EtIndonesia. Pada 13 Februari, di Kota Tlaquepaque, Meksiko, aparat lokal menggelar operasi gabungan untuk memberantas kelompok kartel narkoba. Rekaman video hasil operasi tersebut dan citra satelit menunjukkan penangkapan empat tersangka di wilayah dataran tinggi utara negara bagian Jalisco. Pihak berwenang juga menyita bahan peledak, prekursor kimia, kamera pengintai, perlengkapan taktis, dan senjata api.
Antonio Céspedes Saldierna, seorang pensiunan peternak asal Texas Selatan yang kini berusia 74 tahun, menjadi korban dari meningkatnya kekerasan yang dilakukan oleh kartel. Suatu hari, ketika dia tengah mengemudikan mobil pick-up di wilayah peternakannya di Meksiko, mobil tersebut melindas alat peledak rakitan (IED) dan meledak.
Ledakan itu membuat mobil terguling dan menyebabkan Antonio serta sahabatnya meninggal dunia. Istri dari sahabatnya, yang juga berada dalam kendaraan, harus dilarikan ke rumah sakit.
Peristiwa tragis itu terjadi pada bulan Januari, di dekat Kota San Fernando, negara bagian Tamaulipas, Meksiko—yang berbatasan langsung dengan Brownsville, Texas.
Putra Antonio, Ramiro Céspedes—seorang veteran militer AS yang pernah bertugas di Irak dan Afghanistan—menjelaskan bahwa ayahnya adalah warga negara AS yang telah bermigrasi dari Meksiko sejak tahun 1970-an demi meraih impian Amerika.
Dalam wawancaranya dengan The Epoch Times, Ramiro menyebut bahwa ayahnya menjadi korban terorisme kartel narkoba yang kini merajalela di sepanjang perbatasan Meksiko-AS. Ramiro, yang pernah terluka akibat alat peledak saat bertugas dan menerima Medali Hati Ungu, mengatakan bahwa IED dan drone kini menjadi senjata baru dalam perebutan wilayah antarkartel.
“Saya pernah mengatakan, cara ayah saya terbunuh adalah taktik teroris—karena saya pernah menyaksikan sendiri metode itu di Irak,” ujar Ramiro Céspedes.
Ramiro menambahkan bahwa kartel Meksiko kini memiliki persenjataan dan perlengkapan yang semakin canggih—termasuk kendaraan lapis baja, rompi antipeluru Kevlar, teknologi penglihatan malam, hingga senapan sniper kaliber .50—yang setara dengan perlengkapan militer.
“Sekarang ini seperti pertempuran antara dua unit militer skala kecil. Dan kerusakannya sangat besar,” ujarnya tentang kekuatan kartel. “Saya rasa, kebijakan Presiden Trump sebelumnya telah memberikan tekanan besar terhadap Meksiko. Saya bisa melihatnya langsung dari kondisi di perbatasan.”
Pada bulan Januari lalu, Kedutaan Besar AS di Meksiko mengeluarkan peringatan tentang meningkatnya penggunaan IED. Beberapa hari sebelum kematian Antonio, tepatnya pada 23 Januari, sebuah alat peledak rakitan meledakkan kendaraan milik pejabat Meksiko di Kota Rio Bravo, menyebabkan luka-luka pada orang di dalam mobil tersebut.
Insiden-insiden ini mencerminkan meningkatnya kompleksitas taktik kelompok kartel yang dalam beberapa tahun terakhir telah melebarkan sayap ke aktivitas penyelundupan manusia dan narkoba lintas batas.
Dalam empat tahun terakhir, diperkirakan lebih dari 11 juta warga negara asing masuk secara ilegal ke wilayah Amerika Serikat—sebagian besar dari perbatasan selatan dengan Meksiko.
Presiden AS, Donald Trump, yang kembali mencalonkan diri, telah menyatakan komitmennya untuk memperketat keamanan perbatasan, mendeportasi jutaan imigran ilegal, dan menghentikan peredaran fentanyl—obat terlarang yang mematikan—masuk ke AS.
