lalu, proyek ini memiliki tujuan yang jelas: membangun drone “kamikaze” atau drone sekali pakai yang terjangkau dengan jangkauan panjang. Drone ini harus mampu terbang hingga 186 mil (sekitar 300 km) dan beroperasi dalam kondisi sulit, seperti cuaca ekstrem serta gangguan telekomunikasi.
Dorongan mengembangkan drone ini berasal dari Komando AS di Eropa dan Indo-Pasifik yang mengantisipasi tantangan baru dalam konflik modern. DIU menargetkan prototipe Artemis yang berfungsi penuh pada akhir 2025, dengan pengujian selesai pada akhir Mei tahun itu.
Sejak konflik Rusia–Ukraina dimulai, para pembuat drone Ukraina telah memperoleh pengetahuan mendalam dalam membangun dan menguji drone serang jarak jauh—beberapa bahkan melampaui jangkauan yang dipersyaratkan dalam proyek Artemis. Drone-drone ini sudah digunakan untuk menyerang pangkalan udara Rusia, fasilitas minyak, dan target penting lainnya.
Mereka belajar langsung apa yang efektif di medan perang dan bagaimana bertahan dari taktik seperti pengacauan GPS, pemalsuan sinyal, serta berbagai kontra-elektronik lainnya yang dapat menjatuhkan atau melumpuhkan drone yang kurang canggih.
Pada Juli tahun lalu, Jenderal James Hecker, komandan Angkatan Udara AS di Eropa, menyatakan bahwa Rusia dan Ukraina menunjukkan bagaimana sistem drone yang lebih kecil dan murah dapat memberikan hasil yang luar biasa.
Dalam diskusi virtual yang diselenggarakan oleh Mitchell Institute for Aerospace Studies di bawah Air and Space Forces Association, Hecker mencatat bahwa beberapa negara NATO bahkan lebih memilih membangun peralatan sederhana karena “mereka tidak mampu membeli peralatan canggih.” Sang jenderal juga menambahkan bahwa sistem yang lebih murah terkadang dapat menjalankan misi yang sama dengan peralatan kelas atas, atau bahkan melengkapinya untuk performa secara keseluruhan yang lebih baik.
Pemikiran ini tampaknya menjadi dasar keputusan Pentagon untuk mencari mitra di luar perusahaan senjata raksasa dan bekerja sama dengan perusahaan yang lebih lincah—terutama yang memiliki pengalaman tempur langsung.
Sementara itu, Amerika Serikat enggan menggunakan sistem rudal mahal seperti Army Tactical Missile Systems (ATACMS) untuk menyerang target Rusia, sehingga drone yang lebih kecil dan kurang terikat dengan batasan aturan menjadi lebih menarik.
Drone Artemis memiliki tugas spesifik. Mereka harus bisa diluncurkan dari darat, mampu membawa berbagai jenis muatan, serta cukup murah untuk diproduksi massal.
Drone ini juga harus tetap berfungsi meskipun GPS terganggu—kemampuan teknis yang telah dikuasai oleh Rusia dan Ukraina di medan perang. Rusia menggunakan drone yang terikat dengan kabel untuk mengurangi risiko pengacauan sinyal, tetapi jangkauannya terbatas dan hanya dapat digunakan di zona garis depan. Di sisi lain, drone Ukraina memiliki jangkauan lebih jauh dan telah digunakan untuk serangan presisi, pengelabuan, serta berbagai misi lainnya.
Perang ini menunjukkan betapa cepatnya persediaan amunisi bisa habis. Industri pertahanan AS tidak dapat segera memproduksi peluru kaliber 155 mm dalam jumlah besar untuk mengisi kembali stok artileri jarak jauh. Dalam skenario pertempuran besar seperti di Pasifik, di mana AS mungkin menghadapi Tiongkok pada suatu hari nanti, senjata jarak jauh yang hemat biaya bisa menjadi pengubah permainan, dan Artemis adalah langkah menuju pembangunan persediaan persenjataan.
Mengikutsertakan perusahaan Ukraina dalam proyek ini tidak hanya menambah keahlian—tetapi juga mengubah rantai pasokan pertahanan tradisional AS. Dengan memperluas jangkauan mitranya, Pentagon menunjukkan bahwa mereka sedang meninjau kembali cara memperoleh senjata, terutama untuk skenario di mana biaya, kecepatan, dan adaptabilitas sama pentingnya dengan daya tembak murni.
Pada akhirnya, Artemis bukan sekadar program drone—ini adalah model masa depan peperangan. Produksi cepat, keterjangkauan, dan adaptabilitas kini menjadi faktor utama dalam konflik berskala besar. Dengan memanfaatkan keahlian Ukraina, Amerika Serikat berinvestasi dalam drone yang dapat menghadapi ancaman modern di Eropa Timur, Pasifik Barat, atau di mana pun mereka dikerahkan selanjutnya.
Pendapat yang diungkapkan dalam artikel ini merupakan pandangan penulis dan tidak mencerminkan pandangan The Epoch Times secara keseluruhan.