Sorotan Hari Ini:
- Militer Tiongkok diam-diam menyusup ke wilayah Pasifik, mengundang kewaspadaan global.
- AS membatalkan 529 visa dari 88 universitas, mahasiswa asing diminta waspada.
- Perang tarif guncang dunia: Trump buka peluang penangguhan tarif mobil.
- Bursa AS menguat setelah Trump longgarkan tarif atas produk elektronik.
[Terungkap! Militer Tiongkok Diam-Diam Menyusup ke Pasifik, Dunia Waspada]
Majalah Newsweek mengungkap secara eksklusif ekspansi militer Tiongkok di wilayah Pasifik yang berlangsung secara diam-diam. Melalui pembangunan pelabuhan, bandara, dan fasilitas komunikasi, Tiongkok diduga tengah membentuk jaringan strategis yang bisa mengancam AS dan sekutunya.
Sebuah penelitian terbaru mengungkap bahwa dalam 20 tahun terakhir, melalui proyek Belt and Road Initiative, Tiongkok telah membangun lebih dari 50 proyek infrastruktur “berkegunaan ganda” di negara-negara kepulauan Pasifik. Meskipun diklaim sebagai fasilitas sipil, namun sejatinya memiliki potensi penggunaan militer.
Proyek-proyek ini terbentang dari Papua Nugini hingga Samoa, mencakup wilayah seluas 3.000 mil laut, membentuk jaringan strategis yang oleh para ahli disebut sebagai “rantai mutiara”.
Laporan hasil kolaborasi antara Institut Riset Pertahanan dan Keamanan Taiwan, lembaga dari Selandia Baru dan Ceko, menyebut proyek ini mayoritas dibangun oleh perusahaan pelat merah dengan latar belakang militer seperti China Communications Construction Company dan Huawei.
Sebanyak 12 bandara disebut telah memiliki kapasitas untuk mendaratkan pesawat angkut militer terbesar milik Tiongkok, Y-20. Ini menunjukkan bahwa militer Tiongkok mampu melakukan pengerahan pasukan besar dalam waktu singkat.
Contohnya di Vanuatu, lokasi penting bagi AS pada masa Perang Dunia II, kini menjadi salah satu titik fasilitas rahasia Tiongkok. Kelompok konstruksi Shanghai memperpanjang dermaga di Pelabuhan Luganville hingga 1.200 kaki, memungkinkan kapal kargo raksasa dan kapal perang Tiongkok bersandar. Proyek ini didanai pinjaman sebesar 97 juta dolar AS dari Bank Ekspor-Impor milik pemerintah Tiongkok.
Pada Oktober tahun lalu, dua kapal perusak rudal Tiongkok tipe 055 dan 052D pertama kali dikerahkan ke ibu kota Vanuatu, Port Vila.
Newsweek juga mencatat bahwa proyek serupa diperluas hingga ke Amerika Selatan, termasuk pelabuhan besar yang sedang dibangun di Peru oleh Tiongkok.
Strategi menyebar lintas Pasifik ini dinilai dapat mengganggu operasi militer AS dan sekutu seperti Jepang, Korea Selatan, Filipina, Australia, dan Selandia Baru.
Para pakar memperingatkan bahwa jaringan infrastruktur ini bisa mempercepat kemungkinan invasi Tiongkok ke Taiwan, sekaligus melemahkan aliansi regional yang dipimpin AS. Bandara Momote di Papua Nugini dan Pelabuhan Luganville di Vanuatu disebut sebagai titik kritis yang dekat dengan pangkalan militer sekutu dan berpotensi untuk memantau atau mengganggu aktivitas militer AS.
Selain itu, Tiongkok juga ditengarai menyisipkan milisi maritim dalam proyek perikanan, yang dapat digunakan untuk operasi “zona abu-abu”, memperburuk ketegangan di kawasan.
[Dunia Guncang, Trump Isyaratkan Penangguhan Tarif Mobil]
Senin (14 April), Presiden AS Donald Trump menyatakan sedang mempertimbangkan untuk menunda pemberlakuan tarif atas industri otomotif, kebijakan yang baru saja diluncurkannya bulan lalu.
Berbicara di Kantor Oval, Trump menyebut bahwa sejumlah produsen mobil sedang bersiap memindahkan produksi ke AS, namun mereka masih “membutuhkan waktu”.
Kekhawatiran pasar keuangan dan dunia usaha meningkat tajam belakangan ini, mendorong Gedung Putih mengirim sinyal “pelonggaran kebijakan”.
Minggu lalu, AS menurunkan tarif sementara untuk negara selain Tiongkok menjadi 10% selama 90 hari, sebagai upaya memberi ruang bagi negosiasi. Sementara itu, tarif produk dari Tiongkok tetap di angka 145%, kecuali sebagian produk elektronik yang diturunkan ke 20%.
Saat ditanya mengenai inkonsistensi kebijakan, Trump menjawab, “Saya bukan berubah pikiran, saya hanya fleksibel.”
Meski demikian, pernyataan itu direspons beragam oleh pasar. Pada Senin siang, indeks S&P 500 mengalami kenaikan tipis. Obligasi 10 tahun AS stabil di kisaran 4,4%, menandakan pasar tetap berhati-hati.
Trump juga mengungkap bahwa ia sempat berbicara dengan CEO Apple, Tim Cook, mengenai masalah tarif. Ia mengklaim telah “membantu” Cook, mengingat Apple sangat bergantung pada pabrik di Tiongkok.
