Starlink Tak Tergantikan? Jerman Sukses Uji Roket, Eropa Siap Lepas Ketergantungan pada AS

EtIndonesia. Eropa kini sedang memasuki babak baru dalam ambisinya mencapai kemandirian antariksa. Di tengah meningkatnya ketegangan geopolitik global, negara-negara Eropa mulai mempercepat pengembangan teknologi peluncuran komersial sekaligus memperkuat sistem pengawasan militer berbasis satelit, demi melepaskan ketergantungan terhadap Amerika Serikat dan perusahaan seperti SpaceX.

Langkah paling menonjol datang dari Isar Aerospace, perusahaan roket asal Jerman yang baru saja melaksanakan uji coba perdana roket Spectrum dari Pulau Andøya di Norwegia. Ini adalah uji terbang pertama roket orbit buatan Eropa yang diluncurkan dari tanah Eropa, menjadi tonggak sejarah menuju otonomi antariksa.

Uji coba bertajuk “Going Full Spectrum” ini tidak membawa muatan (non-payload flight), dan bertujuan mengonfirmasi performa seluruh sistem roket. Jika sukses, misi ini akan membuka jalan bagi Eropa membangun sistem peluncuran luar angkasa yang mandiri dan berbiaya lebih rendah, mengurangi ketergantungan pada peluncuran dari AS.

Selama ini, peluncuran roket di Eropa sangat tergantung pada proyek milik pemerintah seperti Ariane dan Vega, yang tidak fleksibel dan memiliki biaya tinggi. Dari total 263 peluncuran global pada tahun 2024, AS mendominasi dengan 145 peluncuran, dan 138 di antaranya dilakukan oleh SpaceX. Sebaliknya, Eropa hanya mengandalkan sistem peluncuran konvensional. Di sinilah peran startup seperti Isar Aerospace menjadi vital untuk menghadirkan perubahan.

Eropa kini tengah membangun dua lokasi peluncuran utama: Spaceport Andøya di Norwegia dan SaxaVord Spaceport di Kepulauan Shetland, Inggris. Isar mendapat hak eksklusif untuk menggunakan peluncur utama di Andøya, sementara perusahaan seperti Orbex dan RFA (Rocket Factory Augsburg) akan beroperasi dari SaxaVord — menciptakan strategi peluncuran multipolar.

Roket Spectrum memiliki desain dua tahap dengan panjang 28 meter. Tahap pertama ditenagai oleh sembilan mesin, menggunakan bahan bakar propana cair dan oksigen cair, yang menawarkan efisiensi tinggi. Target akhirnya adalah dapat mengangkut muatan hingga 1.000 kg ke orbit rendah Bumi (LEO). Namun, peluncuran kali ini hanya berfokus pada uji performa sistem.

Akan tetapi, tantangan utama bagi Eropa untuk menyamai SpaceX adalah mengembangkan teknologi daur ulang roket. Beberapa perusahaan seperti RFA dan MaiaSpace tengah mengembangkan sistem pengembalian roket, salah satunya dengan menggunakan parasut, meniru pendekatan Falcon 9. Keberhasilan teknologi ini akan menjadi penentu utama apakah biaya peluncuran Eropa bisa bersaing secara global.

Selain itu, European Space Agency (ESA) juga mendukung sektor swasta melalui program Boost, yang sejak 2019 mendanai perusahaan seperti Isar Aerospace, Orbex, dan RFA. Pada 2024, ESA mengalokasikan tambahan €44,22 juta untuk mendukung pengembangan teknologi peluncuran yang lebih murah dan efisien.

Selain teknologi peluncuran, Eropa juga memperkuat posisi di sektor pertahanan dan pengawasan militer berbasis satelit. Akun X @peterzhou8964 mengungkapkan bahwa Uni Eropa sedang mengembangkan program peningkatan untuk Copernicus Program, dari yang semula menyediakan citra medan perang setiap 24 jam, kini akan di-upgrade menjadi setiap 30 menit.

Melalui 272 satelit orbit rendah Bumi yang terintegrasi dengan analitik AI, sistem ini akan mampu memantau situasi medan secara real-time, termasuk melacak pergantian pasukan Armada Laut Hitam Rusia. Jika terwujud, sistem ini akan membuat posisi militer Rusia lebih terbuka dan sulit untuk bersembunyi.

Namun, sejumlah pengamat menyoroti keterbatasan teknisnya. Sistem Copernicus awalnya adalah proyek satelit sipil, dan resolusi saat ini hanya sekitar 10 meter, yang masih sulit membedakan antara tank dan traktor. Untuk mencapai kemampuan pengawasan militer kelas tinggi, Eropa masih membutuhkan peluncuran lebih banyak satelit resolusi tinggi, dan dalam waktu dekat masih berpotensi bergantung pada peluncuran oleh AS atau SpaceX.

Meski demikian, Eropa memiliki contoh sukses dalam program Galileo, sistem navigasi satelit yang kini sepenuhnya beroperasi dan memiliki akurasi empat kali lebih tinggi dari GPS milik AS, membuktikan bahwa Eropa mampu menciptakan sistem mandiri di sektor tertentu.

Namun demikian, dua sektor utama masih menjadi tantangan besar bagi kemandirian Eropa:

  1. Peluncuran roket berbiaya murah dan dapat digunakan kembali
  2. Teknologi satelit militer beresolusi tinggi
  3. Kapasitas peluncuran skala besar tanpa bantuan SpaceX

Geografi Eropa menawarkan keuntungan lokasi peluncuran menuju orbit sinkron matahari (SSO), ideal untuk observasi Bumi dan misi pengawasan militer. Tetapi, tanpa kemampuan peluncuran ulang roket dan teknologi satelit militer canggih, ketergantungan pada AS masih belum bisa sepenuhnya dihindari.(jhn/yn)

FOKUS DUNIA

NEWS