Obesitas pada Remaja Dikaitkan dengan Pembesaran Area Otak yang Berhubungan dengan Memori dan Emosi

Para ahli memperingatkan perubahan struktural ini dapat memiliki dampak jangka panjang terhadap perkembangan kognitif

George Citroner

Dengan lebih dari satu dari tiga anak di Amerika Serikat kini mengalami kelebihan berat badan atau obesitas, para peneliti menemukan hubungan yang mengkhawatirkan: obesitas pada remaja dapat mengubah ukuran area otak yang penting untuk pembelajaran dan pengendalian emosi, sehingga menimbulkan kekhawatiran tentang perkembangan kognitif dan emosional jangka panjang.

Menurut para penulis, baik pertumbuhan yang menurun maupun yang berlebihan dapat berdampak merugikan.

“Ini sangat mengkhawatirkan, mengingat masa remaja adalah periode yang sangat penting untuk perkembangan otak,” kata Augusto César F. De Moraes dari UTHealth Houston School of Public Health, yang juga merupakan penulis utama studi tersebut, dalam pernyataan persnya.

Lemak Perut Paling Mempengaruhi Otak

Penelitian yang baru-baru ini dipresentasikan di European Congress on Obesity (ECO 2025) ini menemukan bahwa remaja dengan obesitas di area perut memiliki pembesaran yang signifikan pada beberapa area otak, khususnya yang bertanggung jawab atas memori, pembelajaran, dan pengaturan emosi.

Para peneliti menggunakan pemindaian otak untuk mengukur ukuran beberapa area otak pada lebih dari 3.300 anak muda dengan usia rata-rata sekitar 10 tahun, yang kemudian diikuti selama empat tahun.

Hasilnya menunjukkan remaja dengan obesitas perut memiliki hipokampus yang sekitar 6,6 persen lebih besar dan amigdala sekitar 4,3 persen lebih besar dibandingkan rekan mereka yang tidak mengalami obesitas. Hipokampus membantu dalam memori dan pembelajaran, sementara amigdala mengontrol emosi seperti ketakutan, kebahagiaan, dan kemarahan.

Gillian Killiner, seorang ahli diet di 121 Dietitian, mengatakan kepada The Epoch Times bahwa temuan ini sangat mengkhawatirkan, menegaskan bahwa perubahan otak ini menimbulkan kekhawatiran besar terhadap perkembangan kognitif jangka panjang.

Mekanisme pastinya masih belum jelas, tetapi salah satu cara obesitas mempengaruhi otak adalah melalui peradangan. Lemak tubuh yang berlebihan melepaskan zat-zat inflamasi ke seluruh tubuh. Zat-zat ini dapat masuk ke dalam aliran darah dan mencapai otak. Setelah masuk, mereka dapat memicu peradangan pada jaringan otak, yang berpotensi merusak sel-sel otak seiring waktu.

Hubungan antara obesitas dan volume amigdala terlihat paling kuat pada individu dengan tingkat obesitas yang sangat tinggi, menunjukkan adanya hubungan yang kuat antara lemak tubuh dan pengaturan emosi, menurut De Moraes. 

Area lain seperti talamus dan kaudatus juga menunjukkan perubahan volume, tetapi dalam tingkat yang lebih rendah. Talamus berfungsi seperti stasiun pusat penyampaian informasi di otak, membantu memproses dan mengarahkan informasi ke area lain. Sementara itu, nukleus kaudatus terlibat dalam memproses informasi visual dan mengontrol gerakan.

Faktor sosial ekonomi juga muncul sebagai pengaruh penting dalam perkembangan otak.

Remaja yang tinggal di daerah dengan akses terbatas terhadap pendidikan berkualitas, taman yang aman, dan makanan sehat menunjukkan pertumbuhan yang lebih rendah di area otak penting seperti hipokampus, putamen, dan amigdala.

1 dari 3 Remaja AS Akan Mengalami Obesitas pada 2050

Penelitian ini muncul di tengah tren yang mengkhawatirkan terkait obesitas pada anak dan remaja.

Proporsi anak dan remaja usia 5 hingga 19 tahun yang mengalami kelebihan berat badan telah lebih dari dua kali lipat secara global, melonjak dari hanya 8 persen pada 1990 menjadi 20 persen pada 2022. Kenaikan ini hampir merata antara laki-laki dan perempuan, dengan 19 persen anak perempuan dan 21 persen anak laki-laki kini diklasifikasikan sebagai kelebihan berat badan atau obesitas.

Penelitian yang diterbitkan pada Desember di The Lancet menemukan bahwa obesitas di Amerika Serikat meningkat jauh lebih cepat dibandingkan hanya kelebihan berat badan, terutama di kalangan remaja. Dari 1990 hingga 2021, persentase remaja dengan obesitas meningkat sekitar 158 persen untuk anak laki-laki dan 186 persen untuk anak perempuan, jauh melampaui kenaikan obesitas pada orang dewasa.

Para peneliti memperingatkan bahwa jika tren ini terus berlanjut, pada tahun 2050, hampir satu dari tiga remaja dan dua dari tiga orang dewasa di Amerika Serikat akan mengalami obesitas.

Strategi untuk Mendukung Perkembangan Otak yang Lebih Sehat

Untuk mendukung perkembangan otak yang sehat dan mengurangi risiko obesitas pada remaja, Killiner merekomendasikan beberapa pendekatan berbasis bukti:

  • Prioritaskan makanan utuh: Fokus pada sayuran, buah, biji-bijian, kacang-kacangan, protein tanpa lemak, dan lemak sehat—terutama omega-3 yang mendukung kesehatan otak.
  • Tetapkan pola makan teratur: Makan secara konsisten sepanjang hari membantu menjaga kadar gula darah tetap stabil dan mengurangi keinginan makan berlebihan.
  • Kurangi makanan ultra-proses: Batasi minuman manis, camilan kemasan, dan makanan siap saji, yang sering kali berkontribusi pada peradangan dan penambahan berat badan.
  • Makan bersama keluarga: Makan bersama mendorong kebiasaan sehat dan komunikasi yang terbuka.
  • Bangun kemandirian remaja dalam memilih makanan: Dorong remaja untuk membuat pilihan makanan dan belajar keterampilan memasak dasar untuk membangun kepercayaan diri dalam pengambilan keputusan yang sehat.

Pola makan tertentu mungkin secara khusus bermanfaat bagi kesehatan kognitif dan emosional remaja.

“Diet Mediterania adalah pilihan yang baik untuk remaja, karena kaya akan antioksidan, serat, dan lemak tak jenuh yang mengurangi peradangan, faktor kunci dalam obesitas dan risiko neurodevelopmental,” kata Killiner, merekomendasikan Mediterranean-DASH Intervention for Neurodegenerative Delay (MIND) diet—gabungan dari diet Mediterania dan Dietary Approaches to Stop Hypertension (DASH).

“Studi ini merupakan pengingat tegas bahwa obesitas pada remaja bukan hanya masalah berat badan, tetapi juga dapat mempengaruhi struktur otak dan pengaturan emosi,” kata Killiner. “Kita harus bertindak lebih awal dengan intervensi yang suportif dan tanpa menghakimi yang berfokus pada nutrisi, bukan pembatasan.” (asr)

FOKUS DUNIA

NEWS