DPR Amerika Serikat Secara Bulat Loloskan RUU Perlindungan Falun Gong untuk Menentang Pengambilan Organ Paksa oleh Partai Komunis Tiongkok

“Menjatuhkan sanksi terhadap pelaku pengambilan organ secara paksa adalah kewajiban moral,” kata salah satu sponsor rancangan undang-undang tersebut

Eva Fu – The Epoch Times

Pada 5 Mei 2025, Dewan Perwakilan Rakyat Amerika Serikat secara bulat menyetujui sebuah rancangan undang-undang yang bertujuan untuk mengakhiri penganiayaan terhadap kelompok spiritual Falun Gong oleh rezim Tiongkok.

Rancangan undang-undang tersebut, yang diberi nama Falun Gong Protection Act (HR 1540), disahkan dengan dukungan bipartisan yang luas dan memuat ketentuan untuk menjatuhkan sanksi terhadap individu yang terlibat dalam pengambilan organ secara paksa dari praktisi Falun Gong.

Menurut isi undang-undang, sanksi akan dijatuhkan terhadap daftar warga negara asing “yang oleh Presiden ditetapkan telah secara sadar dan langsung terlibat atau memfasilitasi pengambilan organ tanpa persetujuan di Republik Rakyat Tiongkok.

Sanksi tersebut meliputi larangan masuk ke wilayah Amerika Serikat, pembatalan visa, serta hukuman pidana berupa denda hingga 1 juta dolar AS dan hukuman penjara hingga 20 tahun, di antara sanksi lainnya.

Anggota Kongres AS dari Partai Republik, Scott Perry selaku sponsor utama Falun Gong Protection Act, menyatakan bahwa “harus ada konsekuensi terhadap perilaku yang biadab dan mengerikan ini.”

 “Amerika Serikat harus menjadi pemimpin dan menunjukkan jalan bagi dunia,” katanya kepada The Epoch Times. “Kita harus bertindak dan memaksa dunia untuk mengakuinya.”

Falun Gong adalah sebuah praktik spiritual yang melibatkan meditasi dan ajaran yang berlandaskan pada prinsip Sejati, Baik, Sabar . Sejak tahun 1999, Falun Gong mengalami penindasan keras di Tiongkok. Rezim Tiongkok menganggap popularitas Falun Gong sebagai ancaman, dan sekitar 70 hingga 100 juta praktisinya telah mengalami penangkapan, penahanan jangka panjang, kerja paksa, dan berbagai bentuk penyiksaan.

(Kiri) Dua orang polisi Tiongkok menangkap seorang praktisi Falun Gong di Lapangan Tiananmen di Beijing pada 10 Januari 2000. (Kanan) Polisi Tiongkok menahan seorang praktisi Falun Gong di Lapangan Tiananmen di Beijing, dalam foto ini. Chien-Min Chung / AP Photo, Minghui

Undang-undang Perlindungan Falun Gong mengarahkan Amerika Serikat untuk bekerja sama dengan sekutu dan lembaga multilateral guna meningkatkan kesadaran akan penganiayaan ini, serta mengoordinasikan sanksi dan pembatasan visa secara internasional.

Undang-undang ini juga menetapkan bahwa kebijakan AS adalah untuk tidak bekerja sama dengan Tiongkok dalam hal transplantasi organ selama Partai Komunis Tiongkok (PKT) masih berkuasa.

UU ini mengharuskan Menteri Luar Negeri AS, Menteri Kesehatan dan Layanan Kemanusiaan AS, serta Kepala Lembaga Kesehatan Nasional AS (NIH) untuk menyerahkan laporan dalam waktu satu tahun yang merinci kebijakan dan praktik transplantasi organ di Tiongkok.

Pada tahun 1999, praktisi Falun Gong ditangkap dengan kekerasan saat melakukan protes damai di Lapangan Tiananmen. (Minghui.org)

Laporan tersebut harus mencakup bagaimana kebijakan tersebut diterapkan terhadap praktisi Falun Gong dan tahanan hati nurani lainnya, termasuk estimasi jumlah transplantasi tahunan, waktu tunggu untuk memperoleh organ, dan sumber organ tersebut.