Pada Februari 2025 ini, Departemen Luar Negeri AS secara resmi menetapkan enam kartel narkoba Meksiko sebagai organisasi teroris asing dan entitas teroris global. Enam kartel tersebut adalah:
- Kartel Sinaloa
- Kartel Teluk (Gulf Cartel)
- Kartel Bersatu (United Cartel)
- Kartel Timur Laut (Northeast Cartel)
- Kartel Generasi Baru Jalisco (CJNG)
- Keluarga Baru Michoacan (La Nueva Familia Michoacana)
Pada 4 Maret, dalam pidatonya di Kongres, Presiden Trump menegaskan tekadnya untuk menghadapi ancaman yang ditimbulkan oleh kartel terhadap keamanan nasional Amerika Serikat.
“Kartel narkoba sedang melancarkan perang terhadap Amerika. Kini, saatnya Amerika menyatakan perang terhadap kartel narkoba,” tegas Trump dalam pernyataannya.
Lahirnya “Super Kartel” – Ketika Kartel Narkoba Bekerja Sama Melawan Amerika Serikat
Pada 5 Maret, Wakil Presiden AS JD. Vance saat mengunjungi Kota Eagle Pass, Texas, menyoroti meningkatnya ancaman dari kartel narkoba Meksiko terhadap keamanan nasional Amerika. Menurutnya, kelompok-kelompok ini kini tidak hanya semakin kuat dan kaya, tapi juga semakin canggih.
“Kejahatan terkait imigrasi, kematian akibat fentanil, dan masuknya orang-orang yang seharusnya tidak berada di negara ini — semuanya mencapai rekor tertinggi,” ujar Vance.
“Dan kami melihat bagaimana pemerintahan [mantan Presiden] Joe Biden yang membuka perbatasan selatan, menjadikannya taman bermain bagi kartel. Akibatnya, kartel menjadi lebih maju dan memiliki kemampuan tempur yang meningkat.”
Ammon Blair, penasihat intelijen dan peneliti senior dari inisiatif Secure & Sovereign Texas Initiative di Texas Public Policy Foundation, menjelaskan bahwa kartel kini dilengkapi dengan senjata dan peralatan setara militer, termasuk teknologi pengawasan canggih.
Menurut Blair, kemampuan teknologi mereka telah berkembang ke tingkat yang sangat tinggi—meliputi drone tak terdeteksi, enkripsi militer yang dibenamkan dalam jaringan seluler pribadi, hingga sistem mata-mata Pegasus buatan Israel yang mampu menyusup ke dalam perangkat seluler tanpa terdeteksi.
Dia memperingatkan bahwa beberapa kartel bahkan telah menunjukkan tanda-tanda berkoalisi dalam membentuk jaringan super-kartel, untuk bertahan dari tekanan yang meningkat dari Amerika Serikat selama empat tahun mendatang.
“Kita sekarang menyaksikan proses integrasi antarkartel,” kata Blair.
Blair menyebut bahwa meskipun beberapa kelompok kartel masih bersaing memperebutkan wilayah, faksi-faksi di bawah Kartel Teluk (Gulf Cartel) seperti “Metros” dan “Scorpions” telah mulai bekerja sama.
Jaksa Agung Negara Bagian Oklahoma, Gentner Drummond, menyatakan pandangan serupa. Ia menggambarkan situasi saat ini sebagai “kolusi antarkartel yang berbahaya.”
Drummond menjelaskan bahwa negara bagian Oklahoma menjadi lahan subur bagi aktivitas kartel, karena lokasinya yang dekat dengan perbatasan Texas-Meksiko dan karena legalisasi ganja medis pada 2018. Akibat ketatnya penegakan hukum di Texas, banyak kartel melihat Oklahoma sebagai tempat berlindung yang lebih mudah diakses.
Menurutnya, sekitar 37 kelompok kartel dan jaringan kriminal internasional, termasuk dari Tiongkok, kini beroperasi di Oklahoma.
“Oklahoma telah menjadi lahan subur kolaborasi antara kartel Meksiko dan kelompok kejahatan terorganisir dari Tiongkok,” ujar Drummond.
