EtIndonesia. Konflik Rusia-Ukraina kembali memasuki babak baru setelah serangkaian peristiwa dramatis di penghujung Mei 2025. Setelah peringatan keras dari Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, terhadap Vladimir Putin, Moskow secara tiba-tiba mengajukan proposal perundingan damai berikutnya dengan Ukraina yang rencananya digelar pada 2 Juni 2025 di Istanbul, Turki. Di saat yang sama, sekutu-sekutu utama Barat seperti Jerman, Inggris, dan Prancis mengambil langkah bersejarah dengan mencabut batasan jangkauan senjata yang boleh digunakan Ukraina, sehingga membuka peluang bagi Kyiv untuk menyerang langsung ke wilayah Rusia.
Diplomasi Mendadak: Moskow Ajukan Proposal Perdamaian
Langkah Rusia yang secara mendadak mengusulkan putaran perundingan damai di Istanbul langsung menarik perhatian dunia internasional. Menteri Luar Negeri Rusia, Sergey Lavrov, menyampaikan bahwa pihaknya telah menyiapkan dokumen memorandum yang akan dibawa oleh delegasi yang dipimpin Vladimir Medinsky. Delegasi ini, menurut Lavrov, tidak hanya membawa proposal perdamaian, tetapi juga klarifikasi dan dokumen resmi lain yang dinilai penting untuk proses negosiasi.
Medinsky sendiri, lewat kanal Telegram, menyebut bahwa dia telah menghubungi Menteri Pertahanan Ukraina, Rustem Umerov, untuk menyampaikan rincian proposal Rusia, termasuk tanggal dan lokasi perundingan berikutnya. Saat ini, Moskow mengaku masih menanti respons resmi dari pihak Ukraina.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Rusia, Maria Zakharova, menambahkan bahwa sesuai konsensus yang telah tercapai sebelumnya, kedua belah pihak kini tengah menyiapkan visi dan solusi masing-masing terkait penghentian perang. Visi tersebut akan dipertukarkan dalam forum perundingan yang disiapkan di Istanbul.
Syarat Keras dari Kremlin
Sejumlah sumber diplomatik Rusia mengungkapkan bahwa syarat utama yang diajukan Presiden Putin untuk mengakhiri perang sangat tegas dan berat. Syarat itu di antaranya:
- Jaminan tertulis dari negara-negara Barat bahwa NATO tidak akan melakukan ekspansi ke arah Timur.
- Pencabutan sanksi ekonomi terhadap Rusia sebagai bagian dari kesepakatan damai.
- Penolakan eksplisit bagi Ukraina, Georgia, Moldova, dan negara-negara eks-Uni Soviet lainnya untuk bergabung dengan NATO.
- Netralitas Ukraina secara permanen dan perlindungan bagi warga Rusia yang berada di wilayah Ukraina.
- Pengakuan atas wilayah Donbas dan Ukraina Timur sebagai bagian dari wilayah yang berada di bawah pengaruh Rusia.
Putin juga menegaskan bahwa jika syarat-syarat tersebut tidak bisa dipenuhi, dia siap menempuh jalur militer yang lebih keras, bahkan mendorong garis depan perang semakin jauh ke wilayah Ukraina, untuk memaksa Kyiv dan Eropa merasakan “pahitnya perdamaian” versi Kremlin.
Kremlin juga meyakini, seberat apa pun sanksi ekonomi dari Barat, Rusia akan tetap mampu bertahan dan melanjutkan operasi militer dalam jangka panjang.
Trump Beri Peringatan, Barat Ubah Aturan Main
Pada 27 Mei 2025, Donald Trump melalui media sosial “Truth Social” melontarkan peringatan tajam bahwa Putin sedang “bermain api”. Trump menegaskan perlunya upaya serius untuk mencari solusi damai, namun menyoroti kerasnya posisi Rusia yang tetap mengutamakan kepentingan nasionalnya di atas segalanya.
Juru bicara Kremlin, Dmitry Peskov, sehari setelahnya mengakui bahwa pemerintah Trump memang tengah melakukan berbagai upaya besar guna menemukan jalan damai atas konflik Rusia-Ukraina. Meski demikian, dia menegaskan bahwa Rusia tetap memprioritaskan kepentingan strategis dan keamanan nasional.
