Berseru dengan Lantang Tak akan Tunduk, Beijing Diam-diam Cabut Tarif Impor AS

EtIndonesia. Dalam perang tarif antara Amerika Serikat dan Tiongkok, Pemerintah Tiongkok secara terbuka selalu menunjukkan sikap keras kepala. Mereka berkali-kali menyatakan akan “melawan hingga akhir,” bahkan sempat merilis video yang menyerukan slogan “Tiongkok tidak akan berlutut.” Namun di balik layar, rezim Beijing justru diam-diam mencabut tarif tinggi atas produk-produk impor dari Amerika Serikat.

Menurut laporan terbaru, Tiongkok telah membebaskan produk etana asal AS dari tarif tambahan sebesar 125%.

Pada 29 April, kantor berita Reuters mengutip dua sumber terpercaya yang mengatakan bahwa Beijing telah menghapus tarif tambahan 125% atas etana impor dari Amerika Serikat dan kini memasukkannya ke dalam daftar pengecualian bea masuk.

Langkah ini diambil untuk meringankan beban perusahaan petrokimia Tiongkok yang selama ini harus menghadapi tekanan biaya tinggi saat mengimpor etana dari AS. Secara bersamaan, ini juga membuka kembali jalur ekspor bagi gas alam cair Amerika Serikat.

Sejarawan Tiongkok di Australia, Li Yuanhua, mengatakan: “Ini menunjukkan bahwa sikap Tiongkok sebenarnya tidak sekuat yang mereka gembar-gemborkan. Mereka tidak benar-benar ingin membalas semua tindakan AS dengan setimpal. Yang mereka lakukan adalah mencari celah kompromi agar bisa menyelamatkan diri dari krisis yang lebih parah.”

Berdasarkan data dari Badan Informasi Energi AS (EIA), saat ini Tiongkok membeli hampir separuh dari total ekspor etana Amerika.

Pakar ekonomi makro asal Taiwan, Wu Jialong, menambahkan: “Banyak pejabat ekonomi di Tiongkok tidak memberikan analisis yang benar kepada Xi Jinping, sehingga Dia telah membuat berbagai keputusan yang salah. Dalam bidang teknologi tingkat menengah ke atas, Tiongkok masih sangat bergantung pada AS. Karena itu, perang total dengan AS sebenarnya tidak realistis. Semua ini tidak perlu terjadi. Sekarang Beijing mulai menyadari bahwa mereka telah salah menilai Trump, dan mereka mulai perlahan-lahan melakukan penyesuaian.”

Awal April lalu, sebagai respons terhadap tarif baru yang diumumkan oleh Trump, Beijing menaikkan tarif atas sejumlah produk AS—termasuk etana—hingga 125%.

Namun karena Tiongkok merupakan produsen plastik terbesar di dunia dan bahan baku utama seperti etana sebagian besar diimpor dari AS, maka menaikkan tarif impor justru membuat industri dalam negeri kesulitan. Pada akhirnya, Pemerintah Tiongkok terpaksa membatalkan kembali tarif tersebut demi kelangsungan ekonominya sendiri.

Wu Jialong menegaskan: “Sampai hari ini, para pemimpin di Beijing masih belum sepenuhnya paham. Mereka tertipu oleh teori Wang Huning yang terus menjual ide ‘timur bangkit, barat runtuh’ dan menyebut Trump hanya seorang pebisnis. Inilah yang membuat Xi Jinping dan pemerintahannya salah langkah, hingga merusak hubungan Tiongkok-Amerika. Jika suatu saat Xi dikenang dalam sejarah sebagai ‘pengkhianat bangsa’, itu karena dia menghancurkan hubungan antara Tiongkok dan Amerika.”

Minggu lalu, pemerintah Beijing juga telah memberi tahu sejumlah importir bahwa sebagian produk AS akan dibebaskan dari tarif tambahan 125%. Daftar pengecualian tersebut meliputi sejumlah semikonduktor, peralatan produksi chip, produk medis, serta suku cadang pesawat terbang. Tujuannya: mengurangi dampak ekonomi akibat babak baru perang tarif.

Wu Jialong menjelaskan lebih lanjut:

“Sasaran Amerika sekarang bukan lagi sekadar ekonomi, tapi sistem politik satu partai milik Partai Komunis. Mengapa demikian? Karena ketika Tiongkok dilibatkan dalam globalisasi, niat awal Amerika sebenarnya tidak salah. Namun, mereka kemudian sadar bahwa dalam sistem ini, distribusi dan redistribusi keuntungan justru ditentukan oleh kekuasaan. Keuntungan ekonomi yang diperoleh Tiongkok dari globalisasi akhirnya hanya dinikmati oleh para elit dan masuk ke kantong penguasa.”

Yang menarik, semua pencabutan tarif ini dilakukan oleh Pemerintah Tiongkok secara diam-diam—tanpa pengumuman resmi.

Li Yuanhua menilai bahwa: “Strategi ini adalah bentuk penundaan yang disengaja. Mereka berharap bisa menunggu hingga tekanan dalam negeri AS memuncak, lalu memaksa AS untuk tunduk. Mereka percaya, jika bisa menahan cukup lama, kemenangan akan datang kepada mereka. Itu cara mereka bermain.”

Di sisi lain, Kementerian Luar Negeri Tiongkok tetap mempertahankan gaya ‘diplomasi serigala’. Pada 29 April, mereka merilis video propaganda yang menyatakan “Tiongkok tidak akan berlutut.”

Namun, Li Yuanhua meragukan efektivitas pendekatan ini: “Pertanyaannya sekarang: apakah rakyat benar-benar mudah ditipu? Apakah mereka sungguh-sungguh rela ‘makan rumput selama setahun’ tanpa mengeluh, seperti yang diklaim propaganda pemerintah? Itu asumsi yang dibuat Partai Komunis. Faktanya, makin banyak rakyat yang mulai sadar, dan jika kesadaran itu menyebar luas, trik-trik PKT tidak akan lagi mempan.”

Wu Jialong menambahkan lebih tajam: “Masalahnya sekarang bahkan lebih serius. Pertama, Xi Jinping sudah tidak punya kesempatan untuk ‘berlutut’. Kedua, andai pun ia berlutut, itu tidak akan berguna. Jadi, mereka memilih untuk tidak berlutut karena tidak ada efeknya. Bahkan jika tunduk, mereka tidak akan diterima. Mengapa? Karena Duta Besar Tiongkok untuk AS, Xie Feng, dan Menteri Luar Negeri Wang Yi terus mencoba menjalin komunikasi dengan tim Trump, namun selalu gagal.”

Sebelumnya, Kementerian Luar Negeri Tiongkok sempat membantah bahwa telah terjadi pembicaraan antara Beijing dan Washington. Namun, klaim itu segera dibantah langsung oleh Presiden Trump. (jhn/yn)

FOKUS DUNIA

NEWS