Seorang penyanyi asal Taiwan dengan terang-terangan mengungkapkan bahwa dirinya menjalani transplantasi organ di Tiongkok, memicu kekhawatiran publik Taiwan terhadap praktik pengambilan organ secara paksa oleh rezim Tiongkok. Tak lama kemudian, sebuah laporan medis yang diterbitkan oleh dokter dari Rumah Sakit Renji, afiliasi Universitas Jiao Tong Shanghai, kembali mencuat. Laporan itu mengungkap dua kasus transplantasi ginjal menggunakan organ dari bayi baru lahir, yang mengejutkan masyarakat luas.
EtIndonesia. Penyanyi Taiwan Tank (Lü Jianzhong) baru-baru ini menulis unggahan di platform Weibo, mengumumkan bahwa ia telah berhasil menjalani transplantasi gabungan jantung dan hati, yang diklaim sebagai operasi pertama di Asia. Pernyataan tersebut sontak memunculkan kembali sorotan terhadap isu pengambilan organ secara hidup-hidup oleh otoritas Tiongkok, menjadikannya sorotan utama dalam perdebatan publik.
Setelah itu, media menyoroti kembali artikel ilmiah yang diterbitkan pada 11 Januari 2023 di American Journal of Transplantation, di mana dokter dari Rumah Sakit Renji mengaku telah melakukan dua prosedur transplantasi ginjal yang menggunakan organ bayi baru lahir—satu diambil saat bayi baru berusia satu hari, dan satu lagi di usia tiga hari—untuk ditransplantasikan ke pasien gagal ginjal stadium akhir.
Dokter sekaligus influencer Taiwan “White Coat Traveler” Yang Weijie menanggapi peristiwa ini di Facebook. Ia mengaku pernah merawat banyak bayi prematur secara langsung. Melihat praktik seperti ini—mengambil ginjal dari bayi baru lahir—membuatnya sangat terkejut dan merasa ngeri. Ia menekankan bahwa walaupun laporan medis tersebut mengklaim pengambilan organ dilakukan setelah kematian dan dengan izin orang tua, hal tersebut tidak meyakinkan para dokter yang pernah merawat bayi prematur.
Yang menjelaskan, bila seorang bayi benar-benar telah dirawat hingga tahap maksimal sebelum akhirnya meninggal, maka ginjalnya hampir tidak mungkin masih layak untuk ditransplantasikan. Organ bayi yang meninggal setelah upaya penyelamatan maksimal biasanya sudah mengalami kerusakan yang tidak memungkinkan digunakan dalam transplantasi.
Mantan dokter spesialis kebidanan dan kandungan sekaligus Wakil Menteri Kesehatan Taiwan, Lin Ching-yi, juga menyampaikan pernyataan keras melalui Facebook pada 12 April. Ia mengatakan bahwa selama lebih dari satu dekade pengalamannya merawat ribuan bayi baru lahir, tidak pernah sekalipun terlintas dalam benaknya—atau siapa pun di dunia medis—bahwa janin atau embrio bisa dianggap sebagai donor organ.
Ia mengecam keras laporan tersebut, mengatakan bahwa dokter di Tiongkok bagaimana bisa sampai berani melakukan hal seperti itu, bahkan menuliskannya ke dalam jurnal ilmiah. “Mengetiknya saja membuat saya ingin muntah,” katanya.
Profesor Pengobatan Tradisional Tiongkok dan dokter terdaftar di perguruan tinggi negeri Kanada, Jonathan Liu, menyoroti bahwa setelah penindasan terhadap kelompok kepercayaan pada tahun 1999, pemerintah Tiongkok mulai mengembangkan transplantasi organ secara agresif dengan dukungan penuh negara. Ia menyebut bahwa perkembangan teknologi ini berlangsung tanpa dasar etika dan moral yang layak.
Liu juga menjelaskan bahwa dokter-dokter di Tiongkok menemukan bahwa meskipun ginjal bayi belum matang, namun tingkat penolakan imunnya lebih rendah, organ tersebut bisa terus tumbuh setelah ditransplantasikan, dan tingkat komplikasinya lebih kecil serta peluang bertahan hidup lebih tinggi. Inilah salah satu alasan mengapa organ bayi menjadi begitu diminati, di samping keuntungan ekonomi yang besar. Namun, Liu menekankan bahwa masyarakat umum sangat sulit mengetahui apakah donor bayi-bayi ini benar-benar sah.
“Hak atas informasi di Tiongkok sangat buruk, bahkan bagi orang tua bayi sendiri. Saya menemukan laporan sistematis tahun 2018 yang mencatat lebih dari 20 kasus transplantasi ginjal dari bayi. Tahun 2023, jurnal kedokteran dari Chongqing melaporkan lima kasus transplantasi ginjal dari bayi ke orang dewasa. Dalam situasi informasi yang tertutup dan tidak transparan di Tiongkok, saya meragukan apakah persetujuan orang tua diperoleh secara utuh dan sadar,” ujar Liu.
Media pemerintah Tiongkok sendiri sering membanggakan “kemajuan” dalam transplantasi organ bayi, dengan laporan seperti seorang wanita Zhejiang yang menunggu 470 hari untuk mendapatkan sepasang ginjal bayi, atau bayi laki-laki berusia empat bulan yang meninggal lalu ginjalnya disumbangkan untuk menyelamatkan orang dewasa.
Menanggapi jurnal dari dokter Renji, seorang wakil profesor neonatologi dari Universitas Louisiana, AS, menulis balasan di jurnal yang sama, menyatakan bahwa salah satu bayi prematur yang menjadi donor masih menunjukkan tekanan darah rendah, tetapi tidak dalam kondisi sekarat. Ia juga menunjukkan bahwa refleks pupil yang lemah adalah hal yang normal pada janin usia kehamilan 30 minggu, sehingga ia mempertanyakan keputusan untuk mencabut alat bantu hidup dari bayi tersebut.
Pengamat isu sosial Tang Jingyuan menegaskan bahwa transplantasi organ pada bayi baru lahir harus melalui proses persetujuan yang sangat ketat. Pertama, harus ada diagnosis resmi yang menyatakan kematian berdasarkan standar hukum nasional. Kedua, persetujuan penuh dari orang tua atau wali hukumnya wajib diperoleh, dan itu harus persetujuan yang sepenuhnya sadar dan transparan. Selain itu, tindakan tersebut harus melewati penilaian ketat dari Komite Etik Medis.
“Jika semua prosedur itu benar-benar diikuti, maka sangat kecil kemungkinan organ bayi masih bisa digunakan untuk transplantasi karena kondisinya pasti sudah rusak,” kata Tang.
Ia juga menyoroti bahwa budaya medis di Tiongkok daratan masih sangat kurang menghargai kehidupan bayi, terbentuk dari kebijakan masa lalu seperti aborsi paksa dalam program keluarga berencana. Tang menyimpulkan bahwa ketidaksadaran terhadap nilai kehidupan bayi menjadikan mereka sebagai komoditas dalam rantai industri transplantasi organ. (Jhon)
Sumber : NTDTV.com