Pada Minggu (23 Maret), Senator AS Steve Daines bertemu dengan Perdana Menteri Partai Komunis Tiongkok (PKT) Li Qiang di Beijing. Setelah pertemuan, ia mengatakan kepada media bahwa jika masalah fentanil tidak terselesaikan, maka tidak ada pembicaraan mengenai hal lain.
EtIndonesia. Menurut laporan Bloomberg News pada Minggu, Steve Daines menegaskan bahwa sebelum masalah narkoba fentanil diselesaikan, sulit bagi AS dan PKT untuk berdialog mengenai tarif dan hambatan perdagangan non-tarif.
Daines menekankan bahwa pejabat PKT mengetahui tuntutan AS, yaitu menghentikan sepenuhnya aliran fentanil ke AS, bukan hanya menguranginya.
Baru-baru ini, AS telah memberlakukan dua putaran kenaikan tarif terhadap Tiongkok sebagai bentuk hukuman karena Beijing tidak pernah menghentikan penyelundupan fentanil ke Amerika, yang menyebabkan banyak kematian di AS.
“Dalam pandangan pemerintahan Trump, masalah fentanil bukanlah sesuatu yang bisa dinegosiasikan. Pertama, membiarkan atau bahkan mendorong perdagangan fentanil atau bahan kimianya adalah masalah kriminal yang harus diselesaikan terlebih dahulu. Kedua, pada masa jabatan pertama Trump, Xi Jinping secara pribadi berjanji kepada Trump untuk menyelesaikan masalah fentanil,” ujar analis Politik Qin Peng.
“Trump telah memberikan banyak peringatan dan bahkan menaikkan tarif dua kali sebagai bentuk tekanan. Dalam situasi ini, tentu saja masalah ini harus diselesaikan terlebih dahulu sebelum membahas tarif dan masalah lainnya,” tambahnya.
Selama bertahun-tahun, AS terus menuduh Beijing mendorong dan membiarkan fentanil masuk ke negaranya, yang telah merenggut banyak nyawa. Para analis percaya bahwa PKT sengaja menunda penyelesaian masalah ini untuk menggunakannya sebagai alat tawar-menawar dengan AS demi keuntungan ekonomi.
Profesor Xie Tian dari University of South Carolina Aiken Business School mengatakan:
“Beijing sebenarnya bisa dengan mudah menghentikan produksi bahan baku fentanil dan peredarannya ke perusahaan-perusahaan yang memproduksi narkoba ini, tetapi mereka tidak mau. Mereka menggunakan fentanil sebagai senjata untuk menyerang Amerika dan sebagai alat negosiasi perdagangan. Namun, kali ini AS tampaknya akan berusaha mencapai tujuannya dengan tegas.”
Para analis percaya bahwa masalah fentanil akan menjadi faktor kunci dalam negosiasi AS-Tiongkok selanjutnya. Sikap keras AS kali ini mungkin bisa memaksa Beijing mengubah pendiriannya. Selanjutnya, isu perdagangan yang lebih besar—termasuk tarif, akses pasar, pencurian kekayaan intelektual, dan geopolitik yang melibatkan Panama dan Greenland—akan muncul ke permukaan.
Terkait hambatan perdagangan AS-Tiongkok, Perdana Menteri PKT Li Qiang pada Minggu mengklaim bahwa Tiongkok akan mengikuti jalur “globalisasi yang benar” dan menerapkan multilateralisme untuk mengatasi hambatan perdagangan.
Seorang penasihat pemerintah PKT juga mengungkapkan kepada The Wall Street Journal bahwa Beijing sedang mempertimbangkan untuk meniru kebijakan Jepang beberapa dekade lalu, dengan membatasi ekspor barang tertentu ke AS untuk mengurangi dampak tarif dan hambatan perdagangan lainnya.
Namun, para ahli menilai langkah-langkah ini tidak akan efektif.
“Pertama, tidak ada kepercayaan antara AS dan Tiongkok. Trump sudah tidak percaya pada pemerintah PKT, karena janji-janji dalam perang dagang sebelumnya pun belum dipenuhi. Kedua, hubungan AS-Tiongkok semakin mengarah pada konfrontasi strategis jangka panjang. Jika PKT mencoba membatasi ekspor sebagai taktik, AS akan melihatnya sebagai tipu muslihat,” ujar Profesor Xie Tian.
“Jika Beijing ingin meniru strategi Jepang dengan mendirikan pabrik otomotif di AS, itu justru tidak akan memenuhi tujuannya sendiri. Tujuan utama Beijing adalah mempertahankan produksi di Tiongkok dan memanfaatkan tenaga kerja murah untuk menghasilkan keuntungan dari pasar AS,” jelasnya. (Hui)
Sumber : NTDTV.com