Drummond mengungkap bahwa badan penegak hukum Oklahoma telah menemukan bukti kerja sama antara “pengedar narkoba Tiongkok” dan kartel Meksiko dalam distribusi narkoba. Dia mengklaim bahwa rezim Tiongkok merekrut warga miskin dari Provinsi Fujian, lalu mengirim mereka dengan kapal menuju pesisir Sinaloa, Meksiko—wilayah kekuasaan Kartel Sinaloa.
Setibanya di Meksiko, warga Tiongkok tersebut dibawa ke perbatasan barat daya AS, khususnya Oklahoma, di mana mereka kemudian dilibatkan dalam produksi fentanil, perdagangan ganja ilegal, dan perdagangan manusia yang dipimpin oleh mafia.
Drummond menyebutkan salah satu kasus mencolok tahun 2024, yaitu warga negara Tiongkok bernama Chen Wu yang dijatuhi hukuman penjara seumur hidup karena membunuh empat sesama warga Tiongkok di sebuah perkebunan ganja ilegal di Oklahoma. Perkebunan itu beroperasi di bawah izin ganja medis yang diperoleh secara ilegal.
Jaksa menjelaskan bahwa sebelum menembak mati para korban, Chen Wu sempat menuntut pengembalian investasinya sebesar 300.000 dolar AS dalam bisnis ganja tersebut.
Drummond menekankan bahwa dengan menyatakan kartel Meksiko sebagai organisasi teroris asing, Presiden Trump telah memberi alat hukum tambahan bagi aparat penegak hukum untuk membongkar jaringan kriminal ini.
Dia mengkritik pemerintahan Biden karena tidak mendeportasi imigran ilegal yang bekerja di perkebunan ganja ilegal, meskipun pihak penegak hukum Oklahoma telah menginformasikan keberadaan mereka kepada Imigrasi dan Bea Cukai AS (ICE).
Kini, setelah Trump kembali menjabat, Satuan Tugas Kejahatan Terorganisir Oklahoma dapat bekerja sama dengan ICE untuk membersihkan para pelaku kejahatan ilegal imigran dari negara bagian.
Drummond menambahkan, Oklahoma pernah memiliki 12.000 fasilitas budidaya ganja, dan sebagian besar adalah ilegal. Saat ini, jumlah itu diperkirakan menyusut menjadi sekitar 2.800 fasilitas.
Dia mengungkap bahwa beberapa dari fasilitas tersebut merupakan bagian dari jaringan kriminal Tiongkok bernilai jutaan dolar, dan koneksi mereka ke Partai Komunis Tiongkok sering disembunyikan di balik struktur perusahaan seperti LLC (Limited Liability Company) atau S-Corporation.
Selain itu, kelompok kartel di Oklahoma kini juga menggunakan drone yang dimodifikasi secara canggih, dirancang oleh teknisi internal mereka, sehingga sulit dilacak oleh radar atau sistem pertahanan biasa.
“Kami telah mengamati semua tanda-tanda ini,” ujar Drummond.
Drone Pengangkut Narkoba: Senjata Baru Kartel Melintasi Langit Amerika
Fenomena drone yang menyusup dari Meksiko ke wilayah udara Amerika Serikat bukan lagi hal baru.
Pada Maret 2024, dalam sebuah sidang dengar pendapat Komite Militer Senat AS, Jenderal Gregory Guillot, Komandan Komando Utara AS (USNORTHCOM), mengungkapkan bahwa ribuan drone terbang melintasi perbatasan selatan AS setiap bulan.
Ammon Blair, mantan agen Patroli Perbatasan AS, mengisahkan pengalamannya saat bertugas di wilayah perbatasan Texas. Dia mengaku pernah mendengar suara drone melintas di atas kepalanya saat melakukan patroli—yang tak terdeteksi oleh sistem pemantauan non-militer milik Departemen Keamanan Publik Texas.
“Kadang, saat kamu sedang berlari, tiba-tiba sebuah drone muncul di atas kepala, memantau setiap gerak-gerikmu,” ungkapnya.
Kisah Blair ini sejalan dengan laporan ilmiah berjudul “Narco Drones: Tracing the Evolution of Cartel Aerial Tactics in Mexico’s Low-Intensity Conflicts” yang diterbitkan tahun 2023 oleh penerbit akademik Taylor & Francis di Oxford, Inggris.
