Trump Naikkan Tarif Terhadap Produk Tiongkok Hingga 104%? Kebuntuan Beijing Menarik Perhatian Publik

EtIndonesia. Pada 7 April 2025, Presiden Amerika Serikat, Donald Trump mengumumkan dari Ruang Oval di Gedung Putih, Washington DC., bahwa Amerika Serikat akan kembali menaikkan tarif impor terhadap produk-produk dari Tiongkok sebesar 50%. Jika digabungkan dengan tarif sebelumnya, total tarif AS terhadap produk Tiongkok akan mencapai 104%. Publik kini menyoroti bagaimana pemerintah Komunis Tiongkok akan merespons dan bagaimana akhir dari ketegangan ini akan berlangsung.

Trump, yang saat ini menjalani masa jabatan kedua kalinya, makin menunjukkan sikap tegas terhadap Partai Komunis Tiongkok (PKT) melalui kebijakan perangnya di bidang perdagangan. Setelah pada Februari dan Maret lalu Pemerintah AS menaikkan tarif sebesar 20% terhadap barang-barang dari Tiongkok, pada 2 April, pemerintah mengumumkan strategi “tarif timbal balik” dengan kenaikan tambahan sebesar 34% yang dijadwalkan mulai berlaku pada 9 April.

Saat banyak negara menyatakan kesiapan untuk berunding dengan AS demi menurunkan tarif bersama, pada 4 April Pemerintah Tiongkok malah mengumumkan tindakan balasan, yaitu menerapkan tarif sebesar 34% terhadap produk impor dari Amerika Serikat yang dijadwalkan berlaku mulai 10 April.

Merespons hal ini, Presiden Trump mengecam keras tindakan PKT dan menyatakan akan mengambil langkah hukuman yang lebih berat lagi.

Pada 7 April (waktu AS bagian timur), Trump mengumumkan lewat media sosial miliknya, Truth Social, bahwa “Jika pihak Tiongkok tidak mencabut tarif tambahan 34% yang dikenakan di luar tindakan penyalahgunaan perdagangan jangka panjang mereka sebelum 8 April, maka AS akan memberlakukan tambahan tarif sebesar 50% mulai 9 April.”

Trump juga memperingatkan bahwa jika Tiongkok tidak mundur, “permintaan pembicaraan dari pihak Tiongkok akan dibatalkan sepenuhnya!”

Jika tarif baru ini diberlakukan, maka total tarif AS terhadap Tiongkok akan mencapai 104%.

Meningkatnya ketegasan Trump terhadap Tiongkok menimbulkan pertanyaan besar: bagaimana Beijing akan merespons, dan seperti apa kebuntuan yang akan dihadapi ke depan?

Pada 8 April, jurnalis senior AS, Fang Wei, menulis di platform X : “Apa yang akan dilakukan PKT sekarang? Mencabut tarif? Lalu bagaimana dengan muka mereka? Di mata PKT, muka sama dengan legitimasi kekuasaan, dan itu bisa mengguncang stabilitas rezim. Kalau tidak dicabut, perdagangan luar negeri Tiongkok dengan AS bisa lumpuh, dan ekonominya bisa langsung masuk ke pertumbuhan negatif dalam semalam — ini juga mengancam rezim. Inilah yang disebut: ‘Maju kena, mundur kena’.”

Hari itu juga, Fang Wei membuat polling di platform X: “Apakah PKT akan mencabut tarif 34% terhadap AS pada 8 April? Hingga pukul 11.00 waktu Beijing, 82,9% responden memilih ‘Tidak akan, mereka akan ngotot habis-habisan.’”

Prof. Xie Tian dari Aiken School of Business, University of South Carolina, mengatakan kepada the Epoch Times bahwa perang dagang kali ini memang sengaja ditujukan terhadap PKT dengan tujuan menghapus surplus perdagangan besar Tiongkok terhadap AS. Namun, PKT tidak bisa menerima tuntutan AS karena tidak ingin kehilangan surplus tersebut.

Xie menjelaskan bahwa PKT sudah tahu mereka tidak bisa menghindar, semua celah penghindaran pajak sudah ditutup. Mereka juga sadar bahwa tujuan akhir AS adalah menghapus surplus dan menghancurkan kekuatan ekonomi PKT. Tapi karena tidak ada kartu yang bisa dimainkan, mereka hanya bisa pasrah namun tetap merasa tidak terima — hingga akhirnya memilih strategi “terjun bebas”.

Sementara itu, analis kebijakan industri teknologi Tiongkok dan mantan kolumnis Wall Street Journal edisi Mandarin, Dong Jielin, menyampaikan di platform X bahwa “Perang dagang global yang dipicu AS kini berubah menjadi perang dagang antara AS dan Tiongkok.” Mengenai dampaknya bagi pihak Tiongkok, Dong merinci beberapa poin berikut:

  1. Surplus perdagangan triliunan dolar milik Tiongkok, baik secara langsung maupun tidak langsung, mayoritas berasal dari AS — dan semua itu kemungkinan besar akan hilang.
  2. Kapasitas industri Tiongkok harus dikurangi setengah; gelembung kapasitas yang terlalu besar bisa pecah, dan dampaknya akan sama parahnya dengan pecahnya gelembung properti.
  3. Jumlah pengangguran akan meningkat drastis, sehingga stabilitas sosial akan terancam.
  4. Sistem internasional yang dibentuk Tiongkok dalam beberapa tahun terakhir seperti “Belt and Road”, “BRICS”, dan “SCO”, kebanyakan hanya diisi oleh negara-negara yang ingin mengambil untung dari Tiongkok. Ketika keuntungan itu tak lagi ada, mereka akan bubar dengan sendirinya.(jhn/yn)

FOKUS DUNIA

NEWS