Gempa bumi dahsyat berkekuatan magnitudo 7,7 mengguncang Myanmar pada 28 Maret, menyebabkan lebih dari 1.600 orang tewas. Namun, di saat rakyat sibuk menyelamatkan korban, militer Myanmar justru melanjutkan serangan udara terhadap kelompok pemberontak di dalam negeri.
EtIndonesia. Menurut laporan BBC, serangan udara terjadi hanya tiga jam setelah gempa, tepatnya pukul 15.30 di Naungcho, Negara Bagian Shan Utara, yang menyebabkan tujuh orang tewas.
Kelompok perlawanan demokratis melaporkan bahwa ledakan udara juga terjadi di Chang-U, barat laut Sagaing, yang merupakan pusat gempa bumi, serta di daerah dekat perbatasan Thailand.
PBB: “Serangan Militer Ini Sangat Mengejutkan dan Tak Dapat Diterima”
Tom Andrews, Pelapor Khusus PBB untuk Hak Asasi Manusia di Myanmar, mengecam keras aksi militer ini.
“Ketika semua orang sibuk menyelamatkan korban gempa, militer justru masih menjatuhkan bom. Ini sungguh tak bisa dipercaya!” tegasnya.
Ia mendesak junta militer Myanmar untuk segera menghentikan semua operasi militer.
“Semua pihak yang memiliki pengaruh terhadap militer Myanmar harus memberikan tekanan lebih besar dan dengan jelas menyatakan bahwa tindakan ini tidak dapat diterima,” lanjutnya.
Sebagai respons, Pemerintahan Persatuan Nasional (NUG)—pemerintahan sipil yang digulingkan junta—mengumumkan bahwa pasukan mereka akan menangguhkan serangan militer ofensif di wilayah terdampak gempa selama dua minggu, kecuali untuk aksi pertahanan diri.
Setelah gempa terjadi, laporan kerusakan mulai berdatangan dari Mandalay (kota terbesar kedua di Myanmar) serta ibu kota Naypyidaw yang berjarak 241 km dari pusat gempa.
Militer Myanmar menyatakan bahwa sejauh ini 1.644 orang telah dikonfirmasi tewas, dan banyak lainnya masih tertimbun di bawah reruntuhan.
Pada 2021, militer Myanmar melakukan kudeta, menggulingkan pemerintahan sipil, dan memicu gelombang demonstrasi besar-besaran.
Awalnya, perlawanan sipil terjadi melalui gerakan pembangkangan sipil, tetapi dengan cepat berkembang menjadi pemberontakan bersenjata. Kini, setelah empat tahun berlalu, Myanmar terjebak dalam perang saudara, dengan pertempuran sengit antara militer, kelompok etnis bersenjata, dan organisasi perlawanan rakyat.
Karena mengalami kekalahan di banyak medan pertempuran dan kehilangan wilayah yang luas, militer Myanmar semakin mengandalkan serangan udara untuk menekan perlawanan.
Menurut investigasi BBC, setelah hampir empat tahun berkuasa, militer Myanmar kini hanya mengendalikan kurang dari 25% wilayah negara.
Sementara itu, kelompok pemberontak etnis dan pasukan perlawanan kini menguasai sekitar 42% dari seluruh Myanmar.
Militer Myanmar juga dikenal sering melakukan serangan udara tanpa pandang bulu, yang telah menewaskan lebih dari 170 orang dalam satu serangan, termasuk banyak wanita dan anak-anak.
Organisasi hak asasi manusia PBB telah memperingatkan bahwa militer Myanmar telah melakukan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan terhadap rakyatnya sendiri.
Di saat rakyat Myanmar masih berduka akibat gempa, militer justru menambah penderitaan dengan serangan udara brutal.
Laporan oleh BBC & Central News Agency, Diterjemahkan oleh New Tang Dynasty Television