Dalam laporan itu, seorang perwira Angkatan Laut Meksiko menyatakan bahwa para pengedar narkoba menggunakan video siaran langsung dari drone untuk melacak pergerakan aparat dan penjaga perbatasan, guna menentukan titik lemah untuk penyelundupan.
Blair menambahkan, jika chip pelacakan dalam drone dicabut atau drone tersebut dibuat menggunakan printer 3D, maka dia bisa lolos dari sistem deteksi radar.
Sementara itu, dalam laporan tahun 2024 yang dirilis oleh lembaga intelijen asal London bernama Grey Dynamics, drone disebut telah menjadi bagian integral dari operasi kriminal kartel. Produksi drone ini tersebar di berbagai kota besar Meksiko, seperti Mexico City, Guadalajara, Monterrey, Querétaro, dan Tijuana.
Penggunaan drone oleh kartel sangat bervariasi—mulai dari berfungsi sebagai “keledai narkoba” (mule) untuk menyelundupkan obat-obatan terlarang, hingga sebagai alat mata-mata yang dilengkapi bahan peledak untuk menyerang atau melakukan pengawasan.
Dalam konteks kartel, drone juga digunakan sebagai “falcon”—sebuah istilah slang yang merujuk pada informan atau mata-mata yang memantau lokasi dan melaporkan aktivitas target. Drone ini dapat merekam gambar dan suara untuk mendukung pengambilan keputusan kartel.
Namun, drone hanyalah salah satu dari banyak alat canggih yang digunakan kartel dalam operasi mereka yang semakin menyerupai perang gerilya modern.
Perangkat Mata-Mata Kelas Militer: Pegasus dan Spionase Kartel
Pada Juli 2022, dalam sidang dengar pendapat di Komite Intelijen Tetap DPR AS, isu lonjakan penggunaan perangkat mata-mata tingkat tinggi menjadi perhatian utama.
John Scott-Railton, pakar keamanan siber dari Citizen Lab—sebuah lembaga riset di Universitas Toronto, Kanada—mengungkap bahwa kartel narkoba kini sudah menggunakan spyware Pegasus, sebuah alat sadap ultra-canggih buatan Israel.
Berbeda dari malware biasa yang membutuhkan interaksi pengguna, Pegasus mampu menyusup ke perangkat tanpa klik sama sekali (zero-click attack). Cukup dengan menerima pesan atau panggilan, spyware ini bisa mengambil alih sistem operasi ponsel tanpa diketahui pemiliknya.
Spyware Pegasus memanfaatkan celah di aplikasi populer seperti iMessage dan WhatsApp, memungkinkan peretas untuk mengakses pesan, kamera, mikrofon, lokasi GPS, dan semua data pribadi tanpa jejak.
Scott-Railton menyebut, sekitar dua dekade lalu, hanya segelintir negara yang memiliki kemampuan untuk melakukan serangan siber tingkat tinggi semacam ini. Namun sekarang, kelompok non-negara seperti kartel narkoba pun bisa mengaksesnya.
“Kami memiliki dokumentasi tentang serangan terhadap Javier Valdez, seorang jurnalis yang memberitakan tentang kejahatan dan kartel narkoba di Meksiko. Ia kemudian dibunuh dalam serangan yang dirancang oleh kartel. Tak lama setelah pembunuhannya, ponsel istrinya dan rekan-rekannya juga terinfeksi Pegasus,” ujarnya.
Ia juga menambahkan bahwa menjelang pembunuhan jurnalis Cecilio Pineda Birto, nomornya masuk dalam daftar target potensial Pegasus oleh klien Meksiko dari sistem spyware tersebut.
Kartel Meksiko bukan lagi sekadar jaringan kriminal tradisional. Mereka kini bertransformasi menjadi kekuatan hibrida—menggabungkan taktik militer, teknologi pengawasan tinggi, dan keahlian spionase digital—yang menjadikan mereka salah satu ancaman terbesar bagi keamanan internal Amerika Serikat.
