EtIndonesia. Ketegangan dalam perang dagang antara AS dan Tiongkok semakin memanas. Banyak perusahaan Tiongkok menggunakan metode “cuci asal negara” untuk mengekspor ke Amerika Serikat demi menghindari tarif tinggi. Namun, seiring negara-negara seperti Vietnam dan Malaysia memperketat pengawasan, jalur ini kini terhambat, membuat para pelaku bisnis Tiongkok berada dalam dilema.
Sejak Amerika Serikat memberlakukan tarif tambahan sebesar 145% terhadap produk Tiongkok, platform media sosial seperti Xiaohongshu dan Douyin dipenuhi dengan iklan “cuci asal negara”. Iklan-iklan ini tak hanya mempromosikan peraturan ekspor ulang dari negara ketiga di Asia Tenggara, tetapi juga menawarkan strategi pengiriman dan perantara untuk menghindari tarif tinggi Amerika. Fenomena ini mencerminkan kesulitan yang dihadapi perusahaan Tiongkok di tengah tekanan tarif tinggi.
Seorang pengusaha Taiwan yang tidak ingin disebutkan namanya di Asia Tenggara mengatakan kepada Radio Free Asia pada 6 Mei bahwa Amerika memberikan masa bebas tarif 90 hari untuk beberapa negara Asia Tenggara, hanya memungut tarif 10%. Akibatnya, banyak pedagang Tiongkok mengekspor ke negara ketiga lalu kembali menyalurkan barangnya ke Amerika.
Dia menjelaskan: “Negara yang memiliki jalur darat dengan Tiongkok terutama adalah Vietnam dan Laos. Mayoritas melalui penyelundupan, lalu mencoba berkoordinasi dengan Bea Cukai Vietnam untuk mengeluarkan sertifikat asal negara. Biasanya label dipasang di Tiongkok, tapi saat masuk ke Vietnam diberi label ‘Made in Vietnam’, atau ‘Made in Laos’ jika masuk Laos. Dengan sertifikat asal negara ini, mereka hanya dikenakan tarif 10%. Di Malaysia, banyak importir juga setengah menyelundupkan barang dari Tiongkok.”
Laporan Wall Street Journal menyebutkan bahwa Robin Brooks dari Brookings Institution pada 5 Mei mengutip data Bea Cukai Tiongkok yang menunjukkan bahwa sejak awal tahun ini, impor Vietnam dan Thailand dari Tiongkok meningkat lebih dari 50%. Sebagian besar analis memperkirakan bahwa barang-barang ini pada akhirnya akan dikirim ke Amerika Serikat.
Namun, belakangan Vietnam dan Malaysia mulai memperketat pengawasan untuk mencegah ekspor produk Tiongkok ke AS melalui “cuci asal negara”, dan ini berdampak besar pada perusahaan Tiongkok.
Seorang blogger Tiongkok bernama “产融那些事” (Cerita Industri dan Keuangan) mengunggah video pada 3 Mei dan menyatakan bahwa pada 7 April Vietnam mulai menerapkan aturan baru tentang asal negara, dengan sistem pelacakan menyeluruh. Secara sederhana, jika sebuah sekrup diekspor dari Tiongkok ke Vietnam, lalu dirakit menjadi ponsel dan diekspor ke Amerika, sistem secara otomatis akan menandai seluruh rantai pasok, dan data tersebut disinkronkan ke sistem Bea Cukai AS.
Menurutnya, sejak aturan ini berlaku, model bisnis Tiongkok yang mengirimkan komponen ke Vietnam, lalu melakukan perakitan akhir dan mengekspor ke AS, kini sudah tidak bisa lagi dilakukan. “Trik-trik seperti ‘tur satu hari’, ganti kemasan, cuci asal negara, semua tidak bisa lagi dilakukan.”
Aturan baru Vietnam juga mensyaratkan bahwa nilai tambah lokal dari barang yang diproses harus meningkat dari 36% menjadi minimal 40%, dan untuk industri elektronik dan tekstil bahkan harus mencapai 50%. Artinya, produk yang diproses di Vietnam tidak akan dianggap sebagai buatan Vietnam jika biaya produksinya tidak mencapai ambang batas tersebut.
Selain itu, Vietnam telah bekerja sama dengan Bea Cukai Amerika untuk secara khusus memeriksa 15 jenis barang berisiko tinggi, seperti panel surya, baterai lithium, dan perabot rumah tangga. Jika ditemukan pemalsuan asal negara, akan dikenakan denda lebih dari 50% dari nilai barang, bahkan bisa disita.
