Gempa Myanmar : Suhu Tinggi di Episentrum  Menyebabkan Mayat Cepat Berbau, Penduduk Tidur di Jalanan

EtIndonesia. Pada 28 Maret, Myanmar bagian tengah diguncang gempa berkekuatan magnitudo 7,7. Pada  31 Maret, pemerintah militer mengumumkan bahwa jumlah korban tewas  mencapai 2.056 orang, dengan lebih dari 3.900 orang terluka.

Wilayah yang terkena dampak paling parah, termasuk kota Sagaing dan Mandalay (kota terbesar kedua di Myanmar), mengalami suhu mendekati 40°C. Di salah satu kuburan yang penuh dengan jenazah, bau mayat mulai menyengat. Organisasi bantuan mengatakan bahwa para penyintas sangat membutuhkan tempat penampungan, makanan, dan air bersih.

Tim peliputan dari NHK Jepang yang masuk ke Mandalay pada 31 Maret pagi melihat banyak bangunan runtuh. Banyak warga kehilangan tempat tinggal dan mencari perlindungan di sebuah vihara. Diperkirakan lebih dari 1.000 orang berlindung di vihara tersebut.

Seorang pekerja dari Komite Penyelamatan Internasional (IRC) yang berada di Mandalay mengatakan kepada Reuters:  “Setelah mengalami ketakutan akibat gempa, warga kini khawatir dengan gempa susulan. Mereka hanya berani tidur di jalanan atau di ladang terbuka.”

“Namun, di berbagai kota dan desa, tempat yang aman sangat terbatas. Mereka sangat membutuhkan tenda. Bahkan jika rumah mereka tidak rusak, mereka tetap takut untuk tidur di dalamnya.”

IRC menambahkan bahwa timnya menemukan para korban sangat membutuhkan perawatan medis, air minum, dan makanan.

Menurut The Guardian, di kota Sagaing, dekat pusat gempa, jenazah mulai menumpuk di pemakaman.

“Mayat mulai berbau busuk sejak kemarin. Hari ini, kondisinya sudah tidak bisa digambarkan. Jenazah belum bisa dievakuasi keluar dari Sagaing, dan tim penyelamat pun belum tiba,” kata warga Sagaing berusia 20 tahun bernama Aye Moe. 

Aye Moe juga menjelaskan kondisi di Sagaing: “Mereka harus mengubur 10 mayat dalam satu liang lahat. Ketika tidak ada cukup ruang, jenazah dikirim ke Mandalay untuk dikremasi, tetapi di sana pun tidak cukup tungku kremasi.”

Di Mandalay, seorang warga mengatakan kepada Reuters bahwa masyarakat terpaksa menggali reruntuhan sendiri untuk mencari jenazah karena tidak ada cukup alat atau tim penyelamat.

Dia menambahkan: “Warga kembali ke rumah mereka di siang hari, tetapi mereka masih takut tidur di dalamnya pada malam hari. Semua orang tetap tidur di luar dan mulai jatuh sakit… Tanah yang terbakar matahari sepanjang hari menjadi terlalu panas untuk ditempati.” (hui/asr)

FOKUS DUNIA

NEWS