EtIndonesia. Perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok kembali mengalami eskalasi. Rezim Tiongkok terus melakukan apa yang disebut sebagai “aksi balasan,” dengan menaikkan tarif terhadap produk AS hingga 125% dan bahkan menyatakan tidak gentar. Menanggapi hal ini, Gedung Putih pada hari Jumat (11/4) memberikan pernyataan tegas.
Gedung Putih menegaskan bahwa Presiden telah menyampaikan dengan jelas: jika Amerika diserang, maka balasan yang lebih keras akan diberikan. Presiden Trump berharap rakyat Amerika tetap percaya pada agenda dan kebijakan ekonominya.
Para analis memperkirakan bahwa perang tarif ini bisa berdampak pada meningkatnya angka pengangguran di Tiongkok hingga puluhan juta orang.
Berikut laporan dari koresponden kami di Gedung Putih, Tao Ming, serta reporter di New York, Chen Yue dan Chang Chun.
Koresponden Gedung Putih Tao Ming melaporkan:
Setelah rezim Tiongkok menaikkan tarif balasan terhadap produk Amerika menjadi 125%, Gedung Putih langsung merespons keras pada hari Jumat. Mereka menyatakan bahwa aksi balasan semacam ini tidak akan menguntungkan Tiongkok.
Jubir Gedung Putih menegaskan kembali bahwa Presiden Trump sudah sangat jelas: jika Amerika diserang, maka AS akan membalas dengan kekuatan ganda. Juru bicara juga menyampaikan bahwa saat ini tarif AS terhadap produk Tiongkok tetap berada di angka terbaru, yaitu 145%. Meski begitu, Presiden Trump masih optimis bahwa kesepakatan dengan Tiongkok bisa dicapai.
Juru bicara Gedung Putih, Levitt, menyampaikan: “Tarif terhadap Tiongkok saat ini tetap berada di tingkat 145% seperti yang diumumkan kemarin. Presiden dengan tegas menyatakan bahwa saat Amerika diserang, dia akan memberikan respons yang lebih keras. Presiden berharap dapat mencapai kesepakatan yang berpihak pada para pekerja Amerika dan perusahaan-perusahaan yang selama ini dieksploitasi.”
Levitt juga menekankan bahwa Amerika Serikat adalah negara dengan ekonomi terkuat dan terbaik di dunia. Fakta bahwa lebih dari 75 negara menyerukan kepada Pemerintah AS untuk mencapai kesepakatan perdagangan yang baik membuktikan posisi tersebut.
Peningkatan tarif oleh AS terhadap produk Tiongkok dimaksudkan untuk membangun perdagangan yang adil dan menghapus defisit perdagangan antara kedua negara. Namun, di tengah situasi internal yang penuh tekanan—baik dari sisi ekonomi yang melemah maupun konflik internal elite partai—rezim Beijing tetap nekat melanjutkan perang tarif. Bahkan, mereka dengan lantang menyatakan siap “bertarung sampai akhir.” Tindakan ekstrem ini mengundang perhatian tajam dari dunia internasional.
Peneliti Institut Riset Pertahanan dan Keamanan Nasional Taiwan, Shen Mingshi, mengatakan: “Alasan Tiongkok berani melakukan balasan ini bukan karena ekonominya kuat, tapi karena mereka merasa terpaksa. Terutama karena Xi Jinping sedang menghadapi tantangan kekuasaan dari berbagai faksi dalam sistem otoriter yang dia pimpin.”
Shen menambahkan: “Xi Jinping dan para pejabatnya sempat melontarkan pernyataan-pernyataan keras. Ada pula yang mengatakan, ‘makan kulit pohon pun kami sanggup bertahan tiga tahun.’ Ini adalah sikap yang sepenuhnya mengabaikan nasib rakyat, semata-mata untuk mempertontonkan sikap keras terhadap Amerika.”
Eskalasi perang tarif ini diperkirakan akan memberikan dampak serius terhadap perekonomian Tiongkok. Banyak pihak menilai bahwa jika tarif tinggi ini bertahan dalam jangka panjang, bukan hanya ekonomi AS dan Tiongkok yang akan “terlepas” alias terpisah total (decoupling), tetapi Tiongkok juga berpotensi menghadapi gelombang besar kebangkrutan perusahaan, pengangguran massal, bahkan kerusuhan sosial.
Wakil Profesor Ilmu Politik Universitas Nasional Taiwan, Chen Shimin, menjelaskan: “Di Tiongkok daratan, ada sekitar 10–20 juta orang yang bekerja di sektor yang terkait langsung dengan ekspor ke AS. Jika situasi ini terus berlanjut, maka dalam waktu satu atau dua bulan saja, jutaan orang itu bisa kehilangan pekerjaan. Ini tentu akan membawa guncangan sosial yang sangat besar di Tiongkok.”
Dalam beberapa tahun terakhir, rezim Tiongkok semakin bergantung pada sektor ekspor demi menambal krisis yang ditimbulkan sektor properti dan lainnya. Saat ini, terdapat sekitar 20 kota di Tiongkok yang sangat bergantung pada perdagangan luar negeri, termasuk Shenzhen, Shanghai, Ningbo, Dongguan, Chongzuo, dan Zhuhai. Total nilai ekspor dari kota-kota ini menyumbang sebagian besar dari PDB lokal. Jika hubungan dagang antara AS dan Tiongkok benar-benar putus, maka perekonomian Tiongkok akan sangat terpukul.
Para analis memperkirakan bahwa rezim Tiongkok tidak akan melunak kecuali jika kekuasaan mereka benar-benar tumbang.
Shen Mingshi menyatakan: “Jika pengangguran melonjak drastis dan tatanan sosial menjadi kacau, maka tidak menutup kemungkinan terjadi perubahan besar atau bahkan kudeta. Kecuali Xi Jinping bersedia mundur pada Sidang Pleno Keempat pada bulan Agustus. Jika tidak, dia pasti akan terus menempuh jalan nasionalisme ekstrem dan kebijakan garis keras.”
Tao Ming menutup laporannya dengan menyebutkan: “Pada konferensi pers hari Kamis (10/4), juru bicara Gedung Putih juga menegaskan bahwa AS tidak khawatir sekutu-sekutunya akan berpihak ke Tiongkok akibat tarif ini. Justru sebaliknya—karena negara-negara tersebut lebih membutuhkan Amerika. Telepon dari para pemimpin dunia yang ingin melakukan negosiasi berdatangan tanpa henti.”(jhn/yn)