Pada hari yang sama, Presiden Tiongkok Xi Jinping mengadakan pertemuan dengan Sekjen Partai Komunis Vietnam, To Lam, dan menyatakan bahwa “perang dagang tidak menghasilkan pemenang”.
Trump menanggapi dengan komentar tajam: “Mereka sedang mencari cara untuk mengakali Amerika.” Ia mengisyaratkan adanya kolaborasi ekonomi antara Vietnam dan Tiongkok yang merugikan kepentingan AS.
[Trump Longgarkan Tarif Produk Elektronik, Bursa Global Meroket]
Pada Senin (14 April), setelah Trump mengumumkan penangguhan sebagian tarif atas produk elektronik seperti smartphone dan komputer, pasar global langsung bereaksi positif.
Indeks S&P 500 naik 1,13%, setelah sempat menyentuh 1,8% di sesi pagi. Dow Jones naik 422 poin atau 1,05%, sedangkan Nasdaq naik 1,05%.
Saham Apple terdongkrak 3,92%, Dell Technologies naik 4,74%. Tarif yang seharusnya menggandakan harga impor produk Tiongkok dibatalkan, memberi angin segar ke sektor teknologi.
Bursa di Eropa dan Asia juga ikut menguat: indeks CAC Prancis naik 2,37%, DAX Jerman 2,85%, Nikkei Jepang 1,18%, dan KOSPI Korea Selatan naik 0,95%.
Namun, para pejabat Gedung Putih menegaskan bahwa pembebasan tarif ini bersifat sementara.
Di sisi lain, Goldman Sachs naik 2,8% berkat laporan laba yang melampaui ekspektasi, menyusul tren positif dari JPMorgan dan Morgan Stanley.
Pasar obligasi juga mulai stabil. Imbal hasil obligasi 10 tahun turun menjadi 4,37%, dari sebelumnya 4,48%.
Sementara itu, survei Fed New York menunjukkan bahwa meski ekspektasi inflasi jangka pendek meningkat, tetapi ekspektasi inflasi untuk tiga hingga lima tahun mendatang tetap atau bahkan menurun—menandakan kepercayaan konsumen tetap terjaga.
[AS Batalkan 529 Visa dari 88 Universitas, Mahasiswa Tiongkok Ajukan Gugatan]
Media AS melaporkan bahwa hingga kini, pemerintah AS telah membatalkan 529 visa milik mahasiswa, dosen, dan peneliti dari 88 universitas di seluruh negeri.
Empat mahasiswa asal Tiongkok yang visanya dibatalkan diketahui telah menggugat pemerintah AS di Pengadilan Federal California pada 11 April. Mereka berasal dari Universitas California, Berkeley dan Carnegie Mellon University.
Menurut pengacara mereka, Zhu Keliang, visa mereka dicabut tanpa pemberitahuan, tanpa sidang, dan tanpa bukti yang jelas, hanya berdasarkan alasan samar seperti “ancaman terhadap keamanan nasional”, bahkan ada yang dituding berdasarkan tilang lalu lintas atau konflik keluarga.
Beberapa dari mereka pernah ditahan, namun tidak ada vonis bersalah. Bahkan ada yang tak memiliki catatan negatif sama sekali.
Zhu menyatakan akan mengajukan permohonan penangguhan sementara ke pengadilan untuk memulihkan status visa kliennya.
Saat ini terdapat lebih dari 1,1 juta mahasiswa asing di AS, termasuk di kampus-kampus top dunia.
Menanggapi hal ini, Menteri Luar Negeri AS, Marco Rubio, mengatakan, “Visa adalah hak istimewa, bukan hak asasi. Visa hanya diberikan kepada mereka yang membawa dampak positif bagi AS, bukan yang berusaha menghancurkannya dari dalam.”
[Sidang Gugatan Anti-Monopoli Meta Dimulai, IG dan WhatsApp Terancam Dipisah]
Senin (14 April), perusahaan raksasa media sosial Meta (d/h Facebook) resmi menjalani persidangan anti-monopoli di pengadilan AS.
Gugatan diajukan oleh Komisi Perdagangan Federal (FTC), menuduh Meta melakukan pembelian strategis terhadap Instagram (2012, senilai $1 miliar) dan WhatsApp (2014, senilai $22 miliar) untuk melenyapkan pesaing dan memonopoli pasar media sosial.
FTC menilai strategi Meta adalah: “daripada bersaing, lebih baik membeli kompetitor”.
Meta membantah keras dan mengatakan definisi pasar yang digunakan FTC terlalu sempit dan tidak mempertimbangkan keberadaan pesaing lain seperti TikTok, YouTube, iMessage, dan X (d/h Twitter).
Meta juga menegaskan bahwa pemisahan Instagram akan sangat merugikan, karena platform itu menyumbang lebih dari 50% pendapatan iklan AS dan menjadi penopang utama di tengah penurunan pengguna Facebook.
Sidang ini dipimpin Hakim Distrik AS James Boasberg, yang tahun lalu menolak upaya Meta menghentikan kasus ini. Pakar hukum menilai, gugatan ini menjadi ujian besar bagi hukum anti-monopoli AS, apakah masih relevan di era teknologi yang berkembang sangat cepat.
Google dan Amazon juga tengah menghadapi gugatan serupa. Kasus Google dijadwalkan masuk tahap baru pada 21 April. (Jhon)
Sumber : NTDTV.com