Laporan juga harus mencantumkan hibah dari AS selama satu dekade terakhir yang mendanai penelitian transplantasi organ di Tiongkok atau kerja sama antara lembaga Tiongkok dan AS.

Laporan itu juga akan menilai apakah penganiayaan terhadap Falun Gong oleh Beijing memenuhi syarat sebagai “kekejaman” di bawah Elie Wiesel Genocide and Atrocities Prevention Act of 2018.

“HR 1540 adalah langkah bersejarah—komitmen mengikat pertama dari Kongres untuk mengambil tindakan hukum yang tegas terhadap penganiayaan dan pengambilan organ paksa terhadap praktisi Falun Gong,” kata Perry dalam pidatonya di sidang Kongres.

“RUU ini membuka jalan bagi akuntabilitas, sanksi, hukuman, dan pengakuan—pengakuan terhadap mereka yang turut serta dalam kekejaman ini.”

Perry mengatakan, dengan adanya penyelidikan, AS tidak akan lagi berpaling dari kenyataan.

“Kita tahu angka-angka itu tidak masuk akal,” ujarnya. “Segala bukti mengarah pada apa yang mereka lakukan, tetapi selama ini terlalu mudah bagi semua negara, termasuk AS, untuk menutup mata terhadap apa yang sebenarnya sedang terjadi—dan itu mengerikan.”

“RUU ini mengakhiri semua itu,” lanjutnya. “Ini menyatakan tidak ada lagi pembiaran, tidak ada lagi berdiam diri sambil terus membeli barang dan jasa dari komunis Tiongkok. Cukup sudah.”


‘Kewajiban Moral’

Anggota Kongres AS dari Partai Republik, Gus Bilirakis, salah satu co-sponsor RUU dan anggota Komite DPR AS tentang Partai Komunis Tiongkok, menyebut undang-undang ini “sangat penting, mengingat catatan hak asasi manusia Partai Komunis Tiongkok yang mengerikan serta perlakuannya yang terus berlanjut terhadap Falun Gong dan kelompok agama minoritas lainnya.”

Rep. Gus Bilirakis (R-Fla.) berbicara pada pengarahan tentang penganiayaan terhadap Falun Gong di Capitol Hill di Washington pada 23 Mei 2023. (Madalina Vasiliu/The Epoch Times)

“Menjatuhkan sanksi terhadap pelaku pengambilan organ paksa adalah kewajiban moral,” ujar Bilirakis kepada The Epoch Times. “Dengan melakukan hal ini, kita dapat mengambil sikap tegas terhadap kejahatan mengerikan yang melanggar kesucian hidup dan martabat manusia.”

Ia berharap undang-undang ini dapat membantu “mengubah perilaku PKT yang keji dan memberikan perlindungan yang lebih besar bagi mereka yang ditindas dan mengalami penyiksaan berat.”

“Dengan mempertanggungjawabkan para pelaku, kita tidak hanya melindungi mereka yang paling rentan, tetapi juga menegaskan hak dasar atas otonomi tubuh dan nilai-nilai kemanusiaan yang kita bagi bersama.”

Anggota Kongres AS dari Partai Demokrat, Pat Ryan  juga co-sponsor, mengatakan bahwa ia “bangga melihat dukungan bipartisan yang luas terhadap upaya ini.”

Perwakilan Pat Ryan (D-N.Y.) berbicara dalam sebuah rapat umum yang menyerukan diakhirinya penganiayaan terhadap praktisi Falun Gong yang telah berlangsung selama 25 tahun oleh Partai Komunis Tiongkok di Tiongkok di National Mall di Washington pada 11 Juli 2024. Madalina Vasiliu / The Epoch Times

“Saya akan melakukan segala daya saya untuk membuat para pelaku perdagangan organ bertanggung jawab atas kejahatan mereka yang tak terkatakan,” ujarnya.

“Saya akan terus menyuarakan penolakan tanpa kompromi terhadap pelanggaran hak asasi manusia dan penganiayaan terhadap kelompok agama, di mana pun hal itu terjadi.”

Anggota Kongres AS dari Partai Republik Tom Tiffany  menyatakan pentingnya untuk meminta pertanggungjawaban rezim Tiongkok.

