Negosiasi Nuklir Gagal? Trump Larang Pembelian Minyak Iran Secara Global

EtIndonesia. Washington – Amerika Serikat dan Iran sedianya akan melangsungkan pembicaraan mengenai pembatasan program nuklir Iran pada 3 Mei di Roma, namun ketegangan meningkat setelah serangkaian tindakan keras dari Washington. Pada 29 April, Menteri Keuangan AS, Scott Bessent menjatuhkan sanksi ekonomi terhadap sejumlah perusahaan perdagangan Iran, dan sehari berikutnya, Departemen Luar Negeri AS kembali mengumumkan sanksi terhadap 7 perusahaan yang terlibat dalam perdagangan minyak Iran, dengan alasan mendukung kegiatan terorisme.

Lebih lanjut, Menteri Pertahanan AS, Pete Hegseth memperingatkan bahwa Iran akan menghadapi balasan militer jika terus mendukung kelompok bersenjata Houthi di Yaman.

Puncaknya, pada 1 Mei, Presiden AS, Donald Trump secara resmi mengumumkan larangan global terhadap pembelian minyak Iran, dengan ancaman sanksi sekunder bagi pihak mana pun yang melanggar.

Trump Ultimatum Dunia: “Stop Beli Minyak Iran!”

Dalam pernyataan yang diunggah di platform Truth Social, Trump menegaskan: “Segala bentuk pembelian minyak atau produk petrokimia dari Iran harus dihentikan segera! Siapa pun—baik negara maupun individu—yang membeli dalam jumlah berapa pun, akan langsung terkena sanksi sekunder. Pelanggar tidak akan diizinkan berbisnis dengan Amerika Serikat dalam bentuk apa pun.”

Sebagai tanggapan, Iran menuduh AS bersikap kontradiktif dan terus memprovokasi, namun juga menyatakan bahwa pembicaraan nuklir akan ditunda karena alasan teknis. Meski begitu, Iran menegaskan niat untuk tetap bernegosiasi tidak berubah.

Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araghchi, melalui akun X (Twitter), menyatakan bahwa: “Teheran tetap berkomitmen menyelesaikan persoalan melalui dialog. Kami lebih bertekad daripada sebelumnya untuk mencapai kesepakatan yang adil—mengakhiri sanksi, menjamin program nuklir kami tetap damai, dan memastikan hak-hak Iran dihormati sepenuhnya.”

AS: Tidak Ada Jadwal Resmi, Putaran Berikut Segera Menyusul

Pihak Departemen Luar Negeri AS menegaskan bahwa negosiasi 3 Mei belum pernah dijadwalkan secara resmi, namun putaran pembicaraan selanjutnya akan segera diatur. Menurut laporan BBC, baik AS maupun Iran masih berusaha menghindari konfrontasi militer langsung, meskipun ketegangan kian meningkat.

Iran Gunakan Program Nuklir Sebagai Taktik Tawar-menawar

Laporan CNN menyebut bahwa strategi Iran adalah menggunakan program nuklir sebagai alat negosiasi untuk mendesak Trump mencabut sanksi ekonomi. Sejak Revolusi 1979, perusahaan asing sangat jarang berinvestasi di Iran. Bahkan ketika Presiden Obama mencabut sebagian sanksi pada tahun 2015, minat investor asing tetap rendah.

Menurut data dari Mordor Intelligence, Iran memiliki populasi sekitar 90,6 juta jiwa, di mana 60% di antaranya berusia di bawah 35 tahun—suatu pasar yang belum tergarap bagi perusahaan-perusahaan AS. Sementara itu, riset dari McKinsey Global Institute memperkirakan bahwa jika sanksi dicabut dan reformasi dilakukan, Iran bisa menciptakan 9 juta lapangan kerja dalam 20 tahun ke depan dan mendorong PDB hingga melampaui 1 triliun dolar AS.

Potensi Ekonomi Iran Besar, Tapi Risiko Tetap Tinggi

Menurut CNN, nilai total barang dan jasa yang dihasilkan Iran pada 2024 adalah sekitar 434 miliar dolar AS. Jika Iran bebas dari sanksi dan memperbaiki kebijakan moneter, PDB-nya diperkirakan bisa melonjak menjadi 1,7 triliun dolar AS.

Namun, risiko politik dan keamanan tetap tinggi. Mitra di firma konsultan Eurasian Nexus Partners menyatakan bahwa meskipun ada potensi keuntungan besar bagi perusahaan AS, berbisnis di Iran bukan hal yang mudah, mengingat Pemerintah Iran tidak bersahabat terhadap investor asing.

Bahkan jika kesepakatan nuklir baru berhasil dicapai, hambatan birokrasi dan peraturan tetap menyulitkan. Selain itu, sanksi AS atas aktivitas terorisme Iran kemungkinan akan tetap diberlakukan, dan setiap perusahaan yang ingin berbisnis dengan Iran harus mendapatkan persetujuan dari Departemen Keuangan AS secara kasus per kasus.

IRGC dan Ekonomi Tertutup

CNN juga mencatat bahwa Korps Garda Revolusi Islam Iran (IRGC), yang dianggap sebagai organisasi teroris oleh AS, telah tumbuh menjadi kekuatan ekonomi besar yang bisa menandingi Pemerintah Iran sendiri. IRGC memiliki pengaruh luas di sektor konstruksi, perbankan, dan telekomunikasi.

Bijan Khajehpour, analis dari firma konsultan regional, mengatakan bahwa perang, sanksi, dan korupsi birokrasi selama puluhan tahun telah menciptakan iklim usaha yang “sangat rumit” di Iran. Karena itulah, minat investasi asing tetap rendah, dan banyak perusahaan global memilih menjauh dari pasar Iran, meskipun potensi ekonominya sangat besar.

Kesimpulan

Pengumuman Trump yang melarang pembelian minyak Iran secara global menandai eskalasi besar dalam konflik ekonomi dan diplomatik antara Washington dan Teheran. Di tengah harapan akan perundingan damai, retorika keras dan sanksi bertubi-tubi justru semakin menjauhkan kedua negara dari kesepakatan nyata.

Meski jalan diplomatik belum sepenuhnya tertutup, ketegangan yang meningkat—ditambah tekanan ekonomi dan militer—membuat krisis ini tetap menjadi ancaman serius bagi stabilitas kawasan dan perekonomian global.(jhn/yn)

FOKUS DUNIA

NEWS