EtIndonesia. Perang tarif antara Amerika Serikat dan Tiongkok kembali memanas. Pada hari Jumat (11/4), Pemerintah Tiongkok mengumumkan kenaikan tarif terhadap barang-barang impor dari AS menjadi 125%, sebagai balasan atas tarif AS yang telah mencapai 145%. Namun pertanyaannya: mengapa rezim Tiongkok memilih untuk terus menghadapi AS secara frontal? Seorang sumber orang dalam mengungkap latar belakang yang mengkhawatirkan dari keputusan ini.
AS Naikkan Tarif Jadi 145%, Tiongkok Membalas dengan Tarif 125%
Setelah dua putaran balasan tarif secara bergantian, serta tambahan 20% tarif yang dikenakan oleh AS karena masalah peredaran fentanyl, sebagian besar produk ekspor Tiongkok ke AS kini dikenai tarif total sebesar 145%.
Sebagai balasan, pada 11 April, pihak berwenang Tiongkok mengumumkan bahwa mulai 12 April, mereka akan menaikkan tarif terhadap seluruh produk impor dari Amerika dari sebelumnya 84% menjadi 125%.
Pakar Ekonomi: Tiongkok dalam Posisi Sulit — Menyerah atau Bertahan, Sama-sama Hancur
Xie Tian, profesor di School of Business University of South Carolina Aiken, menyatakan bahwa Rezim Tiongkok sangat menyadari bahwa perang tarif kali ini benar-benar ditujukan langsung kepada mereka.
Tian mengatakan: “AS memberikan pengecualian 90 hari kepada hampir seluruh negara untuk bernegosiasi, tetapi hanya Tiongkok yang tidak diberi kelonggaran. Dan Beijing tahu, jika mereka menerima syarat dari AS, maka itu bisa berarti kehancuran ekonomi. Tapi kalau menolak pun tetap akan hancur. Jadi mereka memilih untuk melawan secara langsung.”
Setelah Presiden Trump meluncurkan kebijakan tarif balasan ini, lebih dari 70 negara sudah menyatakan kesediaan untuk bernegosiasi.
Pada hari Kamis (10/4), para menteri ekonomi negara-negara ASEAN menyepakati bahwa mereka tidak akan melakukan balasan terhadap tarif AS. Sementara itu, Uni Eropa menunda rencana penerapan tarif balasan selama 90 hari.
Xie Tian memprediksi: “AS kemungkinan besar akan segera menandatangani kesepakatan dengan Jepang, Vietnam, negara-negara Asia lainnya, Uni Eropa, Kanada, dan Meksiko. Semua itu akan mengarah pada terbentuknya tatanan perdagangan global baru yang bertarif rendah—dan Tiongkok akan dikeluarkan dari sistem ini. Pada akhirnya, Tiongkok akan diisolasi secara ekonomi dan perdagangan dari dunia.”
Sumber Dalam: Dua Ketakutan Besar Rezim Beijing
Yuan Hongbing, seorang ahli hukum yang kini tinggal di Australia, mengutip sumber dari dalam rezim Tiongkok, menyatakan bahwa balasan agresif terhadap AS didorong oleh dua ketakutan besar:
- Masalah Fentanyl
Yuan mengungkapkan bahwa sejak masa jabatan pertama Trump, AS sudah menuntut Tiongkok untuk menghentikan ekspor fentanyl ke Amerika. Tapi bukannya membatasi, Tiongkok justru meluncurkan “Proyek Nol”, yang bertujuan membuat masyarakat AS semakin tergantung pada narkotika mematikan tersebut.
Yuan mengatakan: “Kini, Xi Jinping yakin bahwa Trump melancarkan perang tarif karena sudah mengetahui isi dan maksud dari Proyek Nol ini. Jika AS sampai membuka kedok proyek ini secara terbuka, maka Xi bisa dicap sebagai bandar narkoba terbesar di dunia,”
- Penelusuran Asal-usul COVID-19
Yuan juga menambahkan bahwa Beijing sangat khawatir jika AS dan dunia internasional mengangkat kembali isu tanggung jawab Tiongkok atas pandemi virus corona.
“Xi Jinping takut bahwa jika tekanan berlanjut pasca perang tarif, maka isu penularan virus dari Wuhan bisa dimasukkan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan, dan ia bisa dituduh bertanggung jawab secara pribadi,” Yuan mengatakan.
Kepanikan di Dalam Rezim: “Seperti Diambang Kehancuran”
Menurut Yuan Hongbing, para pejabat dalam struktur pemerintahan Tiongkok saat ini berada dalam keadaan panik dan penuh keputusasaan.
“Di dalam tubuh rezim Komunis, suasananya sangat mencekam. Para pejabat benar-benar putus asa. Jika perang dagang ini berkembang menjadi perang panas atau konflik militer terbuka, maka negara-negara Barat seperti AS, Eropa, dan Jepang pasti akan segera membekukan dan menyita semua aset milik pejabat-pejabat Tiongkok di luar negeri—seperti yang dilakukan terhadap Rusia setelah invasi ke Ukraina,” katanya.
Kesimpulan: Tiongkok Terjepit di Sudut Gelap
Dalam situasi saat ini, rezim Beijing berada di tengah krisis yang sangat pelik. Ketakutan terhadap pengungkapan peran mereka dalam perdagangan narkoba dan pandemi global, serta tekanan ekonomi dari perang tarif yang meluas, membuat mereka tidak memiliki ruang untuk mundur.
Langkah balasan dengan menaikkan tarif hingga 125% tampak seperti upaya mempertahankan wajah, tetapi banyak analis memperkirakan hal itu justru akan memperparah isolasi internasional terhadap Tiongkok.(jhn/yn)