“Penganiayaan PKT terhadap Falun Gong, termasuk penyiksaan dan pengambilan organ paksa, adalah tindakan biadab,” ujarnya. “Amerika Serikat tidak boleh mentoleransi kekejaman ini.”

Para anggota parlemen lainnya juga menyampaikan keterkejutannya atas penderitaan yang ditimbulkan oleh rezim tersebut.

“Selama 25 tahun, Partai Komunis Tiongkok telah menjalankan kampanye brutal terhadap praktisi Falun Gong—ditandai dengan penyiksaan, pemenjaraan, pembunuhan, dan praktik tercela berupa pengambilan organ paksa—semata-mata karena mereka menjalankan kepercayaan agamanya secara damai,” kata Anggota Kongres dari Partai Republik, Lance Gooden. 

 “Ini bukan hanya serangan besar terhadap kebebasan beragama, tetapi juga salah satu krisis hak asasi manusia paling mendesak di zaman kita.”

UU ini, lanjut Gooden, akan “menghadapi kekejaman ini secara langsung.”

 “Tidak ada kelompok keagamaan mana pun yang seharusnya dianiaya dan diperlakukan sebagai bank organ bagi rezim totaliter.”

“Amerika Serikat harus memimpin dengan kejelasan moral dan berdiri tegas menentang kejahatan kemanusiaan PKT.”

Anggota Kongres dari Partai Republik, Burgess Owens  menyebut pelanggaran hak asasi manusia yang menargetkan kelompok ini sebagai “mengerikan dan benar-benar jahat.”

Dengan mendukung dan ikut mensponsori UU ini, katanya kepada The Epoch Times, berarti *“berdiri membela kebebasan beragama dan martabat manusia”—*sebuah tindakan yang ia banggakan.

Kewajiban untuk Bertindak

Sesaat sebelum pengesahan Falun Gong Protection Act, DPR juga membahas RUU lain terkait penyalahgunaan pengambilan organ paksa.

Anggota Parlemen Chris Smith (R-N.J.) berbicara selama konferensi pers tentang Hong Kong di House Triangle di Capitol Hill di Washington pada 19 November 2024. Madalina Vasiliu/The Epoch Times

Anggota Kongres AS dari Partai Republik Chris Smith  sponsor utama dari Stop Forced Organ Harvesting Act (HR 1503), menyatakan bahwa pemimpin komunis Tiongkok Xi Jinping dan rezimnya harus “memikul tanggung jawab atas salah satu kekejaman hak asasi manusia paling mengerikan di zaman kita—perdagangan manusia untuk tujuan pengambilan organ, membantai dan membunuh mereka dalam prosesnya.”

“Pengambilan organ paksa adalah pembunuhan yang menyamar sebagai pengobatan,” katanya kepada The Epoch Times.

 “Bayangkan apa yang akan Anda pikirkan jika Anda seorang pemuda Uighur atau praktisi Falun Gong yang diikat di ranjang operasi, digiring ke ruang pembantaian yang steril.”

 “Dari semua kekejaman yang tak dapat dibayangkan yang dilakukan oleh PKT, ini adalah yang paling keji.”

RUU Stop Forced Organ Harvesting Act memiliki cakupan yang lebih luas untuk memerangi perdagangan organ internasional. Tujuannya termasuk mendorong sistem donor organ sukarela dengan mekanisme penegakan hukum yang efektif dalam perundingan bilateral dan forum kesehatan internasional, serta menghukum para pelaku—termasuk anggota Partai Komunis Tiongkok—atas tindakan ilegal tersebut.

RUU ini mengharuskan otoritas AS untuk mengevaluasi di setiap negara asing “pengambilan organ paksa dan perdagangan manusia untuk tujuan pengambilan organ,” yang dapat melibatkan paksaan, penculikan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan, atau pembelian persetujuan dengan uang, sebagaimana dijabarkan dalam undang-undang.

Di hadapan DPR AS, Smith mengutip Sir Geoffrey Nice, yang melakukan analisis hukum independen pertama di dunia atas kekejaman ini di Tiongkok. Analisis tersebut menemukan bahwa pengambilan organ paksa “terjadi di seluruh Tiongkok dalam skala yang signifikan.”

