Rezim Tiongkok Dituding Manipulasi Kurs: Yuan Jatuh ke Titik Terendah dalam 17 Tahun, Investor Global Berbondong-bondong Cari Aset Aman

EtIndonesia. Seiring memanasnya perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok, para investor global mulai menarik dana dari pasar saham dan valuta yang dianggap berisiko tinggi. Sebagai gantinya, mereka beralih ke instrumen safe haven seperti emas, yen Jepang, dan obligasi pemerintah berkualitas tinggi. Pada Rabu (9 April), nilai tukar yuan offshore jatuh ke level terendah dalam 17 tahun terakhir, menandai tekanan serius terhadap mata uang Tiongkok di tengah tren “decoupling” permanen antara dua kekuatan ekonomi dunia ini. Lantas, apa konsekuensinya bagi Tiongkok? Simak pandangan para ahli.

Seiring meningkatnya kekhawatiran global, harga emas dan yen Jepang melonjak tajam. Harga emas berjangka bahkan mencetak rekor tertinggi sepanjang masa, mencapai 3.200 dolar  per ons pada minggu lalu.

Di pasar obligasi, imbal hasil obligasi pemerintah Jepang bertenor 10 tahun anjlok ke 1,25% pada Rabu, mencatat penurunan mingguan terbesar sejak 1999—pertanda kuat bahwa arus dana besar mengalir ke pasar obligasi. Pelaku pasar kini memperkirakan Bank Sentral Jepang akan menunda rencana kenaikan suku bunga sambil memantau risiko eksternal.

Namun tekanan tidak hanya terasa di pasar surat utang. Indeks Nikkei Jepang anjlok lebih dari 5% pada Rabu, mencatat penurunan harian terbesar dalam beberapa tahun terakhir, mencerminkan tingkat ketidakpastian tinggi terhadap prospek ekonomi global.

Dwyfor Evans, Kepala Strategi Makro Asia-Pasifik di State Street Global Markets, menyatakan bahwa selera risiko investor institusional terus memburuk, dan terlihat jelas bahwa dana mulai berpindah dari pasar saham menuju obligasi dan instrumen tunai.

Pada hari yang sama, nilai tukar yuan onshore ditutup di 7,35 per dolar AS, level terendah sejak 2007. Nilai tukar yuan offshore bahkan jatuh menembus angka 7,42.

Pelemahan yuan ini memang menguntungkan ekspor Tiongkok, karena dapat mengimbangi dampak tarif impor yang dikenakan oleh AS. Presiden Trump pada Selasa (8 April) mengatakan secara terbuka: “Mereka (Beijing) hari ini sedang memanipulasi mata uang mereka untuk mengimbangi tarif yang kami kenakan.”

Namun para ahli juga mencatat bahwa meski Bank Sentral Tiongkok terlibat dalam pelemahan yuan, mereka belum membiarkan nilai tukar anjlok sepenuhnya. Alasannya: devaluasi yang terlalu drastis dapat memicu pelarian modal (capital outflow) serta krisis kepercayaan internal.

Prof. Xie Tian, ahli ekonomi dari School of Business Universitas Carolina Selatan menjelaskan:
“Kemungkinan besar, Partai Komunis Tiongkok sengaja melemahkan yuan untuk mengimbangi dampak tarif AS dan mendorong ekspor. Tapi seberapa jauh yuan bisa didevaluasi? Ada harga yang harus dibayar. Karena Tiongkok juga masih sangat bergantung pada impor—termasuk komputer, chip, alat medis, hingga energi dari AS. Semua impor itu akan menjadi jauh lebih mahal. Jadi meski devaluasi bisa meredam tarif sebagian, dampaknya terhadap impor akan sangat memukul.”

Selain itu, pada Rabu, Tiongkok mengumumkan akan meningkatkan tarif tambahan sebesar 50% terhadap seluruh produk impor asal Amerika Serikat, sehingga totalnya kini mencapai 84% bila digabungkan dengan kebijakan sebelumnya (34%).

Scott Bessent, Menteri Keuangan AS, menanggapi kebijakan ini sebagai “keputusan yang disayangkan dan strategi yang pasti akan gagal bagi Beijing.”

Kini, dengan terputusnya hubungan dagang besar-besaran antara AS dan Tiongkok, muncul pertanyaan besar: apakah Beijing bisa bertahan hanya dengan mengandalkan pasar alternatif lain?

Prof. Xie Tian menanggapi: “Partai Komunis Tiongkok tentu sedang mencari pasar pengganti, tapi tidak ada satu pun pasar yang sebesar Amerika Serikat. Selama ini mereka sangat mengandalkan pasar ekspor untuk menyerap kelebihan produksi dan kapasitas industri. Tanpa AS, hampir tak ada tempat lain yang bisa menyerapnya. Ujungnya, satu per satu pabrik akan tutup. Gelombang kebangkrutan perusahaan akan meledak, dan angka pengangguran akan melonjak tajam. Ini akan menjadi bencana ekonomi bagi Tiongkok, yang ekonominya sendiri sudah mulai mengalami kemerosotan.”

Pertarungan ekonomi antara dua raksasa dunia kini mencapai titik kritis, dan tampaknya babak klimaks dari cerita panjang ini sudah mulai terbuka di hadapan dunia. (jhn/yn)

FOKUS DUNIA

NEWS