Di sisi lain, sumber CNN mengungkapkan bahwa Pemerintah AS telah menyiapkan sejumlah opsi untuk meningkatkan tekanan terhadap Moskow. Trump, dalam salah satu pernyataan publiknya, menyebut kemungkinan diberlakukannya sanksi baru terhadap Rusia serta pencabutan seluruh pembatasan senjata era Biden bagi Ukraina. Hal ini membuka jalan bagi Ukraina untuk memakai amunisi presisi buatan AS dalam menyerang sasaran penting di wilayah Rusia, termasuk pangkalan militer.
Barat Longgarkan Batasan Senjata: Ukraina Bebas Serang Wilayah Rusia
Pada forum Eropa tanggal 26 Mei, Kanselir Jerman, Friedrich Merz menegaskan bahwa Jerman, Inggris, Prancis, dan Amerika Serikat telah sepakat menghapus batas jangkauan senjata yang diperbolehkan untuk Ukraina. Artinya, Ukraina kini secara legal dapat menggunakan sistem senjata jarak jauh untuk menghantam target militer di jantung Rusia.
Langkah berani ini segera direspons oleh Jerman yang pada 28 Mei mengumumkan paket bantuan militer baru senilai 5,7 miliar dolar AS, termasuk bantuan untuk produksi rudal jelajah jarak jauh bagi Ukraina.
Serangan Drone Ukraina ke Jantung Rusia: Moskow Lumpuh Sementara
Tak lama setelah keputusan tersebut diumumkan, Kementerian Pertahanan Rusia melalui Telegram mengumumkan terjadinya serangan drone Ukraina paling masif sepanjang sejarah perang. Dalam kurun tiga jam sebelum tengah malam, sebanyak 112 drone Ukraina menyerang enam wilayah Rusia. Seluruh drone, menurut militer Rusia, berhasil dihancurkan atau diintersep. Walikota Moskow, Sergei Sobyanin, menyebutkan 33 drone berhasil ditembak jatuh di sekitar ibu kota.
Serangan beruntun seperti ini sangat jarang terjadi di Moskow. Penerbangan sipil di tiga bandara utama Moskow pun terpaksa ditunda atau dialihkan ke lokasi lain demi alasan keamanan. Hampir 300 drone Ukraina dikabarkan diluncurkan hanya dalam satu malam, khusus menargetkan wilayah Moskow dan sekitarnya, meski otoritas Rusia memastikan tidak ada kerugian besar yang terjadi.
Zelenskyy Bongkar Strategi Rusia: 50.000 Pasukan Dikerahkan ke Perbatasan Sumy
Presiden Ukraina, Volodymyr Zelenskyy, menyampaikan bahwa Rusia kini telah mengerahkan lebih dari 50.000 pasukan ke wilayah dekat perbatasan Sumy, timur laut Ukraina. Tidak hanya tentara biasa, namun juga pasukan elit, sebagai bagian dari upaya membentuk “zona penyangga” untuk melindungi Rusia dari serangan balik Ukraina.
Menurut Zelenskyy, Rusia kini mencoba memaksa pasukan Ukraina mundur dari perbatasan Kursk dan sedang mempersiapkan operasi besar-besaran ke wilayah Sumy. Namun, dia menegaskan bahwa pasukan Ukraina akan tetap bertahan dan tidak akan mundur dari Kursk hingga tercapai gencatan senjata yang permanen.
Kesimpulan: Babak Baru Perang, Perdamaian atau Eskalasi Lebih Lanjut?
Gelombang peristiwa dalam sepekan terakhir memperlihatkan bahwa perang Rusia-Ukraina tengah memasuki fase kritis. Dengan Rusia yang kini menawarkan perundingan di Istanbul sambil mengajukan syarat keras, dan Barat yang semakin berani melepas batasan dukungan militer bagi Ukraina, situasi bisa berubah drastis—menuju perdamaian atau justru eskalasi konflik lebih besar.
Apakah perundingan damai di Istanbul benar-benar bisa menjadi titik balik? Ataukah ini hanya awal dari babak baru konflik yang makin tidak terkendali? Dunia menahan napas menanti, sementara langit Eropa Timur masih dipenuhi suara drone dan dentuman artileri.