Setelah Vietnam, pada 5 Mei Kementerian Perdagangan Internasional dan Industri (MITI) Malaysia mengumumkan bahwa mulai 6 Mei, hanya kementerian tersebut yang berhak mengeluarkan sertifikat asal negara non-preferensial (NPCO) untuk ekspor ke Amerika. Mereka juga menghentikan pelimpahan wewenang kepada kamar dagang lokal atau asosiasi lain.
Blogger Tiongkok “呆哥 di Malaysia” pada hari yang sama mengunggah video dan berkata: “Kemungkinan untuk mengekspor barang dari Malaysia ke Amerika kini sangat kecil. Dulu saya bilang itu judi, sekarang bahkan kesempatan berjudi pun hampir tak ada lagi.”
Blogger lain bernama “货代老王” (Lao Wang, agen logistik) pada 7 Mei mengatakan bahwa setelah Malaysia memperketat pengawasan sertifikat asal negara, efek domino langsung terasa.
“Banyak barang yang biasanya transit lewat Malaysia sekarang tak bisa dikirim lagi. Bahkan hari ini ada teman yang mengeluh, barangnya sudah sampai di Pelabuhan Klang dan siap dipindahkan ke kontainer baru, tapi karena masalah sertifikat, agen pengiriman langsung membatalkan transaksi, membuat pengirim barang benar-benar serba salah,” katanya.
Sejak perang dagang AS-Tiongkok dimulai pada 2018, rantai pasok manufaktur global mengalami perubahan besar. Asia Tenggara menjadi tujuan utama relokasi industri dari Tiongkok, sekaligus menjadi ladang subur bagi praktik “cuci asal negara”.
Data dari Bea Cukai dan Perlindungan Perbatasan AS (CBP) menunjukkan bahwa sejak 2022, praktik “cuci asal negara” meningkat drastis, dan sekitar 70% di antaranya terkait dengan Tiongkok, terutama di wilayah Asia Tenggara seperti Vietnam, Thailand, Malaysia, dan Kamboja.
Melalui praktik ini, produsen Tiongkok dapat menghindari tarif tinggi, sehingga tujuan awal Pemerintah AS untuk melindungi industri domestik lewat kebijakan tarif menjadi tidak efektif.
Menurut laporan Departemen Perdagangan AS, pada 2024 lebih dari 65% panel surya yang diimpor dari Asia Tenggara sebenarnya hanya mengalami sedikit pemrosesan oleh perusahaan Tiongkok sebelum dikirim ke Amerika. Nilai tarif yang berhasil dihindari diperkirakan melebihi 2 miliar dolar.
Laporan dari Layanan Riset Kongres AS (CRS) dan Nikkei Asia menyebutkan bahwa produk-produk ekspor Tiongkok dengan risiko “cuci asal negara” tertinggi meliputi baja, perabot, profil aluminium, komponen elektronik (terutama motherboard dan konektor), ban, serta suku cadang kendaraan.
Menurut aturan asal negara dari Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), hanya produk yang nilai tambahnya lebih dari 40% yang diproses di suatu negara dapat diklaim sebagai produk buatan negara tersebut. Jika tidak, maka kemungkinan besar akan melanggar aturan tersebut.
Untuk bertahan di tengah perang tarif, banyak perusahaan Tiongkok mempertimbangkan untuk memindahkan rantai produksinya ke luar negeri.
Pemilik perusahaan produk olahraga salju dari Tiongkok, yang dikenal sebagai “Cao dari Dinghong Ice and Snow”, mengatakan lewat video di media sosial akhir April bahwa pelanggan Amerika memintanya memindahkan pabrik ke luar negeri. Dia kini tengah mempersiapkan pembukaan pabrik di Vietnam, karena negara itu sedang bernegosiasi dengan AS untuk pembebasan tarif.
Menurutnya, jika Vietnam berhasil menurunkan tarif, “maka jika kami punya pabrik di sana, puluhan merek besar pasti akan memindahkan pesanan mereka kepada kami.”
Dia berharap Pemerintah Tiongkok tidak membalas AS, karena ekonomi ekspor masih sangat penting. Ia blak-blakan menyatakan bahwa 4–5 pabrik yang ia miliki masih bisa bertahan hidup hanya berkat pesanan ekspor, sementara jika hanya mengandalkan penjualan domestik, semuanya akan merugi. (hui/yn)