EtIndonesia. Sebuah investigasi yang telah lama ditunggu-tunggu akhirnya dipublikasikan pada hari Rabu, mengungkap keterlibatan Pemerintah Korea Selatan dalam pengiriman massal bayi ke luar negeri untuk diadopsi setelah perang. Laporan ini menunjukkan adanya pemalsuan catatan kelahiran, klaim palsu bahwa anak-anak tersebut telah ditelantarkan, serta kelalaian dalam melakukan pemeriksaan keselamatan terhadap ibu kandung mereka.
Menurut laporan CNN yang mengutip data dari otoritas Korea Selatan, lebih dari 200.000 anak-anak Korea telah dikirim ke luar negeri untuk diadopsi sejak tahun 1950-an. Pada saat itu, Korea sedang dalam masa pemulihan dari kehancuran Perang Dunia II dan Perang Korea, yang mendorong industri adopsi berkembang pesat hingga menjadi sektor besar yang sangat menguntungkan.
Namun, banyak dari anak-anak yang diadopsi tersebut kini telah dewasa dan tersebar di seluruh dunia. Mereka menuduh lembaga-lembaga adopsi telah melakukan penipuan dan pemaksaan. Dalam beberapa kasus, anak-anak bahkan diambil secara paksa dari pelukan ibu kandung mereka.
Pada hari Rabu, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Korea Selatan mengumumkan hasil investigasi terkait 367 kasus petisi dari anak-anak yang diadopsi ke luar negeri antara tahun 1964 dan 1999. Hasil dari 100 kasus pertama kini telah dirilis.
Investigasi mengungkap bahwa anak-anak yang diadopsi ini tersebar di 11 negara berbeda. Banyak di antara mereka mencurigai bahwa proses adopsi mereka di masa lalu tidak sesuai prosedur atau bahkan mengandung unsur korupsi. Keraguan seperti ini telah lama menghantui komunitas diaspora anak adopsi asal Korea.
Dari 100 kasus yang telah dianalisis, 56 kasus diakui sebagai korban kelalaian pemerintah. Dalam kasus-kasus ini, hak-hak dasar anak telah dilanggar, termasuk pelanggaran terhadap Konstitusi Korea dan konvensi internasional.
Komisioner Lee Sang-hoon menyampaikan dalam konferensi pers bahwa sebagian dari masalah ini berasal dari sistem adopsi yang nyaris sepenuhnya dijalankan oleh lembaga swasta yang bergantung pada donasi, dan minim pengawasan dari pemerintah.
“Ketika lembaga adopsi bergantung pada donasi dari orangtua angkat, mereka terdorong untuk terus mengirim anak ke luar negeri demi kelangsungan operasional,” ujar Lee Sang-hoon.
“Struktur seperti ini secara signifikan meningkatkan risiko terjadinya adopsi ilegal.”
Investigasi juga menemukan bahwa banyak dokumen dalam proses adopsi sengaja dipalsukan, termasuk manipulasi identitas anak-anak dan klaim palsu bahwa mereka telah ditinggalkan oleh orangtuanya. Sering kali, tidak ada persetujuan yang sah dari orangtua kandung.
Sebagai contoh, dalam salah satu kasus, seorang ibu dipaksa untuk menandatangani surat persetujuan adopsi hanya sehari setelah melahirkan. Lembaga adopsi langsung memperoleh hak asuh anak tersebut hanya setelah melakukan satu sesi wawancara sederhana, tanpa dokumen yang membuktikan hubungan ibu dan anak.
Selain itu, proses seleksi orangtua angkat juga tidak memadai. Beberapa kasus bahkan menunjukkan bahwa orangtua angkat dari luar negeri tidak menjalani pemeriksaan latar belakang yang memadai. Ada juga laporan bahwa sebagian dari mereka diminta membayar biaya tambahan untuk bisa mengadopsi anak-anak tersebut.
Investigasi ini dimulai sejak tahun 2022 dan mencakup lebih dari 300 kasus, yang dijadwalkan selesai pada Mei tahun ini. Laporan sementara ini menunjukkan bahwa ada kegagalan sistemik dan praktik adopsi paksa yang berlangsung selama bertahun-tahun, demi memenuhi permintaan pasar luar negeri terhadap bayi-bayi asal Korea.
Komisi merekomendasikan agar Pemerintah Korea Selatan menyampaikan permintaan maaf resmi, serta melakukan penyelidikan penuh terhadap status kewarganegaraan para anak adopsi dan menyediakan kompensasi serta langkah pemulihan bagi para korban yang identitasnya dipalsukan.
“Bagi kami semua, ini adalah penantian yang sangat panjang,” ujar Han Boon-young, salah satu dari 100 orang yang diselidiki dalam laporan ini, yang kini tinggal di Denmark.
“Tapi sekarang kami akhirnya melihat secercah keadilan. Ini adalah sebuah kemenangan.”
Namun ironisnya, karena kekurangan dokumen, Han tidak diakui secara resmi sebagai korban.
“Kalau pemerintah mengakui bahwa ini adalah bagian dari kekerasan negara, bagaimana bisa mereka tidak mengakui orang-orang yang tidak memiliki dokumen?” ujarnya.
“Itulah inti dari masalah kami—kami tidak memiliki dokumen karena memang sengaja dipalsukan atau dihilangkan.”
Marianne Oak Nielsen, yang juga masih menunggu hasil investigasi atas kasusnya, menyampaikan kepada CNN bahwa dia khawatir sekitar setengah dari para anak adopsi tidak akan diakui sebagai korban resmi.
“Kami tidak punya dokumen, yang berarti kami tidak punya hak… Ini bukan sekadar kasus individu, ini menyangkut hak asasi manusia,” katanya.Meski praktik adopsi ke luar negeri dari Korea Selatan belum sepenuhnya berhenti, Pemerintah Korea telah melakukan revisi undang-undang adopsi sejak dekade 2010-an, untuk menangani masalah sistemik dan mengurangi jumlah anak yang diadopsi ke luar negeri. Sejak saat itu, jumlah anak Korea yang dikirim ke luar negeri telah menurun drastis. (jhn/yn)