EtIndonesia. Kalimat “Sehari di langit, seribu tahun di bumi” tentu sudah tidak asing bagi banyak orang, khususnya dalam budaya Tiongkok. Namun, kebanyakan orang modern menganggapnya hanya sebagai kiasan mitologis atau imajinasi religius semata. Akan tetapi, ilmu pengetahuan masa kini justru menunjukkan bahwa kalimat ini bukan sekadar legenda, melainkan mencerminkan kenyataan yang benar-benar terjadi dalam struktur waktu dan ruang alam semesta.
Waktu Relatif dalam Tata Surya: Perbedaan yang Menakjubkan
Dalam pemahaman ilmiah, waktu diukur berdasarkan rotasi dan revolusi suatu planet. Di Bumi, satu hari adalah waktu yang dibutuhkan untuk satu rotasi penuh (sekitar 24 jam), dan satu tahun adalah waktu yang dibutuhkan untuk satu kali revolusi mengelilingi Matahari (sekitar 365 hari).
Namun, waktu berjalan sangat berbeda di planet lain:
- Jupiter membutuhkan 11,86 tahun Bumi untuk menyelesaikan satu putaran mengelilingi Matahari. Artinya, jika seseorang tinggal di Jupiter selama satu tahun Jupiter, di Bumi telah berlalu hampir 12 tahun.
- Neptunus memiliki revolusi yang jauh lebih panjang: satu tahun Neptunus setara dengan 164,8 tahun Bumi.
- Merkurius mengelilingi Matahari dalam waktu hanya 88 hari, dan satu rotasi memakan waktu 58 hari 15 jam. Jadi, satu hari di Merkurius setara dengan hampir dua bulan waktu bumi.
- Venus, uniknya, membutuhkan 243 hari Bumi hanya untuk berputar sekali (satu hari), dan satu tahunnya adalah 224,7 hari Bumi. Ini berarti, sehari di Venus lebih lama dari satu tahunnya.
Melihat perbedaan ekstrem tersebut, maka logis untuk bertanya: bagaimana waktu berlalu di luar tata surya, di galaksi lain, atau bahkan di batas alam semesta? Apakah benar ada tempat di mana “satu hari setara dengan seribu tahun”?
Galaksi dan Skala Waktu Kosmis
Penelitian dari Pusat Penelitian Astronomi Radio Internasional (ICRAR) di Australia yang diterbitkan dalam Monthly Notices of the Royal Astronomical Society di Inggris menunjukkan bahwa:
- Matahari membutuhkan lebih dari 200 juta tahun untuk mengelilingi pusat Galaksi Bima Sakti sekali.
- Galaksi Bima Sakti sendiri, sebagai struktur spiral besar yang terdiri dari miliaran bintang, memerlukan waktu sekitar 1 miliar tahun untuk menyelesaikan satu rotasi penuh.
Profesor Gerhardt Meurer dari ICRAR menyatakan :“Tak peduli apakah suatu galaksi besar atau kecil, jika Anda berada di pinggiran piringan galaksi dan ikut berputar bersamanya, maka Anda memerlukan sekitar 1 miliar tahun untuk satu kali putaran.”
Jika kita menganggap Galaksi Bima Sakti sebagai “planet”, maka hidup selama 1 tahun di sana akan setara dengan 1 miliar tahun waktu Bumi. Maka tidak heran jika kalimat “sehari di langit, seribu tahun di Bumi” tampak sangat masuk akal secara ilmiah, setidaknya dalam konteks relativitas waktu skala kosmis.
Relativitas Waktu dan Misteri Dimensi
Waktu manusia berbeda secara fundamental dengan waktu di skala tata surya, galaksi, atau bahkan alam semesta secara keseluruhan. Jika kita naik ke skala pinggiran alam semesta, berapa tahun bumi yang akan setara dengan satu tahun di sana? Tidak ada angka pasti—yang jelas, perbedaannya luar biasa besar, hingga tak terbayangkan oleh manusia biasa.
Para ilmuwan menyatakan bahwa waktu adalah konsep relatif. Tanpa keterikatan pada ruang tertentu, waktu sebagaimana yang kita kenal di Bumi bisa menjadi tidak relevan.
Dalam Alkitab, tertulis: “Bagi Tuhan, satu hari seperti seribu tahun, dan seribu tahun seperti satu hari.”
Demikian pula dalam ajaran Buddha, dikatakan bahwa alam semesta memiliki 33 tingkatan langit. Jika atmosfer Bumi dianggap sebagai tingkat pertama, maka tingkat-tingkat berikutnya mencakup tata surya, galaksi, gugusan galaksi, dan semesta yang lebih tinggi lagi—semakin tinggi, maka waktu berjalan semakin lambat, bisa mencapai milyaran kali lebih lambat dibandingkan waktu di Bumi. Itulah sebabnya kitab suci Buddha menggunakan satuan 10 pangkat N, dengan angka yang luar biasa besar, melampaui batas pemahaman manusia biasa.
Einstein dan Ilmu Modern: Waktu Bisa Melambat Hingga Berhenti
Menurut Teori Relativitas Albert Einstein, ruang dan waktu membentuk struktur empat dimensi (spacetime) yang merupakan dasar dari alam semesta. Ketika sebuah objek bergerak mendekati kecepatan cahaya, waktu bagi objek tersebut akan melambat dibandingkan dengan waktu bagi pengamat yang diam. Jika kecepatan mencapai kecepatan cahaya (atau bahkan melebihinya secara teoritis), maka waktu bisa berhenti sama sekali.
Artinya, jika sebuah pesawat ruang angkasa bergerak dengan kecepatan cahaya sejauh 1.000 tahun cahaya, maka bagi penumpang di dalamnya mungkin hanya terasa sekejap, sementara bagi penduduk Bumi, waktu telah berlalu selama 10 abad.
Dari Mitologi Menuju Ilmu Pengetahuan
Konsep “sehari di langit, seribu tahun di bumi” kini bukan lagi sekadar dongeng atau mitos. Ilmu pengetahuan modern telah memberikan dasar logis dan matematis bagi pernyataan yang dahulu hanya bisa ditemui dalam kitab-kitab kuno.
Dalam tradisi Tao dan Buddha Tiongkok, terdapat konsep panjang umur dan keabadian. Namun, bukan berarti seseorang hidup di tubuh fisik yang sama selama ribuan tahun. Yang dimaksud adalah bahwa seseorang melalui praktik spiritual dapat naik ke dimensi yang lebih tinggi, keluar dari batasan ruang dan waktu bumi, dan hidup dalam ruang di mana waktu berjalan sangat lambat. Maka, bagi orang-orang di Bumi, mereka tampak seperti tidak menua atau bahkan abadi.(jhn/yn)