EtIndonesia. Saat Amerika Serikat dan Iran kembali terlibat dalam negosiasi terkait kesepakatan nuklir, sejumlah laporan yang dikutip oleh media AS pada 20 Mei menyebutkan bahwa intelijen terbaru menunjukkan Israel tengah bersiap melakukan serangan terhadap fasilitas nuklir Iran.
CNN, mengutip sejumlah pejabat AS yang mengetahui situasi tersebut, melaporkan bahwa Israel mulai memobilisasi peralatan militer sebagai persiapan untuk menyerang fasilitas nuklir Iran. Langkah ini dipertimbangkan jika kesepakatan nuklir yang dicapai oleh AS dan Iran tidak dapat diterima oleh pihak Israel, maka Tel Aviv disebut akan mengambil tindakan militer sepihak.
Komunikasi Israel Disadap, Aktivitas Militer Meningkat
Beberapa sumber menyatakan bahwa belum jelas apakah para pemimpin Israel telah mengambil keputusan akhir. Namun, di dalam pemerintahan AS sendiri terdapat perbedaan tajam mengenai apakah Israel benar-benar akan melancarkan serangan.
Intelijen ini berasal dari sejumlah informasi terbuka maupun rahasia, termasuk komunikasi internal Israel yang berhasil disadap. Dua sumber mengungkap bahwa selama beberapa bulan terakhir, AS telah menangkap sinyal komunikasi dari Israel serta mengamati mobilisasi senjata udara dan latihan militer oleh angkatan udara Israel—semua mengindikasikan peningkatan kemungkinan serangan terhadap fasilitas nuklir Iran.
Meski demikian, pejabat AS menegaskan bahwa kecuali Iran melakukan provokasi besar, AS kemungkinan tidak akan terlibat langsung dalam serangan tersebut. Namun, Washington tetap meningkatkan pengumpulan intelijen demi menentukan apakah bantuan perlu diberikan.
Sasaran Utama: Fordow dan Natanz
Laporan dari berbagai media menyebutkan bahwa badan intelijen AS telah memperingatkan kemungkinan serangan Israel dalam beberapa bulan ke depan terhadap fasilitas nuklir utama Iran, termasuk kompleks Fordow dan Natanz. Kedua lokasi ini diketahui berada di bawah tanah dan memiliki sistem pertahanan yang sangat ketat.
Jika diserang, program nuklir Iran bisa tertunda selama beberapa minggu hingga bulan. Namun, serangan tersebut juga diperkirakan akan memperburuk ketegangan di kawasan Timur Tengah.
Ditegaskan pula, tanpa dukungan AS dalam bentuk pengisian bahan bakar udara dan bom penembus bunker, kecil kemungkinan Israel dapat sepenuhnya menghancurkan fasilitas nuklir bawah tanah Iran.
Namun sejumlah analis memperingatkan bahwa sinyal-sinyal ini mungkin saja merupakan upaya Israel untuk menekan Iran agar menghentikan program nuklirnya—lebih sebagai strategi diplomatik daripada ancaman militer yang nyata.
Pihak media AS telah menghubungi Dewan Keamanan Nasional AS dan kantor Perdana Menteri Israel untuk dimintai komentar, tetapi hingga kini belum ada tanggapan resmi. Kedutaan Israel di Washington juga belum memberikan pernyataan.
Netanyahu: Diplomasi Harus Hancurkan Total Program Nuklir Iran
Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu menegaskan bahwa satu-satunya hasil yang dapat diterima dari diplomasi adalah pembongkaran total program nuklir Iran. Awalnya, Israel mengusulkan serangan besar-besaran yang membutuhkan dukungan penuh dari AS. Namun kini, Tel Aviv juga mempertimbangkan opsi serangan terbatas, seperti operasi udara atau misi pasukan khusus yang bisa dilaksanakan dengan bantuan AS yang minim, demi menunda kemajuan nuklir Iran.
Sementara itu, Iran telah meningkatkan kesiagaan di seluruh fasilitas nuklirnya dan memperkuat sistem pertahanan udara sebagai respons terhadap ancaman yang dirasakan. Menurut laporan, otoritas Iran mengantisipasi kemungkinan serangan kapan saja dan terus memperkuat perlindungan di sekitar target-target strategis.
Trump Pilih Jalur Diplomasi, tapi Israel Tetap Bersiap Tempur
Presiden AS, Donald Trump untuk saat ini masih memilih jalur diplomasi dalam menangani isu nuklir Iran, dan belum menunjukkan dukungan langsung untuk intervensi militer. Namun di sisi lain, Israel telah menerima pasokan senjata canggih dari AS, termasuk bom penembus dan sistem pemandu presisi tinggi, sebagai bentuk persiapan menghadapi skenario militer.
Pada Maret lalu, Trump bahkan mengirim surat kepada Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, menyatakan bahwa batas waktu negosiasi kesepakatan nuklir adalah 60 hari—batas waktu yang kini telah terlewati.
Iran: Jika Ditekan, Krisis Nuklir Bisa Terjadi
Menteri Luar Negeri Iran, Abbas Araqchi pada 30 April menyatakan bahwa putaran keempat negosiasi tidak langsung antara AS dan Iran akan berlangsung pada 3 Mei di Roma, dengan Oman bertindak sebagai mediator. Dia menekankan bahwa meskipun tidak ada tenggat waktu yang ditetapkan, Iran tidak berniat memperpanjang negosiasi tanpa batas.
Sehari sebelum pertemuan di Roma, Iran juga dijadwalkan bertemu dengan tiga negara Eropa penandatangan kesepakatan nuklir 2015—Inggris, Prancis, dan Jerman—untuk membahas kelanjutan perjanjian.
Araqchi menegaskan bahwa pembekuan aset Iran di luar negeri tetap menjadi isu utama dalam negosiasi. Ia juga mengkritik keras penerapan sanksi baru oleh AS selama proses perundingan, menyebut tindakan tersebut mencerminkan kurangnya itikad baik Washington.
Iran Siap Kompromi, tapi Tak Mau Diancam
Dalam sebuah wawancara dengan NBC pada 14 Mei, penasihat Khamenei, Ali Shamkhani, menyatakan bahwa Iran bersedia menerima pembatasan besar terhadap program nuklirnya asalkan semua sanksi ekonomi segera dicabut.
Iran, kata Shamkhani, bersedia menandatangani kesepakatan dengan pemerintahan Trump dan menyatakan siap menghancurkan semua cadangan uranium yang dapat digunakan untuk senjata, serta mengizinkan pengawasan penuh oleh Badan Energi Atom Internasional (IAEA), dengan syarat Iran tidak dipaksa menyerah melalui ancaman ekonomi.
Namun ia juga menyesalkan sikap Trump yang di satu sisi menyatakan ingin berdamai, tetapi di sisi lain mengancam akan membuat ekspor minyak Iran menjadi nol jika perjanjian tidak tercapai.
Trump sendiri sebelumnya menyebut Iran sebagai “kekuatan paling destruktif di Timur Tengah,” dan menegaskan bahwa AS tidak akan pernah membiarkan Iran memiliki senjata nuklir.
AS Kembali Jatuhkan Sanksi
Pada 14 Mei, Pemerintah AS mengumumkan putaran baru sanksi terhadap enam individu dan 12 perusahaan yang dituduh mendukung program rudal balistik Iran. Beberapa perusahaan yang dikenai sanksi berbasis di Tiongkok daratan dan Hong Kong.(jhn/yn)