Sakera adalah seorang tokoh pejuang legenda anti kolonialisme di Pasuruan, Jawa Timur. Ia berjuang melawan penjajah yang menindas rakyat. Namun nama Sakera seolah dikenal sebagai cerita rakyat yang diceritakan turun temurun, bahkan kapan dia meninggal tidak diketahui pasti kapan dan dimana dimakamkan. Namun oleh cicitnya setelah sekian puluh tahun berusaha ditelusuri dimana kejadian terakhir Sakera ditangkap dan dibunuh, ditelusuri hingga sampai di wilayah Bekacak, Kelurahan Kolursari (daerah tepi sungai), daerah paling selatan di Kota Bangil, Pasuruan. Maka disinilah dibuatkan makam untuk Sakera.
Sakera memiliki kehidupan yang kaya, dia memiliki lahan luas yang dia kelola. Kehidupan yang tenang dan mapan tetapi tidak bisa diam ketika dia melihat penindasan yang dilakukan oleh penjajah Belanda kepada orang-orang di sekitarnya. Sakera melakukan aksinya dengan merampok/menjarah harta para penjabat korup (antek-antek) dan penjajah kejam, lalu hasilnya dibagikan kepada rakyat yang mereka tindas. Tentunya aksi Robin Hood, Sakera yang dilakukan diam-diam tanpa diketahui siapa sang perampok sesungguhnya ini meresahkan para penjajah Belanda dan antek-anteknya. Sakera tidak hanya menjarah harta penindas di daerah Bangil saja tapi sampai di luar daerah Bangil.
Dalam cerita rakyat Sakera dikenal sebagai seorang ahli bela diri yang memiliki kesaktian tiada tanding. Namun Sakera yang sulit ditangkap, akhirnya ditangkap setelah dikhianati oleh salah satu rekan seperguruannya sendiri. Setelah berkelahi tiga hari dua malam, hari ketiga ditangkap Belanda.
Senjata yang digunakan oleh Sakera bukanlah clurit, namun bentuknya hampir seperti clurit hanya ujungnya ada lengkungannya kearah luar dan memiliki gagang panjang seperti tombak dan berat (antara 10 – 15 kilogram atau lebih) banyak yang menyebutnya senjata sabit monteng atau arek lancor.
Asal-Usul Keluarga Sakera Sagiman Hingga Generasi Kini
Yang mungkin tidak banyak diketahui orang adalah Sakera merupakan keturunan Arab Yaman dengan nama Umar Bawazir. Hal tersebut berdasarkan pada sumber dari Museum Tropeen di Belanda. Berdasarkan penuturan cicit Sakera yakni Bayu Iskandar Dinata, anak Umar Bawazir yakni Yusuf Bawazir menikahi gadis Madura yang bernama Sukarsi.
Sedangkan Bayu Iskandar Dinata, atau yang lebih dikenal dengan nama Abdullah Bin Suroto Bawazir, adalah sosok cicit yang membawa warisan sejarah dan kebanggaan keluarga. Sebagai cicit dari tokoh legendaris Sakera Sagiman, Bayu tidak hanya mewarisi postur tubuh tinggi besar yang menjadi ciri khas keluarganya, tetapi juga semangat untuk menjaga nama baik dan sejarah keluarganya. Dengan ramah dan penuh detail, Bayu menceritakan asal-usul keluarganya, lengkap dengan bukti-bukti otentik yang ia miliki.
Sakera Sagiman, adalah kakek buyut Bayu. Sakera, yang memiliki nama asli Umar Bawazir, adalah seorang tokoh pembela rakyat tertindas yang berdarah Arab-Madura. Ia menikah dengan seorang wanita Madura (nama sebenarnya tidak diketahui hanya keturunannya memanggilnya dengan Buyut Jujuk) dan dikaruniai hanya dua yang bertahan hingga dewasa: Yasin Bawazir dan Yusuf Bawazir.
“Kalau dalam keluarga kita semua panggilnya (Buyut) Jujuk…nama aslinya (kami) tidak tahu,” jelas Bayu Iskandar Dinata kepada The Epoch Times.
Yusuf Bawazir, kakek Bayu, adalah seorang pedagang sekaligus veteran yang pernah dipenjarakan oleh Belanda di Tanggul, Jember. Selama di penjara, Yusuf mengalami siksaan hingga tulang rusuknya patah. Setelah dibebaskan, ia hidup dalam kondisi sakit-sakitan dan akhirnya meninggal dunia tidak lama kemudian. Yusuf menikah dengan Sukarsi, seorang wanita berdarah ningrat dari desa Buddih, Pamekasan, yang merupakan cucu dari Abdul Hadi yaitu gurunya Umar Bawazir. Dari pernikahan ini, Yusuf dikaruniai 15 anak, namun hanya empat yang bertahan hidup: Suradji Bawazir, Suroto Bawazir (ayah Bayu), Sukirman Bawazir, dan Suwono Bawazir.