Perang Elektronik: Kartel Kini Main di Level Teknologi Tinggi
Dalam perang teknologi melawan aparat dan pemerintah, kartel narkoba kini menggunakan sistem telekomunikasi terenkripsi untuk melindungi operasi mereka.
Dalam sistem komunikasi bergerak biasa, metadata dapat digunakan untuk melacak lokasi secara akurat—sesuatu yang sangat dihindari oleh kartel. Karena itu, mereka berusaha keras untuk menghindari sistem pelacakan dan intersepsi informasi.
Ammon Blair mengungkapkan bahwa situs web milik kelompok white-hat hacker atau “peretas etis” yang bernama Hackers Arise, pernah menerbitkan artikel khusus tentang bagaimana kartel Meksiko membangun infrastruktur jaringan seluler sendiri demi menghindari pelacakan intelijen.
Menurut Blair, ada laporan bahwa kartel mempekerjakan atau bahkan menculik insinyur telekomunikasi untuk menciptakan keunggulan teknis ini.
Dalam laporan Hackers Arise tersebut dijelaskan bahwa sistem komunikasi kartel mencakup analisis sinyal dan deteksi canggih yang setara dengan kemampuan perang elektronik.
Salah satu sistem yang ditemukan pada tahun 2022 di negara bagian Michoacán, Meksiko, menggunakan teknologi super-enkripsi yang sangat sulit untuk dipecahkan. Sistem ini mampu menghasilkan kunci enkripsi sementara (temporary encryption keys) berdasarkan berbagai parameter seperti:
- Lokasi geografis
- Waktu (jam/hari)
- Kondisi atmosfer berdasarkan sensor cuaca yang terintegrasi
Teknologi semacam ini menunjukkan bahwa kartel telah mengembangkan kemampuan setara militer dalam bidang komunikasi.
Menuju Titik Akhir: AS Butuh “Rencana Kemenangan”
Christopher Holton, analis senior dari Center for Security Policy—sebuah lembaga think tank keamanan nasional yang berbasis di Washington, D.C.—mengatakan kepada The Epoch Times bahwa Amerika Serikat kini menghadapi ancaman dari kartel bersenjata lengkap, yang kemampuannya setara dengan kelompok teroris seperti ISIS di Timur Tengah.
Menurut Holton, kartel telah menjadi pelopor di antara aktor non-negara dalam penggunaan drone bersenjata. Mereka bahkan memasang granat dan hulu ledak roket pada drone untuk menyerang musuh-musuh mereka.
Dia menyebut bahwa meskipun militer AS memiliki pesawat intelijen canggih seperti MQ-9 Reaper (si “Malaikat Maut”) dan pesawat intai maritim Boeing P-8 Poseidon, namun penggunaannya terhadap kartel masih sangat terbatas.
“Amerika hampir pasti harus mendapat izin dari pemerintah Meksiko untuk melakukan serangan terhadap kartel,” katanya.
Dengan kondisi tersebut, Holton memperkirakan bahwa serangan udara atau serangan drone langsung dari militer AS terhadap kartel tidak akan dilakukan dalam waktu dekat.
Namun, ia menegaskan bahwa militer AS memiliki kemampuan luar biasa dalam memata-matai komunikasi seluler, sehingga operasi rahasia tetap bisa dilakukan.
Meskipun begitu, tingginya infiltrasi kartel ke dalam institusi dan masyarakat Meksiko, termasuk ke dalam struktur pemerintahan, menjadi tantangan serius.
“Kartel beroperasi di balik bayang-bayang pemerintahan resmi,” ujar Holton. “Mereka pada dasarnya adalah pemerintah bayangan (shadow government).”
Holton menilai bahwa opsi paling realistis bagi AS adalah melancarkan operasi khusus rahasia (covert special operations) untuk menghancurkan jaringan kartel.
“Operasi anti-pemberontakan oleh satu tim elit militer bisa memberikan dampak lebih besar daripada satu kompi bersenjata lengkap,” jelasnya.
Akhirnya, Holton menyampaikan satu pesan penting:“Apa yang akan menjadi bentuk kemenangan Amerika?”“Kita harus punya peta jalan menuju kemenangan. Kita harus tahu kapan dan bagaimana kemenangan itu bisa diraih.”(jhn/yn)