EtIndonesia. Setelah pertempuran Marawi, seorang marinir Amerika Serikat bernama Jack (nama samaran) dikirim ke Philipina bagian selatan untuk bergabung dalam operasi gabungan melawan sisa-sisa kekuatan ISIS di pedalaman hutan.
Tugas mereka sederhana sekaligus berat: menatap tajuk hutan yang rapat dengan perangkat inframerah, mencari sekecil apa pun sumber panas, lalu mengarahkan serangan artileri secara presisi ke posisi musuh.
Pada hari itu, operasi telah berlangsung berjam-jam. Pesawat tempat Jack bertugas berputar di atas Pegunungan Basilan, pada ketinggian 12.500 kaki. Namun, di bawah mereka, hutan tetap sunyi—bahkan kilasan sumber panas pun hampir tak tertangkap.
Daun-daun lebat di bawah tampak seperti kaca yang dilapisi vaselin, membuat semua detail menjadi kabur. Hanya jika ada makhluk yang melintas di atas tajuk—seperti burung, monyet, atau bahkan helikopter—barulah sesuatu dapat terlihat jelas. Selain itu, semuanya bagai ilusi yang terendam dalam kabut abu-abu.
Jack, seorang operator kamera inframerah yang sudah sangat berpengalaman, duduk dengan bosan menatap layar monitor.
Iseng, dia bertanya kepada pilot apakah dia boleh merokok sebentar. Pilot mengizinkannya. Namun, baru beberapa hisapan, dia dipanggil kembali ke konsol, dengan nada suara yang mengandung ketegangan.
Awalnya Jack merasa sedikit terganggu, namun ketika kembali ke tempat duduknya dan melihat layar, seluruh tubuhnya langsung tegang.
Di layar, tampak sebuah bayangan hitam aneh bergerak dengan kecepatan tinggi melintasi puncak-puncak pohon.
Cara makhluk itu terbang tidak menyerupai burung; justru lebih mirip sesuatu yang memiliki selaput sayap besar dan tajam, meluncur di antara batas gelap malam dan rimbunnya hutan.
Jack segera mengatur filter inframerah untuk memperjelas gambar. Awalnya dia mengira itu hanya seekor burung besar. Namun, semakin fokus gambarnya, semakin aneh wujud yang terlihat: Makhluk itu memiliki kepala bundar, sayap melengkung tajam, dan celah di antara tubuh yang tampak seperti bagian kaki—namun tidak ada ekor. Gerakannya ringan sekaligus asing, sangat berbeda dari semua jenis burung yang pernah ia lihat.
Saat itu, komandannya bersuara: “Coba ukur ukurannya.”
Jack dengan cepat mengaktifkan pengukur jarak, mengambil tangkapan layar, lalu mengirimkan hasilnya ke pilot.
Hasil pengukuran membuat mereka berdua menahan napas: Panjang makhluk itu dari kepala hingga tubuh sekitar 2 meter, dengan rentang sayap mencapai sekitar 5,2 meter.
Mereka saling berpandangan, dan hanya satu kata yang langsung terlintas di benak mereka: “kelelawar”.
Tetapi ini jelas bukan kelelawar biasa. Makhluk itu tidak memiliki bulu, tidak memiliki ekor burung, dan hanya tampak dua sayap raksasa yang membelah kegelapan malam.
Pertemuan singkat itu meninggalkan kegelisahan yang dalam di hati Jack. Meski mereka akhirnya kembali fokus pada tugas utama menghadapi sisa-sisa pasukan ISIS, pengalaman malam itu terus menghantui pikirannya.
Karena penasaran, Jack dan pilot mulai mencari tahu lebih jauh. Mereka bertanya ke para kontraktor lokal di sekitar pangkalan—di kantin, di toko PX, di mana saja. Sebagian besar anak muda hanya tertawa dan menganggap mereka “kebanyakan begadang.” Namun, beberapa orang tua terlihat lebih serius. Dengan wajah berat, mereka berbisik tentang legenda setempat: makhluk yang disebut “Tiktik”—monster raksasa yang dikatakan terbang di malam hari.
Jack mendengarkan kisah-kisah itu, berusaha tersenyum, tapi batinnya tetap bergolak.
Dalam hatinya, dia bertanya-tanya: Mungkinkah malam itu, di atas hutan Philipina, dia benar-benar melihat sesuatu yang berada di batas antara dunia nyata dan dunia legenda? (jhn/yn)