“Kejahatan terhadap kemanusiaan ini sangat kejam dan menyakitkan; antara dua hingga enam organ internal dari setiap korban diambil,” kata Smith.
 

Ia juga menyoroti bahwa korban bisa berasal dari komunitas Uighur yang sedang mengalami genosida di Xinjiang, serta dari praktisi Falun Gong “yang praktik meditasi damai dan kesehatan luar biasa membuat organ mereka sangat diincar.”

Beberapa anggota parlemen lain turut menyuarakan dukungannya terhadap RUU Smith.

“Ini adalah pasar gelap bernilai miliaran dolar yang dibangun dari pembunuhan,” kata Anggota Kongres dari Partai Republik, Brian Mast , ketua Komite Urusan Luar Negeri DPR AS. “Ini adalah serangan langsung terhadap setiap prinsip martabat dan kemanusiaan.”

“Kepada para pelaku dalam industri biadab ini,” tambahnya, “RUU ini mengirim pesan: Kami akan memburu kalian.”

“Tubuh manusia bukanlah mata uang. Bukan komoditas. Tidak untuk diperjualbelikan.
Pengambilan organ paksa adalah kejahatan murni—jika kita tidak bertindak, kita akan dianggap turut serta.”

Anggota Kongres AS dari Partai Demokrat, Johnny Olszewski  menyerukan rekan-rekannya untuk mendukung kedua RUU tersebut.

 “Mengungkap kejahatan ini dan para pelakunya, serta mendorong akuntabilitas, sangat penting,” katanya.

 Ia mencatat bahwa kewajiban pelaporan dalam Falun Gong Protection Act akan membantu Kongres memahami “cakupan kekejaman ini” dan menanganinya secara lebih efektif.

Meski kedua RUU ini pernah disahkan DPR pada periode Kongres sebelumnya, Senat tidak mengambil tindakan.

Anggota DPR Scott Perry (R-Pa.) berbicara kepada The Epoch Times setelah DPR dengan suara bulat mengesahkan Undang-Undang Perlindungan Falun Gong, di Washington pada 5 Mei 2025. Foto: Madalina Vasiliu/The Epoch Times

Perry dan Smith telah lama menyuarakan isu pengambilan organ paksa, dan merasa kecewa atas lambannya proses di Kongres.

“Dalam kurun waktu yang sama ini, kita tidak tahu berapa banyak orang yang telah menjadi korban program pengambilan organ paksa oleh Partai Komunis Tiongkok,” kata Perry. “Kita mungkin tidak akan pernah tahu.”

“Ini bukanlah solusi akhir, tapi Amerika Serikat harus bersuara lantang soal ini, dan ini adalah langkah menuju ke sana.”

Ia menyebutkan bahwa butuh waktu untuk mengedukasi orang tentang apa yang sedang terjadi. Namun, setiap kali ia mengangkat isu ini, semakin banyak koleganya yang mulai sadar.

“Reaksi pertama Anda pasti horor, bahwa ini benar-benar terjadi,” katanya. “Lalu, reaksi berikutnya adalah, mengapa tidak ada yang melakukan sesuatu? Bagaimana bisa ini dibiarkan? Maka, pada titik tertentu, itu menjadi kewajiban Anda.”

Perry dan Smith mendesak Senat untuk segera mengesahkan undang-undang tersebut.

“Apa yang kalian tunggu?” ujar Perry. “Apa alasan untuk menolaknya? Jika kalian khawatir terhadap hubungan Amerika dengan Partai Komunis Tiongkok, apakah itu berarti kalian ingin menyampaikan kepada dunia bahwa kalian tidak masalah mereka membunuh orang dan mengambil organ mereka hanya karena mereka bisa?”

Jika Senat mengesahkan RUU ini, Perry yakin Presiden Donald Trump akan menandatanganinya dan “menciptakan ruang diskusi yang layak akan topik ini.”

“Ia akan memahami bahwa pengambilan organ seseorang secara paksa adalah hal yang tidak dapat diterima di level mana pun,” katanya. “Tidak ada penjelasan apa pun yang bisa membenarkannya.” (asr)

FOKUS DUNIA

NEWS