EtIndonesia. Saat api perang antara Rusia dan Ukraina belum juga padam, Eropa diam-diam tengah menjalankan latihan militer yang disiapkan untuk “menghadapi situasi pasca-perang”. Pada awal April, Komandan Angkatan Darat Denmark, Gunner Arpe Beuf Boisen, secara terbuka menyatakan bahwa Denmark akan mengirimkan prajurit ke Ukraina guna mempelajari pengalaman dalam pertempuran menggunakan drone. Meskipun Denmark menegaskan bahwa para tentara tersebut “tidak membawa senjata dan hanya untuk tujuan belajar,” namun motif strategis di balik keputusan ini memicu perhatian luas dari berbagai pihak.
Pasukan yang dikirim Denmark dijadwalkan tinggal di Ukraina selama satu hingga dua minggu untuk mengamati langsung penerapan taktik tempur menggunakan drone oleh militer Ukraina. Boisen menekankan bahwa saat ini Ukraina merupakan “medan eksperimen taktik drone paling agresif di dunia,” dan bahwa negara-negara anggota NATO harus memanfaatkan kesempatan berharga ini untuk belajar.
Namun tak lama setelah pengumuman itu, Rusia langsung mengeluargkan peringatan keras. Duta Besar Rusia untuk Denmark, Vladimir Barbin, menyatakan bahwa semua fasilitas militer di wilayah Ukraina, termasuk pusat pelatihan, kini menjadi “target sah untuk diserang.”
Eropa Siapkan Rencana Intervensi Pasca-Perang? NATO Bahas Pengiriman Pasukan Gabungan
Yang lebih mengejutkan lagi, sebuah pertemuan tertutup digelar awal bulan ini di Brussels, Belgia. Diprakarsai oleh Inggris dan Prancis, pertemuan itu dihadiri oleh perwakilan dari 30 negara anggota NATO untuk membahas mekanisme stabilisasi pasca-perang di Ukraina. Dalam pertemuan tersebut diusulkan untuk mengerahkan “pasukan gabungan multinasional” ke Ukraina guna menjaga perdamaian dan stabilitas setelah gencatan senjata dicapai.
Meskipun rincian tentang komposisi pasukan dan lokasi penempatan belum diumumkan secara resmi, hal ini dianggap sebagai rencana intervensi militer pertama yang sistematis oleh negara-negara Barat sejak pecahnya perang Rusia-Ukraina. Banyak pengamat menilai langkah ini sebagai upaya untuk memblokir ruang gerak strategis Rusia di kawasan Eropa Timur.
Rusia Ancam Perang Besar, NATO Dinilai Memprovokasi
Pihak Kremlin segera memberikan respons tegas. Wakil Ketua Dewan Keamanan Nasional Rusia, Dmitry Medvedev, menegaskan bahwa apabila pasukan NATO benar-benar memasuki Ukraina, maka hal itu akan dianggap sebagai sinyal eskalasi besar menuju perang skala penuh. Dalam beberapa bulan terakhir, Rusia diketahui telah menempatkan senjata nuklir taktis di Belarus dan secara rutin melakukan latihan peluncuran rudal hipersonik—indikasi bahwa Moskow tengah mempersiapkan diri untuk potensi konflik yang semakin melebar.
Ukraina: Medan Belajar bagi Barat, Neraka Nyata bagi Rakyatnya
Bagi Ukraina, “skenario pelatihan” ini menyimpan kenyataan pahit. Sejak perang meletus pada tahun 2022, negara ini telah kehilangan hampir 20% dari wilayahnya, sementara jutaan warganya menjadi pengungsi. Kemajuan dalam taktik drone dicapai dengan harga yang sangat mahal, melalui darah dan nyawa prajurit di medan perang. Saat para perwira Barat hanya datang sejenak untuk belajar, para tentara Ukraina tetap menghadapi risiko kematian setiap hari.
Militerisasi Eropa: Harga yang Harus Dibayar
Selama tiga tahun membantu Ukraina, Eropa telah menanggung beban besar, baik secara militer maupun ekonomi. Krisis energi, inflasi tinggi, serta melonjaknya anggaran militer menimbulkan tekanan hebat di dalam Uni Eropa. Beberapa negara terpaksa mengubah kebijakan militernya secara drastis: Jerman mengaktifkan kembali undang-undang mobilisasi perang, Polandia berencana membentuk angkatan darat terbesar di Eropa, sementara negara-negara Nordik mempercepat program wajib militer.(jhn/yn)