“Kakek saya Yusuf Bawazir tentu mengalami nasib yang tidak jauh berbeda menjadi buron penjajah Belanda, hingga harus berpindah-pindah tempat dan juga bergabung dengan tentara pejuang melawan Belanda. Dia hijrah ke Bungul Kidul Pasuruan, lalu ke Malang kami tidak tahu daerahnya, lalu berpindah ke Klakah Lumajang sampai akhirnya di tangkap dan di penjarakan di Tanggul, Jember.” Jelas Bayu, mungkin inilah mengapa anak-anaknya yang berjumlah 15 orang hanya bertahan empat orang, karena harus berpindah pindah dalam kondisi yang sulit.
“Kakek diakui sebagai veteran oleh negara dan mendapat santunan tapi kami tidak pernah mengambilnya,” lanjut Bayu.
Suroto Bawazir, ayah Bayu, adalah sosok yang tinggi besar dan berjiwa nasionalis. Ia bekerja sebagai kepala dinas di PU Pengairan Jember dan dikenal sebagai pribadi yang penyabar serta berjiwa pendidik. Suroto menikahi Sulipa, seorang perempuan berdarah Banten-Madura, dan dikaruniai dua anak: Bayu (Abdullah Bawazir) dan Megawati Bawazir. “Jadi, saya adalah cicit dari Sakera Sagiman. Jika diurut, nama saya adalah Abdullah Bin Suroto Bin Yusuf Bin Umar (Sakera Sagiman) Bin Abdullah Bawazir),” jelas Bayu.
Menjaga Nama Baik Keluarga
Bayu lahir di Kecamatan Balung, Jember, pada 31 Agustus 1981. Sejak kecil, ia diajarkan untuk menjaga nama baik keluarga dan menghormati warisan leluhurnya. “Kami turun-temurun menjaga nama baik keluarga berdasarkan ajaran moral dari agama yang kami anut,” ujar Bayu. Ia menegaskan bahwa klaim Sakera sebagai peminum adalah tidak benar dan bertentangan dengan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh keluarganya.
Untuk membuktikan kebenaran sejarah keluarganya, Bayu memiliki silsilah lengkap yang ia jaga dengan baik. “Siapapun yang ingin tahu lebih banyak tentang kebenaran dari yang saya sampaikan ini, silakan datang atau menghubungi saya. Saya akan jelaskan secara detail dan tunjukkan silsilah keluarga kami, baik dari darah Madura maupun peranakan Arab,” tutur Bayu. Ia bahkan tidak segan-segan menghubungi kerabatnya di Madura untuk memastikan keakuratan cerita yang ia sampaikan.
Warisan Moral
Sebagai cicit dari Sakera Sagiman, Bayu merasa memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga warisan dan nama baik keluarganya. Ia menekankan pentingnya menghormati sejarah dan menghindari penulisan sejarah yang carut-marut. “Kami memiliki silsilah yang lengkap dan otentik. Ini bukan sekadar cerita turun-temurun, tetapi bukti nyata yang bisa dipertanggungjawabkan,” tegasnya.
Bayu juga menyampaikan pesan moral yang ia warisi dari ayahnya, Suroto Bawazir. “Ayah selalu berpesan kepada saya untuk sabar dalam menghadapi permasalahan. Ini adalah pelajaran berharga, terutama karena tempramen keluarga kami yang keras,” ujarnya. Pesan ini menjadi pedoman bagi Bayu dalam menjalani hidup dan menghadapi berbagai tantangan.
Bayu juga berencana untuk mendokumentasikan silsilah dan sejarah keluarganya secara lebih detail. “Ini adalah warisan yang harus dijaga dan diteruskan kepada generasi berikutnya. Saya ingin anak cucu kami tahu dari mana mereka berasal dan apa nilai-nilai yang harus mereka junjung tinggi,” tambahnya.
Bayu Iskandar Dinata, atau Abdullah Bin Suroto Bawazir, adalah sosok yang membawa warisan sejarah dan kebanggaan keluarga. Sebagai cicit dari Sakera Sagiman, ia tidak hanya mewarisi postur tubuh tinggi besar, tetapi juga semangat untuk menjaga nama baik dan sejarah keluarganya. Dengan silsilah lengkap dan bukti-bukti otentik, Bayu siap menjelaskan dan membuktikan kebenaran sejarah keluarganya kepada siapapun yang ingin tahu.
Bayu mengajarkan pentingnya menghormati sejarah, menjaga nama baik keluarga, dan memperjuangkan kebenaran. Ia adalah bukti nyata bahwa warisan dan nilai-nilai luhur dapat menjadi pedoman hidup yang berharga bagi generasi penerus.