EtIndonesia. Ukraina dan Rusia baru saja menyelesaikan pertukaran tahanan perang terbesar sejak pecahnya perang pada tahun 2022. Kedua pihak masing-masing membebaskan 270 personel militer dan 120 warga sipil, dengan total mencapai 390 orang. Pertukaran ini merupakan satu-satunya kesepakatan yang tercapai dalam pertemuan bilateral di Istanbul, Turki. Diperkirakan akan ada lebih banyak pertukaran dalam beberapa hari mendatang—menunjukkan bahwa meski perang terus berlanjut, masih ada celah untuk negosiasi antara kedua belah pihak.
Menurut laporan BBC, Pemerintah Rusia dan Ukraina menyatakan bahwa serah terima tahanan dilakukan di perbatasan antara Ukraina dan Belarus. Para tahanan ini berasal dari berbagai zona konflik di Ukraina timur dan utara, termasuk Kyiv, Chernihiv, Sumy, Donetsk, Kharkiv, dan Kherson. Pihak Ukraina menegaskan bahwa di antara mereka yang dibebaskan terdapat sejumlah veteran perang dan tiga orang perempuan yang telah ditahan sejak tahun 2022.
Sementara itu, Kementerian Pertahanan Rusia menyebutkan bahwa di antara tahanan yang dibebaskan juga terdapat tentara dan warga sipil yang ditangkap dalam operasi militer terbaru Ukraina di wilayah Kursk, Rusia. Mereka kini telah dipindahkan ke dalam wilayah Belarus, dan akan menerima pemeriksaan kesehatan serta perawatan medis oleh pihak Rusia.
Presiden Ukraina, Volodymyr Zelenskyy dalam unggahan di media sosial menegaskan, “Kami sedang membawa orang-orang kami pulang.”
Dia menambahkan bahwa Pemerintah Ukraina akan memverifikasi identitas seluruh individu yang dibebaskan satu per satu. Kantor Koordinasi Tahanan Perang Ukraina juga menyatakan bahwa operasi ini memiliki dampak psikologis yang sangat positif bagi warga sipil dan militer.
Pertukaran ini menarik perhatian internasional. Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menyampaikan ucapan selamat melalui platform Truth Social dan bahkan mengisyaratkan bahwa pertukaran tahanan ini “mungkin menjadi awal dari kemajuan yang lebih besar.”
Perdana Menteri Italia, Giorgia Meloni turut mendukung usulan Trump agar Vatikan memainkan peran sebagai mediator dalam negosiasi gencatan senjata. Namun, Menteri Luar Negeri Rusia, Sergei Lavrov, menanggapi dengan pesimisme. Dia menyebut keterlibatan Vatikan sebagai hal yang “tidak realistis.” Lavrov kembali menyuarakan sikap kerasnya dengan mengatakan bahwa Presiden Zelenskyy tidak lagi memiliki legitimasi, dan menyatakan bahwa pemilu baru harus digelar di Ukraina sebelum pembicaraan damai dapat dilakukan.
Yang juga patut dicatat, pertemuan di Istanbul ini adalah kontak langsung pertama antara Rusia dan Ukraina sejak Maret 2022. Meskipun pertemuan hanya berlangsung dua jam dan belum membuahkan kesepakatan konkret mengenai gencatan senjata, kedua pihak menyatakan kesediaan untuk melanjutkan dialog. Delegasi Rusia bahkan mengumumkan akan menyerahkan sebuah “memorandum” kepada pihak Ukraina dalam waktu dekat.
Sementara itu, rakyat Ukraina tetap hidup dalam ketegangan dan harapan. Banyak keluarga dari tentara yang ditawan berkumpul di wilayah utara Ukraina, berharap nama orang yang mereka cintai termasuk dalam daftar pertukaran. Meski sebagian besar masih belum mengetahui nasib kerabat mereka, pertukaran tahanan ini jelas memberi sinyal bahwa jalan menuju dialog dan ruang kemanusiaan tetap terbuka, meski hanya sedikit. (jhn/yn)